TECHNO

Aplikasi Digital Perhotelan Wajib Diawasi Secara Ketat

JAKARTA, bisniswisata.co.id: Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mendesak agar pemerintah wajib mengawasi lebih ketat aplikasi dan platform digital untuk pemesanan kamar hotel atau online travel agencies (OTA). Pengawasan perlu dilakukan karena saat ini banyak pelaku usaha OTA melalaikan kewajibannya.

“Selain itu, aplikasi atau platform digital hotel online harus memiliki badan usaha tetap. Beberapa aplikasi hotel online yang beredar selama ini belum mengantongi ijin usaha, nah tugas pemerintah untuk mengatasinya,” lontar Wakil Ketua Umum PHRI Maulana Yusran. dalam siaran pers yang diterima Bisniswisata.co.id, Ahad (11/11/2018).

Dilanjutkan, meski aplikasi dan platform digital berkontribusi terhadap peningkatan jumlah permintaan kamar hotel, namun dampak dari banyaknya aplikasi dan platform yang tidak berbadan hukum, apalagi memiliki basis pengguna di Indonesia menyebabkan hilangnya potensi penambahan pendapatan asli daerah (PAD) untuk kawasan pariwisata.

Maulana mengatakan banyak peraturan dan kebijakan yang berbenturan ketika dikaitkan ke pengaturan dan pengawasan aplikasi dan platform digital. “Sehingga menciptakan persaingan tidak sehat. Misalnya pengusaha akomodasi di bawah 10 kamar pada umumnya tidak mempekerjakan karyawan sesuai perundang-undangan,” ujar pria yang akrab disapa Alan ini.

Selain itu ada beberapa risiko karena mudahnya memesan kamar melalui online, sehingga aspek keamanan bisa dipertaruhkan, menyebabkan kamar hotel rentan menjadi fasilitas kegiatan terlarang, seperti teroris atau bahkan prostitusi.

Pelaku industri perhotelan tengah gencar mengkritisi online travel agencies (OTA), lantaran banyak OTA asing melalaikan kewajiban membayar pajak luar negeri atau PPh Pasal 26, sambungnya sambil menambahkan sehingga management hotel banyak yang resah.

Alan mengakui sektor pariwisata tengah naik daun dengan makin gencarnya pemerintah mempromosikan destinasi wisata. Sayang, hasilnya tidak terlalu signifikan bagi bisnis hotel. Buktinya pertumbuhan industri perhotelan di Indonesia sepanjang tahun 2018 tidak terlalu menggembirakan. Meskipun terjadi kenaikan tingkat okupansi, tapi tidak terlalu signifikan.

Pertumbuhannya sangat sedikit bahkan cenderung stagnan. Dari catatan PHRI, tingkat okupansi rata-rata hotel di kuartal III-2018 berada di kisaran 60 persen-65 persen. Data Badan Pusat Statistik (BPS), di bulan Agustus 2018, tingkat okupansi hotel berbintang berada di angka 60,01 persen,

“Artinya, terjadi pertumbuhan. Namun kenaikan tingkat okupansi tersebut tidak optimal, karena hanya berkisar tiga persen-empat persen saja. Kenaikan yang tipis tersebut tidak sebanding dengan pendapatan hotel berbintang. Jadi pendapatan belum bagus,” katanya.

Salah satu hal yang membuat pertumbuhan tingkat okupansi hotel berbintang melambat adalah makin mewabahnya rumah atau tempat kos yang kini berubah menjadi hotel atau bisa menerima sewa harian. Persoalan rumah kos yang berfungsi sebagai hotel tersebut tidak mempunyai izin.

Untuk bisa mengatasi kondisi tersebut, para pebisnis hotel harus bisa mencari pendapatan lain selain dari kamar dengan mengoptimalkan business trip. Salah satunya dari bisnis konvensi yang bersinggungan langsung dengan kuliner hotel. Bisnis ini bisa berkontribusi hingga 40 persen ke pendapatan hotel, sambungnya. (redaksibisniswisata@gmail.com)

Endy Poerwanto