Ketua Departemen Pariwisata Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Hilda Ansariah Sabri, melongok desa-desa wisata di kota Banjarmasin sesuai program kerja pengembangan desa wisata organisasi profesi itu. Berikut laporan perjalanannya bagian ke tiga
BANJARMASIN,bisniswisata.co.id: Namanya Ir. Mohammad Bezqoni, 40, Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia ( HPI) cabang Kota Banjarmasin. Ayah tiga anak jebolan Fakultas Geodesi Institut Tekhnonogi Bandung ( ITB) ini terlalu asyik menjadi tour leader di Bandung sehingga tidak menuntaskan kuliahnya di perguruan tinggi bergengsi itu.
Sosok Bebez yang menjadi Ketua HPI Kota Banjarmasin dan Ketua Asosiasi Pelaku Pariwisata Indonesia ( ASPPI) se Kalimantan Selatan inilah yang mendampingi kunjungan saya di kota Banjarmasin sehingga waktu yang ada bisa efektif dan efisien karena networking yang dimilikinya demikian luas untuk mendapatkan nara sumber yang dibutuhkan.
Sadar akan kewajibannya untuk menuntaskan kuliah dan mendapatkan gelar sarjana, akhirnya saat hijrah ke Surabaya. Bebez masuk ke perguruan tinggi swasta mengambil jurusan Tekhnik Industri dan menyelesaikan strata satu di kota Pahlawan itu.
Di Banjarmasin, kota kelahirannya, sang ibu, Hj. Ristiaty Fairid Rusdi yang menjadi Wakil Ketua ASITA Kalsel merasa lega dan berharap sulung dari 4 bersaudara ini mau bergabung dengannya mengelola PT Annisa Purnama Wisata Tour & Travel. Namun Bebez lebih suka merantau dan belajar dari berbagai travel agent besar di dalam dan luar negri.
Kembali ke Banjarmasin dan mengikat janji dengan Chusnul khotimah atau akrab dipanggil Sinyo asal Palaihari, Kalsel. Bebez yang kini memiliki dua putri dan satu putra ( Kiki, Keyla dan Ibra) mengaku banyak meninggalkan anak dan istri karena profesinya sebagai pemandu wisata dari sebuah perusahaan di Kanada.
” Saya lebih banyak melayani wisman di Bali sehingga sering dijuluki tante saya sebagai ” Bang Toyib” yang jarang pulang. Setiap kali acara keluarga selalu diwakili oleh anak & istri,” ungkap Bebez tergelak.
Meski sibuk dengan pekerjaan, begitu ada peluang beasiswa untuk mendalami bisnis tour & travel di negara Kolombia, Amerika Selatan langsung disambernya tanpa ada keraguan.
Keikhlasan istri dan anak-anak untuk ditinggal imam mereka ke negri yang jauh mendorong tekad Bebez untuk bersungguh-sungguh mengikuti program pendidikan dan berkutat di dunia kampus lagi.
” Ada pepatah bilang bahwa kesempatan tidak datang dua kali. Memang negaranya jauh tapi dilewati garis khatulistiwa juga seperti di Indonesia jadi saya yakin tidak sulit hidup di alam tropis,” ungkapnya.
Republik Kolombia ialah sebuah negara di barat laut Amerika Selatan yang hutannya lebat. Sekitar 72% merupakan kawasan hutan. Kolombia berbatasan dengan Laut Karibia di sebelah utara, dan barat laut berbatas dengan Venezuela dan Brasil di timur; Peru dan Ekuador di selatan; serta Panama dan Samudra Pasifik di barat.
Satu hal lagi yang ingin dipelajarinya adalah Kolombia merupakan negara penghasil kopi terbesar kedua di dunia setelah Brasil. Sama seperti Indonesia yang juga memiliki beragam jenis kopi unggulan.
Negara yang dilintasi garis khatulistiwa ini juga penghasil zamrud. Hampir 95% konsumsi zamrud dunia berasal dari negara ini. Luas wilayahnya sekitar 2,5 kali luas pulau Sumatra.
Keputusannya untuk ke Kolombia memang tepat karena beasiswa diterima dari peserta mancanegara sehingga hingga kini Bebez masih terhubung dengan ” saudara” barunya lewat telpon maupun media sosial masing-masing.
Demi memajukan sektor wisata, teman-temannya di program Kolombia juga punya visi yang sama. Para peserta yang datang dari berbagai belahan dunia itu ingin berkontribusi langsung pada pengembangan pariwisata di kota asal dan negaranya masing-masing.
Dalam waktu singkat, mereka langsung akrab dan saling mendukung. Apalagi bukan kuliah di kampus semata karena selebihnya juga jalan-jalan keobyek wisata utama Kolombia.
