LAPORAN PERJALANAN

Mengenang Upacara 17 Agustusan di Emperan Kaki Lima Kota Mekkah

Mekkah, Arab Saudi – bisniswisata.co.id: Lagu Indonesia Raya stanza 1 karya W.R. Soepratman itu berkumandang dari bibir-bibir yang bergetar, memendam isak. Tak ada iringan musik orkestra ataupun ensambel.

                              Indonesia Raya

  • Indonesia tanah airku
  • Tanah tumpah darahku
  • Disanalah aku berdiri
  • Jadi pandu ibuku
  • Indonesia kebangsaanku
  • Bangsa dan Tanah Airku
  • Marilah kita berseru
  • Indonesia bersatu
  • Hiduplah tanahku
  • Hiduplah negriku
  • Bangsaku Rakyatku semuanya
  • Bangunlah jiwanya
  • Bangunlah badannya
  • Untuk Indonesia Raya
  • Indonesia Raya
  • Merdeka Merdeka
  • Tanahku negriku yang kucinta
  • Indonesia Raya
  • Merdeka Merdeka
  • Hiduplah Indonesia Raya
  • Indonesia Raya
  • Merdeka Merdeka
  • Tanahku negriku yang kucinta
  • Indonesia Raya
  • Merdeka Merdeka
  • Hiduplah Indonesia Raya

Dinyanyikan sekitar 300 orang yang berdiri rapi dalam barisan, yang terpanggil merayakan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Hikmat, syahdu dan penuh rasa haru yang menyesak kalbu, walau tak sehelai Merah Putih pun dikerek naik dan berkibar di pucuk tiang

Berjejer rapih meskipun tidak ada bendera merah putih.

Upacara Bendera sederhana dan digelar dengan amat darurat ini berlangsung pada tanggal 17 Agustus 2017, dimulai tepat pukul 10: 17 waktu Arab Saudi di kakilima ruas jalan Kota Mekah. 

Kami, pelakunya adalah jamaah Indonesia yang hadir dalam rangka ibadah tahun 1438 Hijriyah, yang menginap di Maktab 70 Indonesia di kawasan Syisha, sekitar 5 Km di sebelah tenggara Ka’bah, Masjidil Haram. 

Saya dan istri tercinta, Resti juga ada dalam barisan yang terbentuk dari berbagai rombongan jamaah haji regular Indonesia. Ada kafilah/rombongan dari Medan, Tasikmalaya, Depok, Bekasi, Kedoya – Jakarta Barat, Bima dan Lombok, Makassar, juga jamaah asal Fak Fak – Papua Barat. Menyatu di maktab itu.

Tetap Merah Putih walau tanpa bendera

Saya dan kafilah/rombongan haji mandiri KUA Pamulang, Tangerang Selatan, terbang dari Bandara Soekarno-Hatta tanggal 29 Juli 2017. Sebagai haji tamattu, yang mendahulukan umrah sebelum tiba waktu berhaji, disinggahkan lebih dulu ke Madinah.

Tinggal selama 9 hari, antara lain untuk memberi kesempatan kepada jamaah melaksanakan sunnah Arba’in, shalat wajib tak putus dalam rentang 40 waktu. 

Dari Madinah Al-Munawarrah, kami diantar bus ke Mekah untuk Umrah dan ibadah lain sembari menunggu tiba waktu Wukuf di Arafah serta melaksanakan wajib haji, rukun haji serta ibadah lainnya di Musdalifah dan Mina di hari Nhar (10 Dzulhijah) dan sepanjang hari-hari Tasyriq. 

Saat-saat di Mekah itu, kami akan melalui hari amat bersejarah bagi bangsa Indonesia, yakni tanggal 17 Agustus.“Tujuhbelasagustusan” atau “17Agustusan”, begitu Anak Betawi menyebut acara atau upacara, baik yang resmi ataupun tak resmi, berkait Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta (atas nama bangsa Indonesia) pada Jum’at pukul 10: 17 pagi, 17 Agusrtus 1945, di sebuah rumah milik warga/pengusaha asal Arab (yang berani ambil risiko), di Jl Pegangsaan Timur No.56 Jakarta.

Tiap tahun bangsa Indonesia memperingati hari bersejarah itu Selalu ada upacara menaikkan ( kerek)  bendera Merah Putih naik ke angkasa di tiap tanggal 17 Agustus pagi. Tak cuma di halaman Istana Merdeka – Jakarta dengan Presiden RI selaku pemimpin upacara.

Peringatan juga dilakukan di berbagai persada Nusantara, bahkan dimanapun orang Indonesia berkumpul. Minimal untuk merenung dan berkontemplasi pada detik-detik pukul 10: 17 pagi.

