TRANSPORTASI

Ini Sebab Mengapa 3 Maskapai Timur Tengah Ini Akan Lebih Lama Pulih

Maskapai Timur Tengah akan lebih lama pulih (foto: airline weekly)

JAKARTA, bisniswisata.co.id: Perusahaan penerbangan di Timur Tengah menghadapi tantangan baru setelah sebelumnya [saat musim panas] sempat optimis. Kala itu sejumlah negara melonggarkan aturan restriksi.

Namun kini, banyak negara kembali menutup diri. Mereka tengah bersiap menghadapi gelombang kedua bahkan ketiga serangan virus corona. 

Aturan karantina pun kembali diberlakukan. Itu berarti berita buruk bagi tiga perusahaan penerbangan raksasa Timur Tengah, yakni Emirates, Qatar, dan Etihad. 

Asosiasi Transportasi Udara International (IATA) telah menurunkan forecast lalu lintas penerbangan ke Timur Tengah selama 2020, menjadi hanya 30% dari level tahun lalu.

Sebelumnya mereka menargetkan sekitar 45%. Keadaan ini diperkirakan akan berlangsung hingga 2024, seperti dilansir Airline Weekly.

Sementara itu dua maskapai penerbangan Amerika Serikat (AS), United dan Delta Airlines justru melaporkan pendapatan kuartal ketiga mereka stabil di kisaran setengah dari level 2019. Mereka yakin keadaan ini akan bertahan hingga akhir tahun. 

Selama ini tiga maskapai besar Timur Tengah boleh bangga dengan kemampuan dan kesuksesan mereka mengoperasikan pesawat-pesawat berbadan besar membawa banyak penumpang dari belahan dunia manapun. Melalui hub di Dubai dan Doha, mereka menjangkau berbagai tujuan di seluruh muka bumi. 

Kini, dunia menghadapi pandemi COVID-19. Keadaan memaksa banyak negara memberlakukan pembatasan perjalanan dan karantina. Ini tidaklah menguntungkan bagi bisnis penerbangan.

Faktor lain yang ikut merontokkan pasar yang telah dibangun Emirates, Qatar, dan Etihad adalah meningkatnya jumlah penerbangan point-to-point. Maskapai seperti British Airways dan Virgin Atlantic kini meluncurkan penerbangan langsung ke India dan Pakistan.

Sementara United Airlines baru saja menambah penerbangan langsung ke India dan Afrika. Sedangkan operator penerbangan India, seperti Vistara, sudah terbang langsung ke London dan tempat lain.

Perubahan jaringan penerbangan jarak jauh ini jelas memengaruhi bisnis para operator pesawat terbang di Teluk. Jumlah penumbang yang terbang melalui hub telah terkuras. Pandemi COVID-19 memperburuk keadaan. 

Dalam jangka pendek, akankah penumpang berminat untuk terbang dan transit di hub? Itu menjadi pertanyaan banyak kalangan.

Selama pandemi, terbukti mereka pertimbangkan untuk tidak tinggal berlama-lama di bandara yang hanya akan berisiko tertular virus Corona. Artinya, para penumpang akan cenderung memilih penerbangan langsung. 

Tentu ceritanya akan berubah setelah vaksin ditemukan. Tetapi saat itu terjadi, nampaknya pola perjalanan dapat berubah secara permanen.

Yang jelas, Timur Tengah memiliki pasar penerbangan bertarif rendah yang sangat dinamis. Sebagian maskapai penerbangan ini bahkan mulai menawarkan penerbangan jarak lebih jauh. Sebagian besar pasar selama ini dikuasai tiga maskapai utama yakni Emirates, Qatar, dan Etihad. 

Dengan armada Airbus A380, mereka terbang hampir ke seluruh penjuru dunia. Namun kini, banyak pesawat A380 mereka yang terpaksa parkir saja di bandara.

Qatar baru-baru ini bahkan mengatakan belum dapat memastikan kapan A380 mereka akan kembali beroperasi. 

Seperti menjadi ciri khas wabah pandemi, bisnis kargo justru relatif bersinar. Data IATA menunjukkan lalu lintas kargo ke Timur Tengah hanya turun 7% di bulan Agustus. 

Untuk mensiasati kekosongan pesawat penumpang berbadan lebar, sejumlah maskapai memanfaatkan sebagian kapasitas itu untuk diisi kargo. Tren pemanfaatan ruang pada pesawat komersial untuk diisi karbo meningkat signifikan.  

“Perjalanan udara dengan pesawat ternyata pulih lebih melambat dari yang kami antisipasi. Para pelancong di Timur Tengah belum berminat kembali melakukan perjalanan udara.

Itu adalah berita buruk bagi industri penerbangan di kawasan tersebut,” kata Muhammad Albakri, wakil presiden IATA untuk kawasan Afrika dan Timur Tengah.

IATA sebelumnya memprediksi akan terjadi penurunan jumlah penumbang menjadi hanya 45% dari capaian di 2019. Namun keadaan nampaknya akan lebih buruk. Mereka memperkirakan jumlah penumpang hanya akan mencapai sepertiga dari angka di 2019. 

“Gelombang kedua serangan virus Corona yang dikombinasi dengan pembatasan perjalanan dan aturan karantina memaksa kami memangkas prediksi,” imbuhnya.

 

Rin Hindryati