NASIONAL

Harga Tiket Pesawat masih Mahal, Musibah bagi Bisnis Perhotelan

JAKARTA, bisniswisata.co.id: Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menilai mahalnya harga tiket pesawat membawa musibah bagi industri perhotelan pada semester I 2019. Tingkat okupansi hotel tertekan menjadi hanya sekitar 40 persen, padahal pada periode itu biasanya menyentuh 50 persen.

Pemerintah memang sudah menurunkan harga tiket pesawat dengan mengeluarkan beberapa kebijakan, antara lain penurunan Tarif Batas Atas (TBA) sebesar 12 persen hingga 16 persen pada Mei 2019, dan harga tiket pesawat berbiaya murah (Low Cost Carrier/LCC) menjadi sebesar 50 persen dari TBA untuk jam-jam tertentu mulai bulan ini.

“Sayangnya belum melihat dampak kebijakan penurunan harga tiket pesawat terhadap tingkat okupansi hotel. Memang jika dilihat, kan kuota tidak banyak apalagi tiket yang dijual dengan diskon tidak banyak, hanya jam-jam tertentu saja,” ungkap Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani di Jakarta.

Hariyadi juga Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai tingginya harga tiket maskapai akibat kartel tiket pesawat terkait dengan dua nama perusahaan penerbangan, yakni Grup Garuda Indonesia dan Grup Lion Air. Keduaya kini menguasai pasar penerbangan, sehingga berpengaruh terhadap harga jual tiket pesawat.

“Mereka menguasai 97 persen pangsa pasar. Makanya kami berpandangan pemerintah perlu membuka keran persaingan supaya ada keseimbangan tarif tiket. Kran itu bisa dengan menerima kehadiran maskapai asing,” tegas Hariyadi.

Hanya ada dua group maskapai penerbangan di Indonesia sehingga kurang ada persaingan yang sehat. Kondisi pasar duopoli memunculkan kerentanan persaingan harga yang tidak sehat dalam suatu industri. Sebab, ketika misalnya salah satu pelaku usaha menerapkan kenaikan harga, pelaku usaha yang lain tidak serta merta akan mempertahankan harga.

“Justru, pemain lain bisa saja melakukan kenaikan harga juga, meski tidak setinggi pemain sebelumnya. Hal ini lantaran pemain itu melihat ada peluang untuk tetap mendapat keuntungan dalam persaingan yang pasarnya dikuasai oleh dua pemain saja. Masyarakat jadi tidak ada pilihan,” lontarnya.

Karena itu, Hariyadi mendorong Presiden Joko Widodo agar menerapkan sistem open sky atau kebijakan bersama membuka wilayah udara di Indonesia termasuk untuk maskapai asing. “Kami sudah pernah mengusulkan ke pemerintah agar membuka pintu masuk regional airlines ke Indonesia untuk menambah rute domestik. Bisa saja itu Jetstar, AirAsia, dan lainnya. Jadi ini tentu saja kabar yang sangat menggembirakan,” kata Hariyadi.

Hingga saat ini, sambung dia, harga tiket pesawat masih terlalu mahal. Mahalnya tiket ini mempengaruhi bagi dunia usaha pariwisata terutama untuk jasa travel dan penginapan. “Dengan tingginya harga tiket pesawat ini sudah tentu ada pengaruhnya bagi industri perhotelan. Yang jelas menyebabkan okupansi turun,” kata Hariyadi.

Selain itu jumlah wisatawan domestik pun berkurang. Walhasil, jumlah masyarakat yang menyewa hotel di daerah pariwisata ikut merosot. “Yang paling kena itu di Indonesia bagian timur, karena kalau ke kawasan itu paling mahal harga tiketnya,” jelasnya.

Sementara Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Soetrisno Iwantono mengatakan hotel yang paling terdampak dari kartel pesawat adalah hotel non bintang. Hotel non bintang umumnya menjadi incaran pelancong yang membayar kamar hotel dengan uang pribadi. “Kalau yang menggunakan hotel berbintang itu biasanya eksekutif yang dibiayai oleh perusahaan,” terang dia.