Kesempatan jalan-jalan ternyata Bebez mengaku bisa meluruskan imej tentang Islam identik dengan teroris. Saat mau sholat, Bebez senang sholat dialam terbuka dan menjadi tontonan orang banyak.
” Kalau dikenang, rasanya ingin menangis karena mereka yang selalu sibuk mencarikan makanan berupa sayuran dan daging ayam karena tahu Muslim tidak makan babi. Saat mau sholat di teras kampus atau dimana saja maka merekalah yang menjaga disekeliling agar ibadah saya bisa khusuk tak perlu terbirit-birit,” jelas Bebez.
Ujung Tombak Pariwisata Kalsel
Pandemi global COVID-19 yang melanda 215 negara di dunia memang membuat industri pariwisata dunia langsung terpuruk akibat bencana penyakit yang disebabkan virus Corona itu.
Industri pariwisata Banjarmasin lumpuh total selama 7 bulan terakhir begitu juga dengan nasib 20 pemandu wisata di kota Banjarmasin yang harus banting stir mencari nafkah di luar bisnis pariwisata.
Bebez sendiri melakukan budidaya ikan Nila dan lele, menanam sayuran di pot-pot dan halaman rumah, menjual burger Sabak secara online yang sudah dirintisnya sejak setahun lalu. Bisnis lainnya adalah membuat pakan ikan dengan budidaya belatung.
Beruntung dia boleh memanfaatkan lahan dan rumah orangtunya, Ir. H. Fairid Rusdi di Handil Bakti, daerah pinggiran kota tempat dia bisa membuat latihan budidaya ikan dan belatung bagi anggota HPI maupun ASPPI yang mau belajar.
“Alhamdulilah dimasa jeda yang panjang ini sejumlah anggota bisa bertahan hidup dengan aktivitas budidaya ini. Hal yang penting adalah menyikapi keterpurukan dengan terus aktif dan bersikap optimistis,” kata Bebez.
Di era New Normal ketika aktivitas mulai menggeliat dan maskapai mulai melayani rute-rute penerbangannya, Bebez berinisiatif untuk mengoperasikan bus wisata milik Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Kalsel untuk segera difungsikan.
Saat launching Febuari 2020 lalu ketika Banjarmasin menjadi tuan rumah Hari Pers Nasional, dua bis wisata itu parkir panjang di halaman kantor saja.
” Sejak diresmikan bersama Presiden Jokowi, Gubernur Kalsel Panan Birin dan para menteri yang sudah berkeliling dengan bis wisata itu di area halaman Gubernuran, Banjar Baru, bis wisata Bajajalan mangkrak karena pandemi global,” kata Bebez.
Pada 6 Oktober 2020 lalu bis wisata terbuka Bajajalanan keliling dioperasikan dengan biaya Rp 10 ribu per orang bagi warga maupun wisatawan yang ingin bersantai sambil rekreasi menikmati Kota Banjarmasin.
Bis wisata ini dikelola tiga asosiasi pariwisata, seperti ASITA, Asosiasi Pelaku Pariwisata Indonesia (ASPPI) Kalsel dan Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Kalsel.
Kehadiran bis terbuka yang didukung Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Kalsel ini, diharapkan mampu menarik minat wisatawan untuk berekreasi meski di tengah pandemi COVID-19 yang belum mereda.
” Kami terus evaluasi karena harga yang berlaku sekarang tidak mengcover biaya untuk supir, pemandu wisata maupun biaya operasional karena didera pandemi hanya bisa untuk kapasitas maksimum 15 orang ” ujarnya.
Bebez akan mengusulkan biaya minimal Rp 50.000/orang, bahkan mungkin bisa lebih tinggi karena di sejumlah ibukota provinsi seperti di Bandung, Solo, Jogja sudah beroperasi bis wisata keliling layaknya restoran berjalan sambil menikmati suasana kota dan menikmati snack.
” ATM itu kan bisa juga diartikan dengan Amati, Tiru dan Modifikasi, jadi dalam hal pengelolaan bis wisata keliling kita juga terapkan yang baik untuk kondisi di Banjarmasin,” tambahnya.
Saat ini, Bebez bersama anggota HPI turun langsung bergiliran menjadi pemandu di bis yang start mulai Taman 0 Kilometer, Jalan Sudirman, RE Martadinata, MT Haryono, Pangeran Samudera, Sutoyo S, R Suprapto, A Yani, Gatot Subroto, P Hidayatullah, Adhiyaksa, Hasan Basri dan kembali ke 0 Kilometer, paparnya.
Tri Hita Karana
Didalam agama Hindu ada sebuah ajaran yang disebut Tri Hita Karana. Tri Hita Karana terbentuk dari tiga kata, Tri yang berarti tiga, Hita yang berarti kebahagiaan atau sejahtera, Karana yang berarti sebab atau penyebab. Jadi Tri Hita Karana mempunyai arti tiga penyebab kebahagiaan.
