DAERAH

Cheng Beng, Dari Tuntunan Jadi Tontonan Wisata Bangka Belitung

PANGKALPINANG, bisniswisata.co.id: Cheng Beng atau sembahyang kubur bagi warga Tionghoa digelar setiap tahunnya. Tradisi ini merupakan sebuah tuntunan yang harus dijalankan, meski keluarganya yang masih hidup tinggal berjauhan, wajib datang untuk menghormati para leluhur yang telah tiada dengan mengunjungi, mendoakan dan membersihkan kuburan para leluhur.

Kini, tuntunan itu menjadi tontonan wisata. Bahkan sebagai wisata unggulan di Bangka Belitung (Babel). Tunjuannya untuk meningkatkan kunjungan wisatawan di daerah Babel. “Kita menjadikan Cheng Beng sebagai agenda pariwisata tahunan karena tradisi ini sudah terbukti meningkatkan kunjungan wisatawan nusantara dan mancanegara,” kata Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Kepulauan Babel Rivai, Jumat (5/4).

Dilanjutkan, pihaknya mendukung serta memfasilitasi tradisi Cheng Beng, agar wisatawan lebih tertarik berwisata ke Babel. “Kita menambah atraksi-atraksi budaya, sehingga wisatawan tidak hanya sembahyang kubur, tetapi juga menikmati kebudayaan dan keindahan alam di Babel,” ujarnya.

Menurut dia, pengembangan wisata religi ini tentunya akan berdampak terhadap pembangunan pariwisata dan perekonomian masyarakat di daerah ini. Setiap tahun kegiatan Cheng Beng, ribuan wisatawan datang ke daerah ini untuk menggelar ritual sembahyang kubur sebagai bentuk penghormatan kepada leluhurnya.

Wakil Ketua Yayasan Sentosa Pangkalpinang, Apin menambahkan sembahyang Cheng Beng sangat penting bagi masyarakat keturunan Tionghoa. Tradidi ini untuk mendoakan para leluhur, orang tua yang telah berjasa terhadap kehidupannya.

“Orang dari Cina, Hong Kong, Singapura, Australia, dan seluruh masyarakat Tionghoa di Indonesia datang ke sini karena leluhur mereka dikuburkan di Perkuburan Sentosa di Pangkalpinang,” ujarnya seperti dikutip laman Republika.co.id.

Jumlah kuburan di Kompleks Perkuburan Sentosa ini mencapai 13 ribu lebih dan setiap tahun keluarganya datang ke kompleks ini untuk menggelar sembahyang Cheng Beng. “Bagi kami, sembahyang Cheng Beng lebih penting dibandingkan Imlek dan tradisi keagamaan lainnya karena ini sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada lelulur serta orang tua,” katanya.

Dalam ritual Cheng Beng, keluarga keturunan Tionghoa beramai-ramai pergi ke tempat pemakaman orang tua atau para leluhurnya untuk melakukan upacara penghormatan. Upacara penghormatan ini dilakukan dengan berbagai jenis. Misalnya membersihkan kuburan, menebarkan kertas hingga membakar kertas yang sering dikenal dengan Gincua.

Kertas-kertas itu umumnya terdiri dari dua warna: kuning dan putih. Kertas putih dan kertas kuning diletakkan di atas tanah kubur sebagai tanda simbolik pemberian uang kepada nenek moyang dan memberi penanda bahwa kuburan tersebut telah diziarahi oleh keturunannya.

Seiring dengan perkembangan zaman sosial budaya dan ekonomi masyarakat, tradisi Cheng Beng tidak lagi hanya sebatas menjalanankan ritual ziarah dalam arti yang paling sederhana, namun berkembang menjadi arena berkumpul, bertemu dan saling melepas rindu sesama kerabat. Tradisi Cheng Beng telah menjadi fenomena sosial-kultural sebagaimana layaknya mudik lebaran atau mudik natal. (redaksibisniswisata@gmail.com)

Endy Poerwanto