Ia menyatakan persoalan di industri penerbangan yang berpengaruh negatif ke perhotelan bukan hanya kartel pesawat, tapi juga kartel kargo, rangkap jabatan di PT Garuda Indonesia Tbk dan PT Sriwijaya Air, dan isu soal tiket maskapai Air Asia Indonesia yang tak lagi bisa dibeli di online travel agent (OTA). “Ini semua kan lagi diusut di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),” katanya seperti dilansir laman CNNIndonesia, Rabu (24/07/2019)..

Ia menambahkan bahwa pihak Apindo siap memberikan keterangan jika dibutuhkan oleh KPPU terkait persoalan di industri penerbangan sebagai bahan investigasi. Masalahnya, hal tersebut ikut berdampak negatif pada sektor bisnis

Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio membantah mahalnya tiket pesawat dituding sebagai dalang lesunya sektor pariwisata dan hotel di tanah air. Jumlah wisatawan dan okupansi atau tingkat hunian hotel menurun dianggap sebagai dampak mahalnya tarif transportasi udara yang membuat masyarakat enggan bepergian, merupakan salah besar.

Dilanjutkan, kinerja sektor pariwisata menurun tidak sepenuhnya salah maskapai yang menaikkan harga tiket. Ada hal lain yang juga turut mendorong anjloknya jumlah wisatawan dan okupansi hotel.

“Hotel mengeluh, turis mengeluh. Itu karena tidak bisa mengurusnya. Kita sudah 5.0, mereka masih 1.0. Kenapa pariwisata kurang? Ya itu karena Menteri Pariwisata tidak bisa mengurus sektor pariwisata. Jangan salahkan airline, tanya ke Menteri Pariwisata apa yang dilakukan,” kata Agus Pambagio dalam sebuah acara diskusi di Kawasan Cikini, Jakarta Pusat, belum lama ini.

Saat ini, sambung Agus, kemajuan teknologi kian pesat. Hotel atau penginapan harus mengikutinya sebab masyarakat zaman sekarang lebih senang memesan hotel dengan cara praktis melalui aplikasi online travel agent (OTA).

Menurut dia, pengelola hotel masih banyak yang ketinggalan zaman. Di saat mayoritas turis memesan hotel dan penginapan melalui OTA, mereka masih menjalankan bisnisnya secara manual. Sementara hotel itu jumlahnya semakin banyak.

Selain itu, dia mengungkapkan masih banyak infrastruktur penunjang pariwisata yang belum menunjang sehingga harus dilakukan perbaikan. Misalnya jalan untuk masuk menuju lokasi wisata.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mewacanakan akan menerapkan sistem open sky. Caranya, dengan mengundang maskapai asing masuk ke Indonesia. Sebab, semakin banyak maskapai, harga tiket pesawat akan semakin bersaing.

Presiden Jokowi juga mengakui pemerintah telah berupaya menurunkan harga tiket pesawat. Langkah yang telah ditempuh seperti menurunkan Tarif Batas Atas (TBA) dan menaikkan Tarif Batas Bawah (TBB).

Kemudian, harga avtur juga telah diturunkan karena dinilai berkontribusi hampir 40 persen terhadap total biaya yang ditanggung maskapai penerbangan. “Tarif Batas Bawah dan harga avtur kan sudah diturunkan, hanya tidak kembali ke harga semula. Memang harga tiket pesawat masih belum kembali ke titik normal. Mungkin kompetisinya kurang banyak,” ujar Presiden Jokowi.

Industri penerbangan Tanah Air saat ini dikuasai oleh dua pemain besar, yakni Lion Air Group (Lion Air, Batik Air, dan Wings Air) dan Garuda Indonesia Group (Garuda Indonesia, Citilink, Sriwijaya Air, dan Nam Air). Terbatasnya pemain di industri berdampak pada penentuan harga tiket pesawat yang kurang kompetitif.

“Kita akan perbanyak kompetisi ini, sehingga mereka (maskapai) akan semakin efisien. Saya kira di dalam negeri sendiri kalau ada kompetisi kan bagus,” kata Presiden Jokowi. (NDY)

Endy Poerwanto