Foto ilustrasi Laporan GIER 2023-2024
JAKARTA, bisniswisata.co.id: Sepotong informasi telah memicu perdebatan di WAG Forum Wartawan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ( Forwarparekraf) ketika salah satu anggotanya menginformasikan hasil
wawancaranya dengan Wakil Menteri Pariwisata Ni Luh Puspa disela jeda wawancaranya dengan Radio Sonora beberapa hari lalu
Menurut Wamen, hasil pertemuan Menteri Pariwisata Widyanti Putri Wardhana dan Ketua Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal. ( BPJPH) Haikal Hasan maka kedua intitusi tersebut sepakat menggunakan diksi Destinasi Wisata Inklusif tidak menggunakan diksi wisata *halal*.
Alasannya wisata halal juga bersifat inklusif dan destinasi wisata inklusif tidak selalu bermakna sebagai destinasi wisata halal. Kontan pernyataan sepihak itu memicu diskusi di WhatsApp Group ( WAG) tersebut dengan 150 an anggota karena di dunia ini belum pernah ada yang menciptakan sebutan destinasi wisata inklusif.
Sayangnya ketika Ketua BPJPH Haikal Hassan di WA untuk konfirmasi hal ini maka pertanyaan pers hanya dibaca alias muncul centang biru saja di HP. Sedangkan WA yang ditujukan pada Muhammad Aqil Irham sebagai Sekretaris Utama BPJPH maka jawabannya adalah “Saya belum tahu; cek dulu,”.
Keterbatasan pengetahuan dari para petinggi kedua institusi bisa dimengerti dengan jabatan barunya masing-masing, namun para petinggi ini memiliki tim ahli yang mumpuni bahwa wisata halal atau halal tourism yang kerap juga diartikan wisata ramah Muslim. ( Muslim friendly tourism) adalah ‘nama’ baku di industri halal dunia atau disebut Halal Industry.
Wisata halal atau halal tourism adalah salah satu bagian dari Halal Industry yang diantaranya adalah sektor Keuangan, Makanan dan Minuman, Tourism, Farmasi, modest Fashion, Kosmetik, Media Rekreasi dll. Perkembangan saat ini bahkan wisata cruise juga sudah menerapkan Islamik Cruise sehingga dunia pelayaran juga ikut menjaring Muslim Traveller.
Jadi sebutan Halal Industry dan halal tourism itu bukan ciptaan para tokoh halal di negeri ini a.l seperti tokoh ulama sekaligus Wakil Presiden 2019 -2024 Maaruf Amin yang konsisten dalam pengembangan wisata halal RI, namun menjadi kata baku yang dipakai dalam laporan-laporan organisasi Islam dunia seperti OKI, institusi maupun lembaga serta laporan-laporan dari Global Islamic Economi Report ( GIER) serta Mastercard-Crescentrating Global Muslim Travel Index (GMTI).
Kedua institusi internasional itu tidak memberikan judul laporannya dengan diksi wisata inklusif dalam laporan GIER dan GMTI. Tapi diksi halal dan pariwisata ramah Muslim yang menjadi sorotan utama dari laporan-laporan di tingkat global ( dunia) itu.
Ada pepatah bilang, “Malu bertanya Sesat di Jalan” oleh karena itu ketika beredar di kalangan masyarakat video pembahasan
RUU Kepariwisataan yang dibahas sengit di Komisi VII DPR RI belum lama ini dan bagaimana Menteri Pariwisata Widyanti Wardhana menjawab tekanan itu membuat kalangan industri pariwisata jadi khawatir minimal ketar ketir bagaimana nasib pariwisata RI ke depan.
