- 4 dari 10 perusahaan dalam kelompok 250 perusahaan terbesar global telah mengadopsi prinsip-prinsip Sustainable Business
- Aktivitas ekonomi Indonesia masih menyisakan pekerjaan rumah mewujudkan transformasi digital dan green economy, termasuk di dalamnya ekonomi sirkular. Perlu didorong kolaborasi antar pemangku kepentingan untuk mengintegrasikan SDGs dengan sektor industri.
JAKARTA,bisniswisata.co.id: PANDEMI telah berlangsung selama 18 bulan menjadi momentum percepatan digitalisasi di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Sejalan dengan target besar negara untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals, SDGs) pada tahun 2030, pemerintah mengambil langkah untuk memaksimalkan potensi Indonesia melalui inisiatif transformasi digital.
Dalam sebuah diskusi virtual mengemuka bahwa pemerintah menekankan untuk tidak hanya sekedar fokus pada digitalisasi fasilitas atau pun layanan publik. Sektor publik dan swasta perlu mengembangkan lingkungan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat sekitar. Targetnya, segala perangkat dan kemudahan yang dimungkinkan oleh teknologi akan menjadi pendukung terciptanya kenyamanan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat agar menjadi lebih ramah lingkungan, berkelanjutan, dan inklusif.
Dalam perjalanan Indonesia menuju SDGs, menurut staf ahli Menteri PPN Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan, dan Kepala Sekretariat Nasional SDG, Dr. Vivi Yulaswati, MSc, ada 17 goal, 169 target, dan berdasarkan edisi terakhir ada 289 indikator, yang harapannya jadi petunjuk untuk mencapai target-target SDGs. Sementara capaian SDGs selama ini, sekitar 70% sudah on track, namun masih ada 30% belum tercapai atau membutuhkan perhatian khusus, karena sebagiannya masih stagnan atau mengalami pernurunan.
“Paska pandemi, dibutuhkan pertumbuhan PDB tahunan 6% untuk membawa Indonesia menjadi negara maju dan terlepas dari middle income trap. Tanpa transformasi ekonomi, pendapatan per kapita Indonesia akan ‘disalip‘ oleh Filipina pada tahun 2037 dan oleh Vietnam pada tahun 2043,” tuturnya.
Selain SDGs, dalam pembangunan nasional terdapat juga kajian lingkungan hidup yang menjadi backbone untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih hijau, salah satunya melalui pembangunan rendah karbon. Aksi nyata ini disebut sebagai ekonomi sirkular.
Dengan implementasi ekonomi sirkular pada lima sektor prioritas seperti makanan dan minuman, perdagangan grosir dan eceran, tekstil, peralatan elektronik, dan konstruksi, estimasi dampak yang dihasilkan pada tahun 2030 adalah sebagai berikut:
- Meningkatnya PDB sebesar Rp593-638 triliun
- Terciptanya 4,4 juta lapangan kerja (neto), 75% diantaranya berpotensi untuk perempuan
- Meningkatnya tabungan rumah tangga sebesar 9%
- Mengurangi timbulan limbah sektoral sebesar 18-52% dibandingkan skenario BaU
- Berkurangnya emisi CO2e sebesar 126 juta ton dibandingkan skenario BaU
- Berkurangnya penggunaan air sebesar 6,3 miliar m3, dibandingkan skenario BaU
Baru 40 Persen
Perusahaan dapat berkontribusi untuk pencapaian SDGs dengan cara berinvestasi dimasyarakat, memasukkan kelompok marginal dalam rantai nilai, membayar harga yang adil dan penerapan standar-standar kepada supplier, memahami dampak bisnis terhadap lingkungan, penghematan energi, serta menerapkan procurement berkelanjutan.
Faktanya, 4 dari 10 perusahaan (40%) dalam kelompok 250 perusahaan terbesar global telah mengadopsi prinsip-prinsip sustainable business, seperti dicatat dalam laporan tahunannya. Perhatian terbesar pada isu-isu perubahan iklim, konsumsi yang bertanggung jawab, pekerjaan layak, kesetaraan gender, dan pertumbuhan ekonomi.
Sementara SVP Asia Pacific Energy, Sustainability & Industrial Frost & Sullivan, Ravi Krishnaswamy mengatakan data dari UN mengenai status SDGs menunjukkan bahwa wilayah Asia Tenggara sudah menunjukkan kemajuan yang signifikan di beberapa goal SDGs. Dikhawatirkan angka kemiskinan naik akibat pandemi COVID-19. Banyak kegiatan perekonomian tidak bisa berjalan seperti biasa sehingga pendapatan mereka tertekan, bahkan sebagian lainnya kehilangan mata pencaharian. Masih ada jutaan masyarakat belum terhubung secara digital, sehingga pemerintah perlu melakukan berbagai cara memperkuat infrastruktur, konektivitas yang menghubungkan antara pusat ekonomi dan wilayah penunjang.
Menanggapi hal tersebut, VP Internet of Things Telkomsel, Alfian Manullang memaparkan komitmen perusahaan dalam mendukung transformasi digital di Tanah Air. Ia menjelaskan bahwa pemerintah dan perusahaan telah melakukan berbagai inisiasi mengenai infrastruktur, yakni dengan menggelar program Merah Putih yang bertujuan memberikan akses jaringan di seluruh wilayah terdepan, tertinggal, dan terluar (3T) dan program Universal Service Obligation (USO) dengan target menjangkau lebih dari 11.000 desa tanpa akses internet.
Dalam membangun infrastruktur di wilayah tersebut, perusahaan menggunakan teknologi berkelanjutan, seperti solar cell , energi hydropower (tenaga air), dan fuel cell (alat konversi elektrokimia yang menghasilkan listrik dengan gas buang berupa uap air/zero emission). Selain itu, perusahaan juga fokus untuk menghadirkan teknologi 5G, otomatisasi dan robotisasi yang dapat berperan dalam mengatasi pandemi saat ini.
Country Managing Director, PT. Cisco Systems Indonesia, Marina Kacaribu memaparkan komitmen Cisco sebagai perusahaan penyedia teknologi dan solusi digital bagi organisasi publik maupun swasta agar dapat memiliki connected secured automated business yang berkelanjutan seraya mendukung agenda digitalisasi nasional yang dicanangkan pemerintah Indonesia.
Ada empat hal utama bagaimana Cisco menerapkan keberlanjutan dari sisi produk, operasi, dan supply chain sejak 2008 dalam rangka mencapai net zero emisi gas rumah kaca (GRK). Pertama, berinovasi untuk meningkatkan efisiensi energi produknya melalui desain produk yang inovatif. Cisco mengintegrasikan best-of-breed ASIC (Application-specific Integrated Circuit) terbaik dalam desain produk-produknya guna mencapai penggunaan energi, ruang dan performa yang teroptimal di kelasnya.
Melakukan percepatan penggunaan energi-energi terbarukan, saat ini 83% pemakaian listrik untuk operasional Cisco di seluruh dunia dihasilkan dari energi baru dan terbarukan, bahkan di Amerika Serikat 100% fasilitas Cisco ditenagai energi terbarukan. Perusahaan mendukung penyesuaian cara bekerja paling inklusif. Karyawan diberikan fleksibilitas untuk datang ke kantor atau pun bekerja dari mana saja, secara taktis hal tersebut mengurangi carbon footprint. *