Selain di halaman Istana Merdeka Jakarta atau di lapangan bola di kampung, dimana Anda pernah ikut melaksanakan 17Agustusan? Saya pernah ikut melaksanakannya di atas geladak KRI Teluk Banten yang tengah berlayar di perairan barat Sumatera. Pernah juga di KBRI di Paris – Perancis, ditonton banteng dan merak di hutan Ujung Kulon – Banten. Di Merauke, juga di Ranu Kumbolo di pucuk Semeru, Jawa Timur

Yang pasti, dimanapun upacara 17Agustusan digelar, “Dada selalu diliputi rasa haru, khususnya saat lirik lagu Indonesia Raya dikumandangkan dan akan selalu ada hal menarik untuk dikisahkan ulang,” ungkap seorang sahabat,

Begitu pula saat saya berada  di Mekah Al-Mukarromah ini bersama para sedulur jamaah Indonesia yang menginap di kawasan Syisha sepakat menggelar 17Agustusan di kaki lima depan hotel.

Betapapun acara dadakan, dan idenya tercetus spontan cuma selang 2 hari sebelum penyelenggaraan, tapi setidaknya ada tiga hal yang umumnya jadi pokok upacara 17Agustusan, yakni: pengibaran bendera Sang Saka MerahPutih, menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, serta pembacaan Teks Proklamasi sebagaimana dikumandangkan Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia pada tahun 1945,

Untuk hal kedua dan ketiga, kami siap melaksanakan. Softcopy teks Proklamasi dari naskah aslinya, sudah kami peroleh berkat ‘mbah’ Google, dan seorang jamaah (guru sebuah SMP di Tasikmalaya, Jawa Barat) siap membacanya dengan lantang.

Untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya, sorang jemaah wanita siap tampil sebagai dirigen. Tapi siapa punya bendera Merah Putih untuk dikibarkan?

Tak seorang pun dari kami membawanya dari tanah air. Rombongan lain sehotel, atau yang sama menginap di jalan itu, juga sama saja. Tak ada yang kepikiran menyelipkannya di koper sebagai bagian dari bawaan naik haji. 

Satu-satunya bendera MerahPutih adalah milik PPIH, yang harus terus berkibar di pucuk tiang kantor Maktab 70 Indonesia, berdampingan bareng bendera Arab Saudi. 

Kami sepakat, ada atau tidak ada bendera Merah Putih, upacara harus tetap terlaksana. Namun kesan Merah Putih harus semaksimal mungkin dihadirkan. 

Pakaian hari-hari jamaah, gamis ataupun abaya yang umumnya berwarna putih, amat menguntungkan dan direncanakan dikenakan seluruh peserta upacara. Juga T-Shirt ataupun pakaian lain yang bernuansa merah, dianjurkan dikenakan agar menjangkau kesan Merah Putih. 

Pita botol Zam-Zam

Di samping hotel tempat saya menginap ada Toko Indonesia dengan plank berdasar cat ‘bendera’ Merah Putih. Atribut lain yang mengesankan Merah Putih, atau bertuliskan Indonesia diminta dikenakan peserta, juga rompi petugas di berbagai lini yang dipunggungnya tertulis kata: Indonesia. 

Usai acara 17 Agustusan menjadi ajang silaturahim diantara para jemaah haji. ( foto-foto: Heryus Saputra Samhudi)

Pokoknya pada acara 17 Agustusan itu sedapat mungkin kita akan apapun yang mengindikasikan Merah Putih dan Indonesia.

Mendadak saya ingat bahwa saat hendak berangkat berhaji, setiap jamaah Indonesia juga dibekali Kementerian Agama RI dengan sebuah botol berbahan plastik putih untuk wadah air Zam-Zam, untuk diminum atau disemprotkan (dengan alat katup semprot di ujung leher botol) ke tubuh saat berjalan di luar ruang. 

Sebagai informasi, saat itu suhu udara di Madinah bisa mencapai 45* Celcius di siang hari, dan 39* Celsius di malam hari, Untuk mudah dibawa kemana-mana, botol minum sekaligus alat sprayer air Zam-Zam itu dilengkapi pita panjang dengan carrabiner dikedua ujungnya, yang mudah dikaitkan maupun dilepas.

Berfungsi sebagai tali hingga botol mudah dicangkongkan di bahu atau ditenteng. Pita Merah Putih itu saya lepas dari botol, dan saya jadikan ikat kepala yang sengaja saya kenakan saat general-reharshal. 

Saya ttfak tahu, berapa orang melihat saya mengenakan ‘ikat kepala’ itu saat kami latihan upacara pada tanggal 16 Agustus 2017. Yang pasti esok paginya, saat upacara 17 Agustusan digelar banyak juga yang memakainya.

Pita Merah Putih dengan carabiner bergantung di kedua ujungnya itu juga menjadi aksesoris yang mengikat kepala banyak peserta upacara. Bergoyang-goyang dalam haru menyesak dada, saat berkumandang lagu Indonesia Raya.

Berbaris diemperan kaki lima kota Makkah, mengenang jasa para pahlawan bangsa menjadi kenangan yang tak terluoa seumur hidup.

Apalagi dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, sejarah mencatat jutaan umat Muslim dan organisasi Islam di tanah air berkontribusi besar merebut kembali kemerdekaan yang hakiki lewat perjuangan berat agar  menjadi bangsa yang bermartabat

Jumlahnya bukan satu dua orang yang sudah disematkan dengan gelar pahlawan nasional tapi jutaan umat Muslim di tanah air yang berkontribusi besar bagi Kemerdekaan RI. Alfatifah untukmu para pejuang……..

 

Hana Fahila