Kembali ke soal pengembangan pariwisata halal di Indonesia maka halal tourism di negri ini memang sudah ketinggalan dan terlambat untuk action karena pemerintah masih berkutat pada persoalan definisi dari wisata halal. Sementara negara-negara lain telah mengoptimalkan halal tourism ini dengan berbagai kemudahan untuk merebut pasar Muslim yang sangat besar diperkirakan sekitar 2,2 milyar penganut Islam di dunia
Thailand misalnya telah meluncurkan aplikasi baru untuk memudahkan wisatawan muslim menjelajahi negara tersebut. Dinamai dengan Halal Route, aplikasi yang dikembangkan oleh Halal Science Center di Universitas Chulalongkorn ini menawarkan panduan lengkap untuk restoran, hotel, masjid, dan bahkan lokasi shalat yang ramah muslim.
Tujuannya jelas untuk menjaring lebih banyak wisatawan Muslim ke negara itu. Laporan Global Islamic Economi Report ( GIER) 2023/ 24 pengeluaran Muslim untuk perjalanan bernilai US$133 miliar pada tahun 2022, naik 17% dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2027, diperkirakan akan mencapai US$174 miliar, tumbuh pada tingkat CAGR sebesar 5,5%.
Bagaimana dengan Indonesia yang dijuluki negara Muslim terbesar di dunia ? Indonesia memiliki potensi besar yang bahkan telah terkalibrasi dengan raihan penghargaan “Top Muslim Friendly Destination of the Year 2024” dalam Mastercard Crescentrating Global Muslim Travel Index (GMTI), kata Menpar Widiyanti akhir tahun lalu.
Sayangnya, Menpar Widiyanti lebih memilih diksi destinasi wisata inklusif untuk mengajak kalangan industri pariwisata memberikan layanan tambahan pada wisatawan Muslim.
Salah satu bentuk inklusivitas ini, ujarnya, adalah penyediaan layanan tambahan yang disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan layanan wisatawan, termasuk wisatawan Muslim yang merupakan salah satu ceruk pasar terbesar di dunia, tambahnya
Konsep wisata ramah Muslim ini pun harus dapat dipahami dengan baik oleh seluruh pihak. Yakni sebagai penyediaan layanan tambahan yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi wisatawan Muslim tanpa mengubah karakter destinasi tersebut.
“Layanan dan fasilitas pendukung itu seperti makanan halal, fasilitas ibadah seperti musholla yang nyaman dan lengkap seperti jadwal salat, penunjuk arah kiblat, dan lainnya,” ujar Menpar Widiyanti.
Dengan pemenuhan layanan tersebut, diharapkan akan memberikan layanan yang inklusif tanpa mengubah karakteristik utama destinasi. Hal senada disampaikan Wakil Menteri Pariwisata, Ni Luh Puspa bahwa pariwisata yang inklusif harus dapat dihadirkan di seluruh destinasi tanah air tanpa mengubah karakteristik bahkan menjadi kekuatan untuk daya tarik destinasi tersebut.
“Seperti di Bali yang kekuatannya ada di budaya. Jadi bagaimanapun pariwisata Bali itu adalah pariwisata yang berbasis budaya kemudian juga alam serta lingkungannya,” kata Ni Luh Puspa dalam jumpa pers akhir tahun ( JPAT) 2024 lalu ketika ditanya mengapa Bali menolak sosialisasi Halal ?.
Alih-alih menjawab pertanyaan itu, Wamen Ni Luh Puspa memilih diksi inklusif lagi untuk menyatakan bahwa Bali sebagai destinasi inklusif yang menitikberatkan pada wisata budaya dan alam ketimbang menyebutnya sebagai destinasi wisata halal juga.
Secara bahasa, Inklusif berasal dari Bahasa inggris ‘include’ artinya mengikutsertakan. Dari arti tersebut dapat dimaknai bahwa inklusif sejatinya menyeluruh, melibatkan semua orang dari berbagai kelompok tanpa meninggalkan salah satunya.
Sementara wisata halal adalah kebalikannya, eksklusif tapi bermanfaat untuk Muslim maupun non Muslim dan bisa jadi jalan pintas untuk membuat pariwisata naik kelas yang digadang-gadang duo petinggi pariwisata ini
Entah apa yang ada dalam benak keduanya dengan standar gandanya seiring munculnya tren wisata halal dunia beberapa tahun belakangan ini pasca COVID-19. Apalagi sudah jelas bahwa wisata halal adalah bagian dari Halal industry yang meliputi sektor keuangan, makanan dan minuman, kosmetik, farmasi, media rekreasi dan lainnya.
