JAKARTA, bisniswisata.co.id: Badan Meteorologi, Geofisika, dan Klimatologi (BMKG) menegaskan erupsi Gunung Anak Krakatau membahayakan bagi penerbangan. “Jelas dan itu kami pantau setiap saat kami pantau dengan satelit Himawari. Dari pemantauan kami arah sebaran abunya itu akan terdeksi dipengaruhi oleh arah angin,” kata Kepala Badan Meteorologi, Geofisika, dan Klimatologi (BMKG) Dwikorita Karnawati dalam keterangan tertulis, Rabu (26/12/2018).
BMKG mencoba mengecek secara langsung melalui udara tebing kawah dari Gunung Anak Krakatau. “Dua kali terbang mendekat untuk mengecek langsung tebing kawahnya, sampai saat ini belum bisa kami dekati. Sampai dua kali ini kami sudah hampir sampai, awannya tebal dan hari pertama kaca pesawat itu kena partikel abu sehingga kami bersama TNI menyatakan ini dapat membahayakan mesin pesawat, harus segera kembali,” tuturnya.
Rabu (26/12) kondisi cuaca di sekitar Gunung Anak Krakatau berpotensi hujan sedang hingga lebat pada pagi hingga sore hari. “Pada malam hingga dini hari umumnya berawan dan hujan ringan. Arah angin dari barat daya-barat, namun kecepatan angin permukaan relatif menurun dibanding hari sebelumnya dengan kecepatan maksimum dapat mencapai 20 sampai 25 km/jam,” ucap Dwikorita.
Di tempat terpisah, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penannggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho menyebut tsunami di Selat Sunda sebuah bencana yang aneh. Aneh yang dimaksud bencana sangat langka.
Ada tiga bencana alam terbesar terjadi di sepanjang 2018, semuanya merupakan bencana langka alias jarang sekali terjadi. Bencana alam itu, Gempa dan tsunami serta likuifaksi di Sulawesi Tengah, gempa beruntun di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan tsunami Selat Sunda. ”Ada 3 bencana yang cukup besar ditinjau dari korban dan kerusakannya. Tiga bencana ini aneh, langka terjadi,” ujar Sutopo dalam keterangan tertulis, Rabu (26/12/2018).
Dilanjutkan, gempa di NTB langka karena terhajadi secara beruntun. Sedangkan bencana di Sulteng karena gempa tidak hanya menimbulkan tsunami, tapi juga likuifaksi. Dia menyebut likuifaksi di Sulawesi Tengah menjadi yang terbesar di dunia. “Tsunami juga fenomena langka karena dipicu longsoran bawah laut dan erupsi anak gunung krakatau,” imbuhnya.
Terlebih, lanjut Sutopo, erupsi Gunung Anak Krakatau yang longsoran bawah laut yang kemudian menimbulkam tsunami, Sabtu (22/12/2018) lebih besar dari erupsi pada Oktober dan November 2018 lalu.
Dia mencatat sepanjang sejarah, tsunami yang ditimbulkan akibat longsoran bawah laut dan erupsi gunung api seperti di Selat Sunda hanya memiliki persentase 10 persen. 90 Persen tsunami di Indonesia diakibatkan gempa tektonik. “Dalam catatan sejarah tsunami di Indonesia, 90 persen dibangkitkan gempa bumi, 10 persen dibangkitkan oleh longsor bawah laut dan erupsi gunung api,” ungkapnya.
Diketahui hingga pukul 13:00, tercatat 429 orang meninggal dunia akibat tsunami Selat Sunda. 1.485 Orang mengalami luka dan 154 jiwa masih dinyatakan hilang. Tsunami juga memaksa 16.082 penduduk mengungsi. Tsunami it berdampak pada lima kabupaten yaitu Pandeglang dan Serang di Provinsi Banten, serta Kabupaten Lampung Selatan, Pesawaran dan Tanggamus Provinsi Lampung. (END)