LAPORAN PERJALANAN

Gaya Blusukan ke Lima Negara di Lumina , Grand Maerokoco Semarang.

SEMARANG, bisniswisata.co.id: Banyak cara dalam menyikapi musibah termasuk pandemi global yang membuat sektor pariwisata di seluruh dunia terpuruk. Namun Direktur PT PRPP Jawa Tengah Dra Titah Listiorini MM,  pengelola Taman Mini Jateng yang disebut Grand Maerakaca justru mampu meningkatkan tarif masuk dengan menambah daya tarik baru.

” Sejak 5 September 2020 lalu kami  membuka resmi Lumina berasal dari kata “Ilumination” yang artinya adalah cahaya atau “penerangan”. Harapannya menjadi cahaya bagi fasilitas lainnya yang sudah ada di Grand Maerakaca” ujarnya.

Pandemi Corona dalam beberapa bulan terakhir berdampak besar bagi pemasukan segala sektor usaha, termasuk pariwisata. Sempat tiga bulan ditutup dari 8 Maret, Grand  Maerakaca dibuka kembali 22 Juni 2020 dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat di era COVID-19 ini.

Pembukaan kembali dilakukan setelah mendapat rekomendasi dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dari Kota Semarang. Berbagai pembaruan dilakukan seperti pembayaran tiket secara digital, pemasangan tempat cuci tangan di 15 titik, papan petunjuk dan himbauan di pasang agar pengunjung rajin cuci tangan, selalu pakai masker dan jaga jarak.

” Setelah dibuka kembali pengunjung anjlok di hari biasa hanya 200 an orang, week-end naik 300-400 orang. Padahal sebelum COVID pengunjung capai minimal 1000 orang di hari kerja  dan saat week-end diatas 5000 orang,” jelas Titah.

Pandemi membuat orang takut berwisata tapi Titah melihat adanya peluang dan waktu yang tepat untuk berbenah. Mulai dari renovasi hingga bikin wahana baru. 

Untuk Lumina Titah merubah lahan kosong yang kumuh dan becek dengan jalan masuk ke dalam kawasan mangrove buatan di Grand Maerakaco.

Untungnya sebelum pandemi, proyek ini sudah mulai dikerjakan sehingga selama tutup proyek terus berlanjut. Obyek baru yang menggandeng investor dengan sistem bagi hasil tiket itu terus dikerjakan hingga pada 16 Agustus – 2 September 2020 sudah bisa dinikmati selama 17 hari dengan total sekitar 20.000 pengunjung.

” Lumina sempat kami tutup tiga hari untuk bersolek dan dihias lampu-lampu dan pernak-pernik lainnya. Pada 5 September 2020 lalu kami  sudah grand launching dan mendapat sambutan meriah dari warga Semarang dan kota-kota lainnya,”

Lumina berlokasi tidak jauh dari wahana bebek air maupun hutan mangrove dan terdiri dari bangunan-bangunan baru berbentuk miniatur hunian mancanegara yang  sejalan dengan konsep Grand Maerakaca

             Rumah Mexico di Lumina, Grsnd Maerakaca, Semarang

Selama ini Grand Maerakaca menyajikan anjungan dengan miniatur bangunan khas dari 35 kabupaten-kota di Jawa Tengah termasuk hutan mangrove seperti di Karimunjawa, bahkan ada Laut Jawa yang juga bisa diarungi dengan perahu bebek.

“Kami ambil masing-masing dari lima negara, yakni dari Jepang,Santorini (Yunani), Turki. Meksiko dan Arab. Harapan kami, pengunjung bisa menikmati kekhasan dari mancanegara,” tutur Titah, sapaan akrabnya.

Ada sekitar 25 replika bangunan menyerupai aslinya. Berkat kerjasama dengan PT Genta Multijaya, bangunan tersebut berhasil digarap selama 5 bulan dengan nilai investasi Rp 2 Milliar.

Harga tiket yang semula dibanderol Rp 10 ribu per orang naik menjadi Rp 15 ribu. Harga tersebut sudah dperhitungkannya termasuk  membanding objek wisata lain di Kota Semarang.

Persembahan bagi penggemar foto

Tidak semua bangunan yang berbentuk 3D bisa dimasuki, namun para pengunjung dijamin mendapatkan foto-foto  yang instagramable.

Lumina memang memikat, begitu tiba gerbangnya sudah kental dengan nuansa kuil Jepang biasa disebut Torii dan membuat pengunjung langsung menghentikan langkah untuk swa foto atau foto bersama.