Pengembangan wisata halal yang terlambat di Indonesia, terlibas pula oleh berbagai strategi negara-negara non Muslim tetangga Asean yang kini menjadi destinasi wisata halal seperti Filipina Thailand, Vietnam bahkan Kamboja yang berupaya menjadi tujuan wisata maupun pemasok beragam produk halal terutama agribisnis.
Negara-negara OKI membangun proyek-proyek pariwisata bilateral dan multilateral dengan menyatukan sumber daya dan keahlian. Negara-negara itu berkolaborasi dalam pengembangan destinasi, kampanye pemasaran, dan menciptakan peluang investasi.
Negara-negara di Subkawasan Mekong Raya, termasuk Thailand, Vietnam, Kamboja, Tiongkok, Laos, dan Myanmar, membentuk kelompok kerja pariwisata untuk mengembangkan dan mempromosikan kawasan tersebut sebagai tujuan wisata. Hasil yang mungkin dicapai pada tahun 2033 adalah pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan kesejahteraan secara keseluruhan
Sebelum bicara soal profit dari ketertarikan negara-negara tetangga itu pada wisata, berkontribusi pada ekosistem Halal industry sudah mendatangkan multi potensi untuk dikembangkan tanpa harus menjadi negara Muslim.
Brazil menjadi pengekspor daging ayam halal ke lebih dari 150 negara. Kebanggaan terhadap produksi, investasi, dan kapasitas Brasil untuk menghasilkan produk halal yang sangat berkualitas tinggi mendapat kepercayaan dari negara-negara Islam untuk memenuhi permintaan pasar yang dinamis.
Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva pada pembukaan Forum Global Halal Brasil ke-2 yang diselenggarakan pada bulan Oktober 2024 di São Paulo, Brasil seperti dikutip dari Salaam Gateway mengungkapkan bahwa Brasil menjadi pengekspor daging halal terbesar melalui kombinasi beberapa faktor, termasuk dukungan pemerintah, inovasi industri, dan kepatuhan terhadap standar sertifikasi halal.
Kemunculan Brasil sebagai pengekspor daging halal terkemuka didukung oleh pemerintah sejak tahun 1960-an. Sumber daya dari kelompok imigran dimanfaatkan untuk menciptakan sektor industri halal modern.
Contoh-contoh di atas menjadi edukasi yang bermanfaat bahkan di kalangan umat Muslim sendiri bahwa wisata halal bukan soal diksi dan kata Halal yang sudah jadi brand dunia. Brazil yang mengembangkan Halal Industry dengan warga yang mayoritas penduduknya beragama Katolik sukses melayani saudara-saudara Muslimnya di dunia.
Bali yang terus menerus enggan dengan kegiatan sosialisasi halal, enggan menjadikan lima desa Islam di Bali sebagai Desa Wisata Halal dan bahkan Wamennya ‘menciptakan ‘ nama baru destinasi wisata inklusif mungkin bisa belajar dari Brazil dampak berganda atau multiplier effect dari Halal Industry termasuk Halal Tourism yang sangat luas.
Mau pariwisata Bali naik kelas bu Wamen ? ayo promosikan Bali sebagai tujuan wisata halal dunia dan lihat hasilnya. Belajarlah dari kunjungan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al-Saud yang berada di Indonesia pada Rabu 1 Maret 2017, kemudian memperpanjang masa liburannya di Bali dari sebelumnya hingga Kamis 9 /3 menjadi Minggu 12 Maret 2017.
Pengalaman wisata halal di Bali membuat Raja dan rombongannya yang berjumlah 1500 orang enggan pulang. Tanya bu ke industri pariwisata Bali bagaimana dampak kunjungan wisata halal sang Raja ?.