Oleh Paul E Talo
Di zaman Belanda – ketika negeri ini disebut Hindia Belanda –, biro perjalanan wisata (BPW) tidak dikenal. Hal wajar, karena warga negara Belanda tidak memahami bahasa Indonesia. Sebutan BPW alias “biro perjalanan wisata”, baru disempurnakan tahun 1987 oleh seorang tokoh pariwisata Indonesia, Direktur Jenderal Pariwisata dan Menteri Pariwisata Joop Ave.
BALI, bisniswisata.co.id: MASA pemerintahan Hindia Belanda, pemerintah merasa perlu menghadirkan perusahaan perjalanan yang disebut reisbureau. Bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “biro perjalanan” — tercantum di dalam Undang-Undang Pariwisata Nomor 9Tahun 1990 sebagai “Jasa Biro Perjalanan Wisata/BPW”, dan Undang-Undang Pariwisata Nomor 10Tahun 2009 disebut: Jasa Usaha Perjalanan Wisata.
Untuk memenuhi keinginan tersebut, tahun 1927 Lissone Lindeman — merger dua reisbureau Belanda yaitu Lisonne dan Lindeman — diminta membuka kantor cabangnya di Batavia. Lisonne Lindeman bertugas merencanakan dan melaksanakan perjalanan wisata bagi warga Belanda yang sedang bekerja atau menetap di Hindia Belanda.
Di tahun 1928 Lissone Lendeman di Batavia dilikuidasi dan diganti namanya menjadi Nederlandche Indische Touristen yang disingkat menjadi Nitour, Inc. Dalam perjalanan bisnis, Nitour, Inc bekerja sama dengan beberapa tour operator (TO) asing antara lain Lissone Lindeman di negeri Belanda,Thomas Cook dari Inggris, American Express dari Amerika Serikat untuk mendatangkan wisatawan dari berbagai belahan dunia, berwisata di Hindia Belanda.
Beberapa dari wisatawan itu memilih menetap di Bali. seperti halnya: Hanns Snell, Walter Spies, Le Mayeur, Roever-Bonnet, Antonio Blanco(Piccard; 2006). Salah seorang wisatawan Miguel Covarubias setelah kembali ke negaranya menulis bukuThe Island of Bali yang menjadikan Bali popular sebagai destinasi wisata.
Setelah Indonesia merdeka, Nitour, Inc dinasionalisasi dan berkantor di ujung Jalan Majapahit Jakarta sampai hari ini. Nitour, Inc tetap menjalankan fungsinya mendatangkan wisatawan asing dari berbagai negara asal wisatawan, khususnya penanganan kapal pesiar. Perlu diketahui, selama perang dunia ke II dan masa pendudukan Jepang, tidak ada perkembangan pariwisata sama sekali.
Setelah Indonesia merdeka, praktis hanya Nitour, Inc yang dapat melaksanakan kegiatan sebagai travel biro. Di tahun 1947 Pemerintah Indonesia membentuk bagian hotel dan tourisme dalam lingkungan Kementerian Perhubungan. Pada tahun 1958 melalui Musyawarah Nasional Tourism ke II di Tretes kata tourisme diganti menjadi “pariwisata” (Prajogo; 1976). Di era tersebut, pemerintah mulai secara serius merencanakan pengembangan pariwisata di tengah kekurangan dan keterbatasan pemahaman hal kepariwisataan.
Langkah-langkah yang diambil antara lain menjadi anggota PATA (Pacific Area Tourism Association) tahun 1957. Masih menurut Prajogo, kata travel biro diperkenalkan pada waktu itu.
Di tahun 1960-an, muncul beberapa travel biro, misalnya: Pacto, Universal, Tunas Indonesia, Compass Travel, Bali Tour, Vista Travel, Vayatour, Dwi Daya, Anta Express,Satrya Tour & Travel Service, ISTA Tour & Travel, Insebu Travel, Pasopati Travel,Golden Bali Tour, Antarruang, Bali Hai dan lainnya, seiring dengan terbentuknya Direktorat Jenderal Pariwisata di bawah Departemen Perhubungan dengan Direktur Jenderal pertama M. J. Prajogo.