Melakukan guiding di Bali membuat Bebez akrab dengan ajaran Hindu tersebut. Terlebih, keberadaan subak di Bali yang menerapkan filosofi dari Tri Hita Karana.
Jatiluwih adalah salah satu destinasi wisata di Indonesia yang membuatnya jadi salah satu tempat tujan para wisatawan. Subak Jatiluwih, Tabanan, adalah contohnya Tri Hita Karana itu.
Subak Jatiluwih adalah warisan budaya tak benda yang ditetapkan UNESCO pada tahun 2012. Selain masih asli dan asri jika dibandingkan subak lain di Bali yang banyak dibatasi taman beton (bangunan),
Varietas padi yang ditanam di subak Jatiluwih adalah varietas lokal yakni padi bali merah. Ketiga, secara estetika pemandangan subak Jatiluwih juga terlihat indah.
Keempat, subak Jatiluwih masih mengikuti aturan tradisional dalam melestarikannya. Karena subak inilah Desa Jatiluwih juga menjadi desa wisata yang telah ditetapkan sejak tahun 1993.
Menurut Bebez, konsep kosmologi Tri Hita Karana merupakan falsafah hidup tangguh. Falsafah tersebut memiliki konsep yang dapat melestarikan keaneka ragaman budaya dan lingkungan di tengah hantaman globalisasi dan homogenisasi.
“Pada dasarnya hakikat ajaran Tri Hita Karana menekankan tiga hubungan manusia dalam kehidupan di dunia ini. Ketiga hubungan itu meliputi hubungan dengan sesama manusia, hubungan dengan alam sekitar, dan hubungan ke Tuhan yang saling terkait satu sama lain,” .
Setiap hubungan memiliki pedoman hidup menghargai sesama aspek sekelilingnya. Prinsip pelaksanaannya harus seimbang, selaras antara satu dan lainnya. Apabila keseimbangan tercapai, manusia akan hidup dengan menghindari daripada segala tindakan buruk. Hidupnya akan seimbang, tenteram, dan damai.
” Dalam ajaran Islam, Tri Hita Karana ini juga sudah lebih lengkap sehingga para pemangku kepentingan yang ditugaskan untuk mengembangkan pariwisata di daerahnya tinggal terapkan. Pariwisata Kalsel yang keunggulannya di wisata alam juga perlu menerapkannya,” kata Bebez.
Dengan menerapkan falsafah tersebut diharapkan dapat menggantikan pandangan hidup modern yang lebih mengedepankan individualisme dan materialisme. Membudayakan Tri Hita Karana akan dapat memupus pandangan yang mendorong konsumerisme, pertikaian dan gejolak
” Para pimpinan daerah yang diamanahkan untuk mengembangkan pariwisata di daerahnya, marilah kita menjaga alam. Artinya pasar terapung Kuin yang hampir punah gegara kebijakan salah dari pimpinan kita bangkitkan lagi,”
Banjarmasin yang dijuluki kota Seribu Sungai, peliharalah Sapta Pesonanya, menerapkan unsur Aman, Tertib, Bersih, Sejuk, Indah, Ramah-tamah dan Kenangan.
“Sungai bukan bak sampah, jangan kotori dengan sampah rumahtangga maupun sampah pabrik. Jadi kebijakan, peraturan pemerintah harus bisa menjaga sungai tetap bersih. Bagaimana kalau warganya tidak mendukung ? apa sangsinya ?,” kata Bebez.
Kasus lainnya, kata bebez, Pemerintah mungkin punya niat baik bahwa tanah yang tak dapat produktif di sulap agar bisa ditanami maka diolah dengan bahan kimia tapi akhirnya mencemari sungai yang menjadi sumber kehidupan warga.
” Ikan, udang serta penghuni sungai lainnya tercemar oleh bahan kimia. Termasuk kebijakan para perajin kain Sasirangan di sepanjang sungai Martapura yang membuang limbah pewarnaan kain ke sungai,” terangnya.
Banyak kebijakan yang akhirnya menutup mata pencaharian pasar terapung tapi tidak disadari oleh pemerintah sehingga akhirnya aset pariwisata Banjarmasin itu nyaris punah.
” Oleh karena itu kalau studi banding ke daerah lain atau negara lain belajarlah terus hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan juga dengan alam semesta ciptaan Tuhan ” kata Bebez dengan mimik muka serius.
Alhasil perjalanan dari desa wisata dan kampung-kampung wisata di kota Banjarmasin yang didampingi ketua ASPPI Kalsel ini menjadi lebih bermakna, penuh filosofi dan religius. Terima kasih Bebez atas pencerahannya.