Vitria Ariani, Ketua Tim Percepatan Wisata Perdesaan dan Perkotaan Kementrian Pariwisata saat presentari materi di Riau, pekan lalu
JAKARTA, bisniswisata.co.id :Tim Percepatan Wisata Pedesaan dan Perkotaan melakukan pemetaan potensi desa-desa wisata. Hal ini dilakukan untuk mengukur kekuatan daya tarik masing-masing desa wisata dan dibuatkan tingkatan dari rintisan, berkembang, maju dan mandiri.
“ Pertengahan April ini selain kami menyelenggarakan bimbingan teknis pengelolaan wisata pedesaan dan perkotaan di Rama Candidasa, Karangasem, Bali. Tim kami menyebar ke berbagai daerah atas undangan berbagai pihak,” kata Vitria Ariani, Ketua Tim Percepatan Wisata Perdesaan dan Perkotaan Kementrian Pariwisata, hari ini.
Pihaknya bersinergi dengan berbagai pihak sekaligus mensosialisasikan program kerja Tim Percepatan Wisata Perdesaan dan Perkotaan Kementrian Pariwisata 2018 karena memiliki mimpi yang sama.
“Dari hasil kunjungan ke berbagai daerah terlihat semua pihak mimpinya membangun desa wisata sehingga menjadi sumber pemeritaan ekonomi desa dan semangat mengembangkan community base tourism & sustainability bersama,” kata Vitria Ariani.
Pekan lalu misalnya, Ria ke provinsi Riau dan anggota tim lainnya yaitu Dani Rahadian M ke Lombok, Myrza Rahmanita ke Jogya, Sulistyo Tri Wibowo ke Rejang Lebong, provinsi Bengkulu, Doto Yogantoro menghadiri acara di Jogyakarta pula.
Event sosiasilasi dan workshop ada yang diselenggarajan oleh Kemenpar, Dinas Parekraf Provinsi Bengkulu, Kementerian Komunikasi dan Informatika serta pihak terkait lainnya.
Kegiatan mapping, bimbingan teknis dan sinergi serta upaya lainnya ada lah untuk mendongkrak kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke desa-desa wisata di Indonesia sehingga memudahkan dalam promosi yang tepat sasaran, program peningkatan kapasitas dan juga pengembangannya.
“Kita jadi punya skala prioritas dalam membangun maupun memasarkannya. Tahap awal ada tiga target wilayah utama yang disasar, yakni Great Bali, Great Jakarta dan Great Kepri. Ketiga pintu masuk terbesar wisman ini akan dioptimalkan desa-desa wisatanya menarik wisman.
Dia menjelaskan, pembagian kelas dari rintisan, berkembang, maju hingga mandiri untuk mempermudah pemerintah dalam membantu pengembangannya. Yang sudah mandiri tentu berbeda penanganannya dengan maju, begitu juga yang kategori berkembang akan berbeda dengan yang masih rintisan.
“Dari 2000 desa wisata di Indonesia kami targetkan 100 desa wisata mandiri, tahap awal 30 desa, dan saat ini sudah 10 desa teridentifikasi. Tentunya yang sudah memiliki unsur 3A (akses, atraksi, amenities) dan SDM nya yang siap, masuk dalam kategori desa wisata mandiri,” ungkap wanita yang akrab disapa Bu Ria ini.
Tidak hanya itu, tambahnya, desa-desa wisata tersebut akan dibuatkan story telling dalam bentuk film pendek yang menarik. Dengan story telling yang kuat akan menjadi materi promosi efektif ke wisatawan.
“Desa wisata menjadi tempat tujuan wisman ketika ingin melihat kearifan lokal suatu daerah, masyarakat desa yang masih memegang teguh adat istiadat menjadi daya tarik. Sebab itu story telling menjadi hal utama yang ingin didengar dan dilihat wisman ketika berkunjung ke desa wisata,” ungkapnya.
Dukungan Dana Desa
Kesempatan terpisah, Rafdinal, Direktur Perencanaan dan Identifikasi Daerah Tertinggal Kemendes mengatakan penggunaan Dana Desa dan BUMDes dapat menciptakan desa wisata mandiri.
“Pemanfaatan Dana Desa banyak untuk membangun infrastruktur seperti jalan desa, jembatan, pasar dan sarana lainnya. Potensi Wisata yang dimiliki Desa dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa),”
Oleh karena itu pemanfaatan dana desa harus direncanakan dengan baik. Tahun lalu dana yang dikucurkan untuk pembangunan homestay, rumah jaga, fasilitas umum seperti toilet, pompa air, genset listrik, moda transportasi air dan lainnya.
“Direncanakan Tahun 2018, Dana Desa akan digunakan untuk penambahan bangunan homestay dengan swakelola,” kata Rafdinal.
Sementara itu, Doto Yugantoro, pengelola desa wisata mandiri Pentingsari, Yogja yang juga menjadi anghita Tim Percepatan ini menambahkan bahwa dalam mengelola desa wisata agar mapping semua potensi desa dan memperhatikan sedikitnya lima hal.
“Kelima hal utama itu adalah produk harus asli Desa sehingga kami di Pentingsari menjual produk Live in, wisatawan datang untuk melakukan berbagai aktivitas desa sehingga produknya jadi beragam seperti bersawah, bikin wayang suket, membuat kopi dan lainnya,” kata Doto.
Kedua adalah mewadahi aktivitas itu dalam satu kelembagaan yaitu Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) sehingga ada legalitasnya sehingga pembagian kerja bagi seluruh warga yang terlibat juga jelas.
Hal ketiga yang harus dipikirkan bersama adalah SDM. Para pengelola desa wisata haruslah orang yang memiliki hati nurani dan punya misi yang sama untuk memajukan desanya. Kalau tidak memiliki hati nurani akan susah berbagi dengan sesama warga.
Faktor utama ke empat adalah pilihan wisatawan yang ingin dijaring apakah domestik atau mancanegara lalu bagaimana promosinya melalui berbagai jalur termasuk media sosial dan yang kelima adalah mengatur masalah investasi.
Doto menekankan bahwa kesiapan masyarakat desa untuk menjadikan wilayahnya sebagai desa wisata salah satu hal utama, karena merubah mindset warga bukan hal gampang apalagi menanamkan menjadi orang yang bisa bermanfaat bagi orang lain.
“Kepeloporan dan menjadikan tujuan bersama lebih penting dari ego pribadi menjadi kunci dalam pengelolaan desa wisata. Sebab itu peningkatan kapasitas SDM menjadi hal penting,” ujar Doto.