Beberapa perusahaan tersebut bertahan hidup sampai sampai saat ini, ada pula yang menghilang. Di tahun 1970-an, jumlah travel biro bertambah dimana tahun 1974 PATA melaksanakan kongres di Jakarta dan loka karya di Yogyakarta serta Bali. Diajang tersebut, para pelaku pariwisata Indonesia belajar dan memahami arti pemasaran dengan hadirnya pemilik-pemilik perusahaan perjalanan dari Asia Pacific.
Beberapa perusahaan perjalanan luar negeri yang disebut wholesaler dan tour operator (Mill & Hill; 1977) mulai aktif mengirimkan wisatawan mereka melalui travel biro yang dianggap sanggup menangani wisatawan mereka.
Pertumbuhan usaha jasa travel biro makin berkembang di era tahun 1980, sehingga dilakukan penertiban pembukaan travel biro, dengan sejumlah persyaratan ketat antara lain: harus berbentuk perseroan terbatas, modal setor Rp. 500 juta, di depan kantor harus ditempatkan tulisan “Biro Perjalanan Umum” berwarna biru (pengganti kata travel biro). Izin operasional hanya diberikan oleh Direktorat Jenderal Pariwisata di Jakarta.
Direktur Jenderal Pariwisata kemudian diganti oleh Ahmad Tirto Sudiro. Di masa kepemimpinannya, diadakan ASEAN Travel Forum (ATF) pertama di Genting Highland-Malaysia tahun 1981. ATF adalah pertemuan pejabat tinggi pariwisata dari seluruh negara-negara ASEAN.
Pararel dengan pertemuan tingkat menteri pariwisata, diselenggarakan pertemuan dagang antara pengusaha travel biro dari negara-negara ASEAN dengan para wholesalers dan tour operator dari seluruh dunia. Di sini adalah ajang saling bertukar informasi tentang keunggulan destinasi wisata, saling menjajagi kecocokan untuk menjadi rekan kerja dan waktu untuk membuat kontrak kerja sama.
Kantor Direktorat Jenderal Pariwisata mengikutsertakan pimpinan travel biro Indonesia dalam kegiatan tersebut. Yang hadir di Genting Highland, Malaysia adalah pimpinan travel biro dari Jakarta, Yogyakarta, Bali, Makasar dan Medan.
Tahun 1982 Dirjen Pariwisata Joop Ave menggantikan Ahmad Tirto Sudiro yang memasuki masa pensiun. Pada saat yang sama berlangsung kegiatan Pata Mart di Bangkok-Thailand, Joop Ave hadir di sana. Di sana, Joop berpidato di depan para delegasi dari Indonesia, isinya antara lain:”Saudara-saudara, saya ditugaskan Presiden untuk memimpin Direktorat Jenderal Pariwisata.Tugas saya bersama saudara adalah untuk mendatangkan devisa bagi negara. Saya menggantungkan harapan kepada saudara-saudara, karena saudara bertemu dan berbicara langsung dengan para wholesalers dan tour operators dari negara-negara asal wisatawan.
Merekalah yang menjual destinasi kita dan produk tour saudara kepada calon turis di negaranya masing-masing. Setelah mereka menerima informasi dari saudara tentang Indonesia, setelah mereka menerima paket wisata dari saudara, mereka akan menyesuaikan dengan keinginan turis-turis di negara mereka.
Mereka menjual, mempromosikan dan mengirim turis kepada saudara untuk menikmati perjalanan wisatanya. Para turis menikmati liburannya, saudara mendapat pembayaran dan keuntungan sedangkan negara mendapatkan devisa.Terima kasih saudara, pahlawan devisa”.
Sejak saat itu Joop Ave selalu mengharapkan atau membawa serta biro perjalanan wisata serta mendampingi mereka walau pun biro perjalanan itu membayar sendiri seluruh biaya perjalanan termasuk menyewa “booth, — kantor sementara selama 3 hari/selama ATF berlangsung — dengan biaya tinggi.
