JAKARTA, bisniswisata.co.id: Dalam satu tahun yang akan tercatat dalam sejarah, pandemi COVID-19 menyulut reaksi berantai perubahan yang mendasar atau fundamental (disrupsi) ekonomi global yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Bisnis, investor, dan pemerintahan dan ekonomi Islami di seluruh dunia terjerat dalam krisis keuangan. Sebagian telah memanfaatkan disrupsi ini untuk bertahan, sementara sebagian bisnis berkembang.
Demikian ungkap edisi kedelapan dari Laporan Status Ekonomi Islami Global dari DinarStandard ini yang mencakup perkembangan selama tahun luar biasa ini – sebelum dan sesudah COVID-19.
Laporan tahun ini memperkirakan bahwa warga Muslim membelanjakan US$2.02 milyar di 2019 untuk sektor-sektor makanan, produk farmasi, kosmetika, fesyen, perjalanan dan media/rekreasi, kesemuanya ikut dipengaruhi oleh kebutuhan konsumsi yang etis, diilhami oleh ajaran Islam.
Tingkat pengeluaran ini mencerminkan pertumbuhan 3.2% year on year ( y.o.y) sejak 2018. Di samping itu, aset keuangan syariah diperkirakan telah mencapai US$2.88 triliun di 2019.
Pandemi ini diramalkan akan menyebabkan 8% penurunan dalam pengeluaran warga Muslim global di 2020 untuk sektor-sektor ekonomi Islami yang diliput dalam laporan ini. Seluruh sektor-sektor tersebut, kecuali perjalanan, diperkirakan akan kembali ke tingkat pengeluaran pra-pandemi di akhir 2021.
Pengeluaran warga Muslim akan mencapai US$ 2.3 triliun di 2024 pada Tingkat Pertumbuhan Kumulatif Tahunan (CAGR) 3.1%. Meskipun kekacauan yang ditimbulkan oleh COVID-19, tahun lalu mencatat banyak perkembangan penting dalam ekonomi Islami.
Hal ini dipimpin oleh percepatan dalam transformasi digital, disrupsi dalam rerantai pasokan global, dan naiknya fokus pemerintah pada investasi yang berkaitan dengan keamanan-pangan.
Ekonomi Islami global terus bertumpu pada delapan pendorong kunci, termasuk jumlah penduduk Muslim yang besar dan bertumbuh, naiknya ketaatan pada nilai-nilai etis Islami yang mempengaruhi konsumsi, dan sejumlah strategi nasional yang ditujukan pada pengembangan produk dan layanan jasa halal.
Negara-negara terus membangun ekosistem ekonomi Islami yang lebih kokoh. Malaysia baru-baru ini memimpin dalam daftar peringkat Indikator Ekonomi Islami Global (GIEI) untuk tahun kedelapan, sementara Arab Saudi tergeser ke peringkat kedua, diikuti oleh Uni Emirat Arab (UEA) dan Indonesia.
Pendatang baru pada 15 peringkat tertinggi termasuk Nigeria (#13), Sri Langka (#14), dan Singapura (#15). Brunai, Sudan dan Bangladesh telah terdepak dari 15 peringkat teratas. Singapore (#15).
Beberapa strategi ekonomi Islami nasional diluncurkan tahun lalu, paling menonjol adalah Undang-Undang Jaminan Produk Halal, yang diberlakukan untuk produk-produk makanan halal.
Arab Saudi juga meluncurkan sistem regulasi nasional untuk produk-produk halal di bulan yang sama. Indonesia dan Filipina mengikat kemitraan strategis untuk memperluas perdagangan halal di kedua negara, seperti halnya Jepang dan Malaysia. Di sektor keuangan Islami, Pakistan, Qatar dan Kuwait mengumumkan rencana untuk menerapkan regulasi terpusat yang baru.
Di tengah pukulan ke sektor pariwisata, Arab Saudi tetap mengusung strategi Visi 2030-nya dan tengah merencanakan untuk meluncurkan sebuah dana pariwisata sebesar US$ 4 milyar yang berfokus pada teknologi perjalanan dan dukungan pada tujuan-wisata serba-guna.
Gangguan-gangguan karena COVID-19 telah memaksa 57 negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI/OIC) yang bergantung pada impor untuk memprioritaskan keamanan pangan, dengan UEA dan Arab Saudi meluncurkan program-program meluas untuk memperkuat swa-sembada.
Arab Saudi dan Indonesia juga tengah mendorong manufaktur lokal untuk produk-produk farmasi. Laporan Global tentang krisis pangan juga memperkirakan bahwa COVID-19 akan mengakibatkan penggandaan dua kali lipat dari tingkat ketidak amanan pangan saat ini, dengan 265 juta orang di seluruh dunia berada pada ambang-batas kelaparan, banyak di antaranya dari negara-negara OKI.
Bank Pembangunan Islam (IsDB) menanggapinya dengan meluncurkan paket senilai US$2.3 milyar untuk mendukung 27 negara anggota dalam mengendalikan COVID-19.
Bagian Dampak Sosial yang diperkenalkan tahun lalu terus mengemukakan bisnis dan organisasi-organisasi yang mengambil langkah-langkah menuju Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) untuk 2030.
Setahun lebih dekat ke tenggat waktu 2030, industri telah menghasilkan beberapa kemajuan – BIMB (Investment Management Berhad), anak perusahaan yang dimiliki sepenuhnya oleh Bank Islam Malaysia Berhad, meluncurkan platform online untuk investasi yang patuh pada kriteria Lingkungan, Sosial dan Pengelolaan (ESG) – walaupun jalannya masih akan panjang.
Investasi dalam Ekonomi Islam turun drastis ketika COVID-19 menyebar ke seluruh dunia. Laporan tahun ini melebarkan lensa analisis investasinya untuk mengikuti transaksi merger/acquisitions (M&A), private equit dan venture capital di seluruh pasar Ekonomi Islami