Torii adalah merupakan pembatas antara kawasan tempat tinggal manusia dengan kawasan suci tempat tinggal dewa. Selain itu, bangunan ini berfungsi sebagai pintu gerbang kuil.

Torii biasa ditemukan dipintu masuk kuil Jepang , seperti gerbang besar berupa dua batang palang sejajar yang disangga dua batang tiang vertikal. Bangunan ini umumnya dicat dengan warna merah (oranye) menyala, dan kadang-kadang juga tidak dicat (warna asli bahan bangunan).

Pemukiman Jepang memang mengawali ‘petualangan’ di lima negara. Masing-masing bangunan  ditampilkan dalam bentuk tiga dimensi (3D). Sudut pengambilan dan waktu kunjungan akan sangat mempengaruhi hasil foto.

” Banyak pengunjung datang di pagi hari sambil bersepeda atau sore jelang sunset karena hasil fotonya  cantik-cantik  seolah-olah sedang di lima negara itu,” ungkap Titah.

Lampu-lampu kertas seperti lampion, hiasan bendera koinobori berbentuk ikan-ikanan terpasang depan rumah gaya Jepang dimana warganya  memang suka memelihara ikan di halaman rumah terutama ikan Koi. Identitas lainnya seperti bunga Sakura juga menghiasi depan rumah.

Sekitar abad ke-12 di Jepang. Kaisar Jepang senang sekali memelihara ikan koi, suatu ketika kaisar melihat tingkah laku yang aneh pada ikan koinya. Ikan itu melompat-lompat seperti ingin keluar dari kolam dan oleh kaisar ikan itu dibawa keluar istana.

Baru saja kaisar keluar dengan membawa ikan koi kesayangannya itu, terjadilah gempa yang sangat dashyat, dan kisar selamat karena ia berada diluar halaman kerajaan. Itulah awal mula mengapa ikan koi disebut ikan keberuntungan dan berharga mahal.

Para Samurai di Muromachi di Jepang menghargai ikan ini sebagai simbol keberanian dan usaha keras/pantang menyerah dan secara khusus juga dianggap sebagai simbol dari anak lelaki yang kemudian dikaitkan dengan perayaan hari anak laki-laki (Kodomo no Hi), setiap 5 Mei, yang ditandai dengan diadakannya festival.

Dari Jepang pengunjung diajak menikmati keindahan rumah-rumah di Santorini, sekitar 200 km sebelah Tenggara Yunani dimana pemukimannya terletak ditepi tebing laut Aegea. 

Santorini adalah salah satu destinasi wisata favorit bagi wisatawan dunia. Bangunan rumah penduduknya menggunakan arsitektur tradisional khas Cyclades, gugusan pulau setempat. 

Bangunan bentuknya menyerupai kubus atau silinder dengan warna rumah didominasi warna putih dan biru atau warna cerah lainnya.

Di area Santorini, pengunjung bisa naik turun tangga sehingga bisa berpose dengan lebih kreatif bukan sekedar di depan pintu rumah. Warnanya yang dominasi putih dan biru cukup membuat penampilan dan baju yang dikenakan pengunjung jadi eyes catching.

                      Rumah-rumah dari lima negara. ( Foto: HAS)

Sudah terbayang bagaimana serunya pengunjung yang datang bersama keluarga ataupun anggota komunitasnya. Mestinya heboh dengan celoteh dan atur posisi berfoto ria.

Titah mengakui, bukan hanya petugas Grand Maerakaca saja yang bisa tiba-tiba jadi ” polisi”, tiap Sabtu dan Minggu saat berada di lokasi ini, dia juga mendadak bawel mengingatkan pengunjung pakai kembali maskernya setelah berfoto ria.

Selain mengingatkan langsung, petugas melalui pengeras suara juga selalu meminta pengunjung terutama rombongan keluarga agar selalu pakai masker dan jaga jarak.

Ternyata memang ada kaitannya antara Turki dan Yunani terutama dalam hal gaya arsitektur bangunan karena letaknya memang berbatasan dengan Yunani. 

Terletak persis di antara benua Asia dan Eropa, Turki adalah sebuah negara di kawasan Timur Tengah yang tersohor akan kekayaan sejarah dan budaya, serta keunikan alamnya. “Kekayaan” Turki pun diakui dunia dengan adanya 11 situs UNESCO World Heritage yang tersebar di seluruh penjuru negara ini.

Rumah-rumah Turki ini dihiasi dengan bunga Tulip darimana bunga itu berasal bukan dari  Belanda.  Tulip sebenarnya berasal dari Turki, dulu dibudidayakan pada masa kekaisaran Ottoman dan kemudian baru masuk ke Belanda hinggak identik dengan negri kincir angin itu.