Plus, biaya-biaya lain seperti membuat materi promosi, berupa booklet, leaflet, confidential tariff yang pada masa itu masih dalam bentuk buku sehingga harus membayar kelebihan barang pada perusahaan penerbangan, biaya perjalanan selama beberapa hari dan ada pula perusahaan biro perjalanan wisata melakukan perjalanan lebih panjang dari jadual pertemuan untuk mendapatkan mitra kerja baru.
Dimasa kepemimpinan Dirjen Pariwisata Joop Ave, biro perjalanan wisata juga disebut Inbound Tour Operators (ITO) selalu hadir pada setiap kegiatan travel mart, baik penyelenggaraan dinegara-negara Asia dan negara-negara Pacific serta Asean Travel Mart atau Asean Travel Exchange, acara tahunan negara-negara Asean.
Selain ATF se ASEAN, kegiatan pemasaran produk wisata Indonesia juga dilakukan di ITB Berlin, WTM –London, Jata-Jepang, AFTA –Australia, BIT-Milan, ITIX dan Sea Trade di Amerika, Vacatiebeur di Belanda, BITE di Beijing-China, Matta Fair di Malaysia, Dubai Travel Fair dan sederet kegiatan pasar wisata di negara-negara lain yang berpotensi mengirimkan turis ke Indonesia.
Di dalam negeri pun terdapat kegiatan pasar wisata seperti JTX di Bandung, Borobudur Fair dan lainnya yang menghadirkan tour operator asing sebagai buyer. Joop Ave tidak pernah merasa malu dan bosan mendatangi semua delegasi Indonesia, baik dari inbound tour operator, hotelier dan pemerintah Provinsi atau kabupaten.
Menciptakan Produk Wisata
Di era kepemimpinan Joop Ave sebutan biro perjalanan umum diganti dengan biro perjalanan wisata/BPW. Dan tahun 1987, Direktorat Jenderal Pariwisata dikeluarkan dari Departemen Perhubungan, masuk dalam jajaran Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi dibawah komando Ahmad Taher sebagai Menteri Parpostel.
Di tahun yang sama Menteri Parpostel mengeluarkan: SKKM-96/HK.103/MPPT-87 yang membagi 2 (dua) usaha perjalanan wisata: 1) Biro Perjalanan Wisata (BPW) pasal 1 ad b yang berbunyi:” Biro Perjalananan Wisata adalah badan usaha yang menyelenggarakan usaha perjalanan ke dalam negeri dan atau ke luar negeri. Biro perjalanan wisata adalah terjemahan dari bahasa Inggris: tour operator.
2) Agen Perjalanan Wisata adalah badan usaha yang menjual paket wisata, tiket pesawat, tiket-tiket lainnya, dan voucher hotel. Agen perjalanan wisata adalah terjemahan dari bahasa Inggris (travel agent). Jenis usaha wisata ini tidak membuat paket wisata dan tidak menjalankan perjalanan wisata.
Di undangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan, menetapkan pasal 9, ayat 1 berbunyi: Usaha jasa pariwisata dapat berupa jenis-jenis usaha: a. Jasa biro perjalanan wisata, lalu pasal 11 berbunyi: “Usaha jasa Biro Perjalanan Wisata merupakan usaha penyedia jasa perencanaan dan atau jasa pelayanan dan penyelenggaraan wisata.”Selanjutnya, Undang-Undang Pariwisata No. 10 Tahun 2009 pasal 13 menyebut usaha perjalanan.
Kata-kata biro perjalanana wisata tidak tercantum dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun2009, namun di dalam Pasal 69 berbunyi: Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 9Tahun 1990 tentang Kepariwisataan (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 78 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 3427), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Dengan demikian istilah biro perjalanan wisata tetap dipakai dan kegiatannya tetap sama yaitu merencanakan dan melaksanakan perjalanan wisata.
Dalam hal merencanakan dan melaksanakan/ menyelenggarakan perjalanan wisata ke dalam negeri (inbound) sesuai dengan penjelasan di atas, biro perjalanan wisata atau inbound tour operator kegiatan utamanya adalah menciptakan produk dalam bentuk paket wisata.
