BANYUWANGI, bisniswisata.co.id: FESTIVAL Ngopi Sepuluh Ewu (Ngopi Sepuluh Ribu) kembali menyedot animo ribuan orang untuk datang ke Desa Adat Kemiren, Banyuwangi, Sabtu (12/10) malam. Acara yang sudah memasuki tahun ketujuh ini tak ubahnya menjadi lebarannya para pecinta kopi Banyuwangi.
“Kalau sekadar mau ngopi khas Banyuwangi, banyak kok kafe yang menyediakannya sekarang. Tapi, beda dengan ngopi di sini,” ujar salah satu pengunjung asal Surabaya, Umam, yang mengaku sudah tiga tahun terakhir datang di acara Festival Ngopi Sepuluh Ewu ini.
“Ini seperti lebaran. Kita bisa bersilaturahmi. Bertemu dengan teman-teman sesama pecinta kopi. Ngobrol macem-macem. Melepas kangen,” imbuh lelaki yang pernah KKN di Banyuwangi saat kuliah itu.
Tradisi ngopi di Desa Kemiren memang tak sebatas menikmati seduhan biji kopi. Namun, ada pesan filosofis yang terkandung dalam tiap cangkirnya. Dengan secangkir kopi, bisa menyatukan beragam perbedaan serta merekatkan tali persaudaraan.
Festival Ngopi Sepuluh Ewu ini dihadiri oleh Direktur Jendral Otonomi Daerah Kementrian Dalam Negeri Akmal Malik. Ia erkesan dengan festival yang digelar warga Kemiren secara swadaya. “Di Banyuwangi ini terasa keguyuban warganya. Mulai Gandrung Sewu hingga Festival Ngopi warga gotong royong untuk memajukan daerahnya lewat atraksinya. Pancasila hadir sesungguhnya di Banyuwangi ini,” ungkap Akmal.
Festival Ngopi Sewu digelar swadaya oleh warga Desa Kemiren. Ini sebagai bentuk penghormatan warga kepada para pengunjung dengan menyuguhkan kopi yang telah menjadi budaya warga Kemiren.
Untuk mempersiapkan 10 ribu cangkir kopi, warga Kemiren menyiapkan tak kurang dari 350 kg bubuk kopi khas Banyuwangi. Ada beragam varian yang disajikan mulai dari arabica, robusta hingga house blend. “Spirit semacam inilah yang perlu dicontoh oleh daerah lain untuk membangun daerahnya,” tuturnya
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas juga mengapresiasi kegiatan yang merupakan bagian dari kegotongroyongan masyarakat. Semuanya disiapkan dan dirancang oleh warga Kemiren. Partisipasi publik yang tinggi dalam mempersiapkan festival, tambah Anas, bisa mendongkrak berbagai sektor lainnya. Terutama ekonomi kreatif yang sedang bergeliat di desa tersebut.
“Acara ini menjadi cara untuk mengundang orang datang ke sini. Sebagai desa wisata, kedatangan orang ke Kemiren menjadi sesuatu yang penting untuk menggerakkan sektor ekonomi kreatif yang sedang tumbuh di sini. Seperti kuliner, batik, seni pertunjukan hingga penginapan,” ujar Anas seperti dilansir laman MediaIndonesia, Ahad (13/10/2019).
Sesepuh adat Desa Kemiren, Suhailik, menjelaskan warga Kemiren memiliki falsafah lungguh, suguh dan gupuh dalam menghormati. Ngopi Sepuluh Ewu sangat menggambarkan falsafah yang dipegang warga. Lungguh, papar Suhailik, adalah menyiapkan tempat. Sedangkan suguh adalah menyajikan hidangan. Adapun gupuh adalah kesigapan tuan rumah dalam menyambut tamu tersebut.
“Kita siapkan tempat duduk di sepanjang teras warga sebagai bagian dari lungguh. Kita juga siapkan kopi dan beragam jajanan tradisional sebagai suguh. Serta kita berupaya untuk memberikan pelayanan yang terbaik sebagai bentuk dari gupuh kita,” ujarnya.
Di tengah ribuan pengunjung dari berbagai kota di Indonesia, hadir pula Bupati Gresik Sambari Halim hingga musisi Indra Lesmana. Mereka berbaur bersama masyarakat menikmati seduhan kopi Banyuwangi.
Hadirnya ribuan tamu wisatawan ini, Suhailik berharap mereka bisa menjadi saudara bagi warga kemiren. “Dengan ngopi bareng di sini, kami ingin mereka menjadi saudara bagi kami. Karena kami punya semboyan, Sak Corot Dadi Sakduluran – Menyeduh Bersama maka Kita Bersaudara,” pungkasnya. (ndy/MI)