Kata Tulip  dalam Bahasa Turki yakni “turban”  karena bentuknya menyerupai turban alias penutup kepala khas Turki yang biasa dipakai pria Turki. Pengunjung bisa naik ke teras atas rumah Turki yang ada atau sekedar berpose depan rumah yang dihiasi lampu-lampu gantung di sisi kiri dan kanan pintu masuk.

Perjalanan dilanjutkan ke benua Amerika Utara, tepatnya di Mexico yang tampilan depan rumahnya lebih ‘garang’ dengan tulang kepala kerbau di  tiang-tiang kayu sebelum pintu masuk seperti di film-film koboi.

Pengunjung bisa berpose di teras rumah dengan tangan bertelekan di pagar. ” Nantinya akan ada penyewaan kostum sehingga bagi yang suka foto bisa lebih ‘menjiwai’ karakter orang Mexico,” kata Titah

Nama Mexico berasal dari Mexi ialah sebagian nama Mexitli, yaitu nama dewa perang sedangkan co bermakna ‘tempat’ dan ca berarti ‘orang’. Kebanyakan dari orang Meksiko tidak bisa berbahasa Inggris meski negara mereka berbatasan langsung dengan Amerika. 

Karena 300 tahun di jajah Spanyol maka mereka berbahasa Spanyol, bukan bahasa Meksiko meski ada 50 bahasa lokal. di Lumina pengunjung bisa berfoto di depan bangunan dengan atap bentuk topi khas Mexico Sombrero.

Di bagian ujung barulah pengunjung bertemu dengan rumah adat orang Arab disebut Ushaiger, sebuah desa  yang terletak 200 kilometer barat laut Riyadh di jantung Najd, dataran tinggi tengah Semenanjung Arab. 

Ushaiger yang berarti “Pirang Kecil” dinamai sesuai warna bukit kecil yang terletak di utara desa. Meski terbuat dari batu merah, penduduk setempat mengatakan warna merah itu dengan istilah pirang di masa lalu.

Di tempat aslinya, Ushaiger dikelilingi oleh tembok tebal dengan menara besar dan pintu lebar yang terbuat dari kayu. Di Lumina warna bangunannya cendrung coklat dan kuning dan cukup menarik untuk pose-pose di pintunya yang melengkung.

Di bagian akhir terdapat sebuah panggung sekaligus bisa dimanfaatkan untuk duduk-duduk istirahat sejenak setelah blusukan ke lima ‘negara’. 

Kata blusukan rasanya lebih tepat karena blusuk dari bahasa Jawa artinya masuk dan berkunjung ke Lumina berarti masuk ke tempat tertentu untuk mengetahui sesuatu sambil dolanan atau ‘bermain’.

Dari Lumina  pengunjung bisa menuju kembali ke wilayah Taman Mini Jawa Tengah melalui Jembatan di anjungan Brebes dan bertemu lagi dengan  jembatan panjang melingkar dengan hutan-hutan bakaunya.

Hingga kini Grand Maerokoco masih punya misi memberikan edukasi kepada pengunjung terkait pentingnya hutan bakau, mulai dari ekosistem hingga manfaat tanaman yang telah dibudidayakan sejak 2007 tersebut.

Lahan terbuka yang hijau itulah yang menjadi  alasan utama Irwan, karyawan hotel  Serrata, di Srondol, Semarang untuk refreshing sejenak berwisata ke Lumina bersama keluarga.

“Mumpung libur, saya pilih ke Lumina yang lagi hits apalagi udaranya terbuka dan protokol kesehatan benar-benar diterapkan sehingga kami mereka aman berwisata di tengah pandemi,” kata Irwan.

Dia juga mengaku ingin memanjakan istrinya sejenak karena mendadak harus jadi guru bagi putra yang berusia 6 tahun karena peraturan belajar dari rumah.

Luas Grand Maerokoco yang mencapai 20 ha diharapkan bisa memanjakan mata, pikiran dan lidah keluarganya untuk sekaligus wisata kuliner.

Alhasil berwisata di lima negara dan mengunjungi tiga benua ternyata bisa dilakukan di Lumina. Meski panas terik, ada rasa enggan untuk buru-buru beranjak. Apalagi tempat wisata ini  lokasinya hanya lima menit dari bandara A. Yani Internasional Airport. Akhirnya terucap juga kata perpisagan dengan Titah. Au Revoir Madame…...

 

Hilda Ansariah Sabri

Pendiri, Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi dan pemegang sertifikasi Wartawan Utama Dewan Pers dan Ketua Departemen Pariwisata PWI Pusat (2018-2023)