Paket wisata dikemas setelah melakukan survei, pengumpulan data, kunjungan langsung ke destinasi-destinasi wisata untuk mendapatkan data-datatentang fasilitaswisata, atraksi wisata dan aksesibilitas.
Menghitung dan menetapkan harga jual, lalu mendistribusikan produk melalui berbagai tempat seperti kantor perwakilan parwisata (VITO), kedutaan besar dan konsulat, wholesalers dan tour operators.
Melaksanakan tindakan promosi yang menurut Marketing mix, Kotler; 1984, adalah dengan menghadiri setiap kegiatan pasar wisata (travel mart) untuk memperbaharui kontrak kerja sama dengan partner lama, mencari dan bekerja sama dengan para wholesalers dan tour operators yang baru serta memperkenalkan produk baru.
BPW melakukan kegiatan promosi dengan biaya mereka sendiri. Melakukan perjalanan sendiri-sendiri, mengunjungi kantor-kantor perusahaan perjalanan di luar negeri dalam upaya memberikan penjelasan langsung produk wisata kepada pihak yang membutuhkan. Dalam hal ini mereka mempraktekan bauran promosi (Promotional mix, Kotler; 1984).
Pemerintah melakukan kegiatan pemasaran destinasi Indonesia, sedangkan biro perjalanan wisata, BPW (inbound tour operators) memasarkan produk usaha mereka agar tetap dapat hidup.
Penghasil Devisa Negara:
Dalam hubungan dengan rekan kerja di negara asal wisatawan, BPW hanya berkerja sama dengan wholesalers dan tour operators. BPW “tidak” pernah bekerja sama dengan travel agent.
Mereka —BPW– dapat bekerja dengan beberapa perusahaan wholesalers dan tour operators dari salah satu negara wisatawan, ada pula bekerja sama dengan perusahaan dari beberapa negara asal wisatawan yang berbeda.
Setelah wholesalers atau tour operators menentukan tanggal kedatangan para wisatawan, ada yang berseri (dengan jadwal kedatangan sepanjang tahun, dengan jumlah peserta yang ditentukan terlebih dahulu) atau kedatangan perorangan yang diminta berdasarkan tailor made, pegawai BPW melakukan pemesanan kamar di hotel.
Pemesanan itu bisa untuk satu kamar atau 15 kamar atau 30 kamar untuk satu kali kedatangan, dapat juga diminta dan dikontrak untuk selama satu tahun. Sebuah BPW dapat memesan 1 atau 2x di sebuah hotel, dapat juga memesan 10x atau 50x, dikalikan dengan jumlah kamar yang dibutuhkan.
Pernyataan ini untuk mengkonfirmasi bahwa pihak hotel menginapkan antara lain wisatawan yang dipercayakan BPW kepada hotel yang diinginkan. Pemilihan hotel dilakukan oleh biro perjalanan wisata atau oleh wholesaler/ tour operator, ada pula ditentukan oleh wisatawan.
Wisatawan yang menginap di sebuah hotel dibagi dalam 4 (empat) jenis bila ditinjau dari segi pemesanan:
1)Wisatawan yang dipesan oleh BPW.
2)Wisatawan yang dipesan oleh wholealers atau tour operators.
3)Wisatawan yang dipesan oleh online travel agent.
4)Wisatawan yang dipesan sendiri oleh wisatawannya sendiri.
Dalam hubungan dengan pembayaran pajak, pihak hotel membayar pajak penjualan dari keempat jenis wisatawan di atas. Hal ini juga terjadi pada restoran, tontonan, obyek wisata dan lainnya. Semua jenis pajak itu berasal dari wisatawan yang sebagian besar didatangkan oleh biro perjalanan wisata/BPW.
Belum ada penelitian yang memberikan perbandingan dari keempat jenis pemesanan di atas, tetapi berdasarkan asumsi berdasar pengalaman, kedatangan wisatawan dan pemesanan kamar di hotel-hotel, dilakukan oleh biro perjalanan masih lebih dominan.
Atau diera milenial kita kembali kejaman Hindia Belanda, “menghilangkan” fungsi peran BPW sebagai penghasil devisa?
Penulis adalah:Praktisi dan Akademisi Pariwisata.