DESA WISATA

Desa Wisata di Yogyakarta Kian Sukses, Mau Tahu Resepnya?

YOGYAKARTA, bisniswisata.co.id: Desa wisata merupakan salah satu studi kasus yang menarik dalam penerapan ekowisata. Di antara desa wisata yang berhasil, adapula desa wisata yang bertumbangan. Di sisi lain, desa wisata juga menjadi produk alternatif bagi destinasi mapan seperti Yogyakarta.

Desa wisata bertumbuhan di Yogyakarta sejak 2014. Ratusan desa wisata dengan aneka ragam atraksi budaya dan panorama alam bermunculan. Tapi, belum pernah terdengar ada desa wisata di Yogyakarta itu yang mati dan tak berlanjut. Resepnya, warga bekerja keras menonjolkan keunikan alam yang dikemas ulang dengan penataan yang menggoda mata wisatawan untuk menyambanginya.

Seperti di Sleman ada Kampung Flory yang mengandalkan wahana air tepi Kali Bedog Puri Mataram. Mulanya, Kampung Flory adalah lahan kas desa yang disulap menjadi miniatur taman bunga, atau Sambirejo dengan Tebing Breksinya yang amat populer. Di Gunungkidul, wisatawan seolah dibelokkan dari wisata pantai menjadi aktivitas susur gua di Pindul atau Bantul. Jadi, tak melulu ke Parangtritis dan Hutan Pinus Mangunan.

Mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DIY yang kini menjabat Asisten Sekretaris DIY Bidang Pemerintahan dan Administrasi Umum, Tavip Agus Rayan mengatakan keberhasilan desa wisata di Yogyakarta tergantung pada paradigma pengembangannya. “Pengembangan desa wisata merupakan perubahan terencana yang di dalamnya melibatkan partisipasi warga lokal secara holistik,” ujar Tavip, pada 11 Desember 2019.

Tavip mengatakan pengembangan desa wisata dari bawah yang melibatkan komunitas lokal sangat penting. Warga adalah bagian mendasar untuk merumuskan model bagaimana desa wisata akan dibuat. Pelibatan warga di desa wisata yang dibuat, untuk membangkitan semangat memiliki dan berkelanjutan atau kelestariannya bisa menjadi sumber yang menghidupi desa itu.

Pengrajin topeng batik mulanya membuat topeng untuk keperluan ritual desa. Kini berkembang menjadi kerajinan desa. Foto: @desawisata_bobung

Juga pelibatan komunitas lokal menjadi hal paling utama yang ditempatkan dalam kerangka rencana pengembangan desa wisata, “Komunitas lokal tak bisa dipungkiri sudah menjadi bagian ekosistem ekologi, saling kait mengkait dengan sumber daya budaya yang ada,” ujarnya.

Tavip menuturkan program desa wisata pun tak bisa diseragamkan satu sama lain. Melainkan harus responsif dan sensitif melihat keberadaan dan kebutuhan komunitas lokal. “Masyarakat desa menjadi subyek dan obyek atas desa wisata. Mereka menjadi pelaku yang memiliki pengalaman turun temurun dalam pengelolaan sumber daya alam dan aktivitas ekonomi sehingga punya komitmen kuat mengelola desa wisata berkelanjutan,” ujarnya.

Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Sambirejo yang mengelola kawasan wisata Tebing Breksi Desa Sambirejo Sleman, Mujimin membenarkan jika desa wisata menjadi medium efektif memberdayakan masyarakat. “Dari total 6.500 warga yang ada di Desa Sambirejo, masih hidup di bawah garis kemiskinan sudah sangat berkurang, tersisa 900 warga dari sebelumnya lebih dari sepertiga hidup miskin,” ujar Mujimin.

Sejak kawasan Tebing Breksi beroperasi 2016 silam, sampai kini sudah menyerap 400 lebih tenaga kerja dari warga desa Sambirejo. Tenaga kerja itu di luar warga yang ikut menikmati panen rejeki, berkah dari kunjungan Breksi seperti jasa penyewaan jip wisata, dokumentasi sampai warung-warung di luar lokasi Breksi.

“Pemberdayaan itu bisa dilihat sederhana misalnya dulu hampir tak ada warga yang bisa kuliahkan anaknya, sekarang sudah ada beberapa yang bisa menguliahkan,” ujar Mujimin seperti diunduh laman Tempo, Kamis (12/12/2019).

Selain itu, warga yang sebelumnya tak memiliki rumah bisa membangun rumah setelah membuka usaha pelayanan wisata di Breksi, “Ya lambat laun kami tentu akan terus mengurangi angka kemiskinan yang masih tersisa, dengan jalan pariwisata ini,” ujarnya.

Endy Poerwanto