SOLO, bisniswisata.co.id: Menjelang acara tahunan Sekaten atau Grebeg Mulud, Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat mulai menabuh sepasang gamelan bernama Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari. Gamelan pusaka ini ditabuh selama 24 jam setiap harinya di pelataran Masjid Agung non stop hingga sepekan ke depan, yang dimulai Sabtu 2 November 2019.
Gamelan yang diletakkan di Bangsal Pradangga di sisi selatan Masjid Agung dan Bangsal Pragangga di utara masjid itu ditabuh para abdi dalem niaya Keraton Kasunanan hingga sepekan ke depan.
“Gamelan Kyai Guntur Madu akan melantunkan Gending Rambu, sedangkan Kyai Guntur Sari akan melantukan Gending Rangkun. Keduanya akan ditabuh secara bergantian selama pelaksanaan Sekaten,” kata Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Dipokusumo, Pengageng Parentah Keraton Surakarta Hadiningrat seperti dilansir laman Tempo, Senin (04/11/2019).
Dijelaskan, Sekaten berasal dari kata Sahadat dan merupakan tata cara dan upacara dalam memperingati Maulud Nabi. Dua pasang gamelan tersebut sejak dulu menjadi alat syiar agama Islam di Jawa. Keduanya ditabuh untuk menarik minat masyarakat agar datang ke masjid dan mendengarkan syiar yang disampaikan ulama. “Gamelan pusaka akan berhenti ditabuh menjelang waktu salat dan tiap malam Jumat,” kata dia.
Pengulu Tafsir Anom Masjid Agung Keraton Surakarta KR Tumenggung Muhtarom mengatakan Gamelan itu akan terus ditabuh hingga hari peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pada 12 Rabiulawal Hijriyah, yang tahun ini jatuh pada Sabtu, 9 November 2019.
Tradisi menabuh gamelan sekaten merupakan bentuk pelestarian budaya yang dipopulerkan oleh Wali Songo. “Gamelan sekaten ini menjadi salah satu bentuk syiar Islam. Tradisi tersebut wujud akulturasi budaya yang dilakukan oleh para wali, khususnya Sunan Kalijaga dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa pada zaman dahulu dan seiring perjalanan waktu berubah menjadi tradisi yang dilaksanakan keraton trah Mataram Islam dari waktu ke waktu hingga saat ini. Dan membuat Islam lebih mudah diterima masyarakat pada masa itu,” ungkapnya.
“Bukan hanya gamelan sekaten, sejumlah simbol yang penuh filosofi Islam juga masih dipertahankan sampai saat ini setiap kali Sekaten digelar. Seperti kinang, telur asin atau kalau orang Jawa menyebutnya Ndog Amal, pecut, mainan gangsing. Semuanya bisa ditemukan di pelataran Masjid Agung selama Sekaten berlangsung. Dan masing-masing memiliki makna di dalamnya,” kata dia.
Sebelum ditabuh, kedua gamelan dikirab dari Keraton Kasunanan Surakarta menuju Masjid Agung. Iring-iringan kirab berjalan dari Kori Kamandungan menuju Masjid Agung, melewati kompleks Siti Hinggil dan berakhir di Masjid Agung. Dua perangkat gamelan tidak ditabuh secara bersamaan. “Cara menabuhnya bergantian,” kata Muhtarom.
Puncak acara Sekaten diwarnai dengan diaraknya gunungan kembar jaler estri yang diarak dari dalam keraton menuju depan Masjid Agung untuk dibagikan ke pengunjung. Tradisi Sekaten diawali pada jaman kerajaan Islam Demak dengan rajanya yang dikenal sebagai Raden Patah, putra Prabu Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit. Dulunya digunakan sebagai syiar agama Islam oleh Wali Songo.
Salah satu abdi dalem bernama Parmo (66) menjelaskan sebelum diletakkan di Masjid Agung, gamelan harus diambil dari kraton terlebih dahulu. Sebab gamelan itu merupakan salah satu pusaka milik Kraton Solo. Dan bukan hal mudah untuk mengangakat perangkat gemelan tersebut karena harus memiliki hati bersih lahir dan batinnya.
Rombongan yang mengangkat gamelan menggunakan pakaian khas abdi dalem kraton. “Tidak ada tidak ada ritual khusus bagi abdi dalem yang membawanya, misalkan harus poso (puasa) dulu. Yang pasti hanya mandi wajib agar bersih ketika membawa perangkat gamelan ke Masjid Agung,” jelasnya.
Hal utama yang dilakukan para abdi dalem, agar tidak terasa berat dan terbebani saat mengangkat perangkat gamelan serta harus melakukannya dengan ikhlas.
“Kudu ikhlas, ning yen ‘ngresula’ (mengeluh) justru saat membawa perangkat gamelan akan terasa berat. Sebab segala sesuatu yang dilakukan dengan hati ikhlas, niat ngawula lahir batin, Insya Allah lancar,” ucapnya.
Parmo mengaku sudah puluhan tahun mengabdi sebagai abdi dalem Kraton Solo. Sejak jaman PB XII masih sugeng (belum wafat). Bahkan sudah sejak jaman kakeknya, keluarganya mengabdi pada kraton. Bersama sekitar 150 abdi dalem Parmo mengangkat perangkat gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari menuju Masjid Agung yang tidak jauh dari Kraton Solo. (ndy)