Matahari terbenam,
hari mulai malam,
terdengar suara burung,
suaranya merdu,
kuu kuk, kuu kuk, kuu kuk, kuk kuk kuk kuk
PERNAH mendengar tembang tersebut? Dan pernah melihat yang empunya suara? Saya mengingat tembang itu – walau lupa peciptanya– saat berada di Pulau Dewata. Suatu malam suara burung menyapa telinga saya, terdengar seperti suara Celepuk Reban, atau Sunda Scops Owl, salah satu jenis burung hantu yang umum di Bali. Bali sendiri merupakan salah satu kawasan yang memiliki banyak jenis burung, yang popular tentunya Jalak Bali.
Saya ingin berbagi tentang burung hantu, karena Bali memiliki Taman Nasional Bali Barat, yang merupakan kawasan konservasi terbaik untuk mengamati, memotret, dan meneliti berbagai jenis burung termasuk burung hantu. Kawasan konservasi ini sudah menjadi salah satu destinasi utama bagi kegiatan Bird Tour.
Alasan lain, di Bali sudah ada desa ramah burung hantu. Di desa ini, terdapat habitat burung hantu jenis Barn Owl (Tyto alba), dan sering disebut dengan Serak Jawa, yang memiliki wajah seperti hati. Jenis ini memang merupakan jenis paling banyak ditemukan di hampir seluruh negara kecuali di kawasan Antartika. Serak Jawa juga merupakan pemangsa utama tikus, sehingga para petani tidak memerlukan racun tikus, atau obat pembasmi tikus pada sawah dan ladangnya. Cukup dengan memfasilitasi Serak Jawa agar bisa berhabitat di sekitar persawahan petani, dengan cara membangun RuBuHa (Rumah Burung Hantu).
Selain Serak Jawa, dan Celepuk Reban, ada tiga lagi jenis burung hantu di Bali. Yaitu Barred Eagle Owl (Bubo sumatranus), yang biasa disebut dengan burung Hantu Hinggik, Buffy Fish Owl (Ketupa Ketupu), dan Oriental Bay Owl (Phodilus badius), biasa dikenal dengan sebutan Serak Bukit atau Wiwi Wowo. Mereka karnivora (pemakan daging) sejati, bahkan sanggup memangsa sesamanya. Jenis Ketupa Ketupu, selain pemakan daging dia juga makan satwa air seperti ikan, kepiting, kodok, dan lainnya.
Burung hantu Hinggik, Ketupa Ketupu, dan Serak Bukit juga hidup di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Burung hantu Hinggik dewasa, berbadan besar, bermata hitam, berbulu hitam keputihan, tetapi saat bayi sampai remaja burung tersebut berbulu putih seperti kapas. Sehingga sulit membedakan Serak Bukit dan Serak Jawa saat masih kecil dan remaja.
Ketika dewasa, ada perbedaan pada warna bulu, yang cenderung cokelat keemasan pada seluruh tubuhnya, dan wajah seperti hati, dan ada bulu yang sedikit mencuat seperti telinga. Ketupa Ketupu juga memiliki badan yang besar, namun tidak sebesar burung hantu Hinggik, dengan bulu berwarna cokelat, bergaris hitam, dan memiliki mata berwarna kuning yang berpendar pada waktu gelap. Celepuk Reban merupakan jenis burung hantu terkecil dari kelima jenis burung hantu di Bali. Celepuk memiliki bulu cokelat dan mengonsumsi serangga sebagai makanan utamanya. Selain fisik, yang membedakan ketiga jenis burung hantu di Bali ini, adalah suaranya. Suara menentukan jenis apa dan berhabitat dimana.
Burung hantu merupakan satwa yang dapat tinggal di suatu kawasan dalam satu jangka waktu yang lama dengan catatan apabila makanan nya masih tersedia di kawasan tersebut. Ketika sumber pangan nya sudah tidak ada, maka burung hantu akan berpindah ke kawasan lainnya.
The Owl World of Indonesia, mencatat ada 56 jenis burung hantu di Indonesia, kurang lebih 20 jenis endemis Indonesia (data tahun 2018). Dan keberadaan burung hantu ini tersebar di seluruh pulau di kepulauan Nusantara, sampai di pulau-pulau kecil, seperti Pulau Seram, Pulau Biak, Pulau Wetar, dan lainnya.
Jumlah burung hantu semakin menurun dikarenakan deforestasi, perburuan, perubahan fungsi lahan, serta kemungkinan perubahan iklim. Hasil Monitoring burung hantu yang dilakukan The Owl World of Indonesia di pegunungan Menoreh Jawa Tengah, Juni 2019 lalu, bahwa sekitar empat atau tiga tahun lalu masih banyak terlihat burung hantu berkeliaran di sekitar pemukiman penduduk, yaitu jenis Serak Jawa, dan Celepuk Reban. Namun tahun lalu, hanya terlihat satu ekor Serak Jawa dan terdengar suara satu ekor Celepuk di kejauhan.
Eksotis dan prestise
Pulau Bali sendiri tercatat sebagai salah satu daerah transit perdagangan antar pulau untuk burung hantu, dari Indonesia Timur untuk perjual belikan di Pulau Jawa (Hasil Monitoring Perdagangan Burung Hantu di Jawa 2018 – 2019).
Alasan utama masyarakat memelihara Burung Hantu karena dianggap ‘eksotis’, ‘prestise’, dan cinta hewan. Untuk alasan terakhir,— rasa cinta hewan — diekspresikan dengan memelihara hewan dengan ‘layak’ (menganggap tidak melanggar animal welfare), dijinakkan agar bisa menurut, dan sesekali diajak jalan-jalan atau di display di alam terbuka, atau gathering dengan pecinta lainnya.
Hasil monitoring terhadap komunitas pecinta burung hantu di Indonesia, menunjukkan hampir setiap kota besar di Indonesia terdapat satu komunitas pecinta burung hantu. Kelompok masyarakat yang memelihara, menjinakkan, dan melatih burung hantu (aviary), serta sesekali melakukan gathering dengan anggotanya.
Dalam pengamatan saya, gaya hidup memelihara burung hantu cenderung berkurang sejak tahun 2019, dengan adanya sosialisasi mengenai perlindungan satwa liar, dan tindakan hukum terhadap penjual, serta pemelihara burung hantu yang diambil langsung dari alam, sesuai dengan Permelhk No.106 Tahun 2018).
Burung hantu diburu selain untuk dipelihara, dijual baik di pasar burung, mau pun secara online di beberapa tempat, juga diburu untuk dibunuh karena mengganggu hewan ternak masyarakat seperti ayam, atau bebek. Seperti yang terjadi di salah satu kawasan di Jawa Barat, penduduk memburu, dan membunuh burung hantu setelah diketahui memangsa anak ayam, atau bebek di peternakan mereka (Hasil Survey Persepsi Masyarakat terhadap Burung Hantu 2018).
Kasus konflik burung hantu dengan manusia yang terjadi di Jawa Barat itu, kemungkinan besar terjadi dikarenakan makanan burung hantu sudah langka di sekitarnya. Mereka mendekat ke sekitar pemukiman yang memiliki ketersediaan makanan. Karenanya, upaya perlindungan, dan pelestarian burung hantu dilakukan, agar jumlah burung hantu tidak menurun, sehingga menyebabkan populasi tikus tidak terkendali, yang dapat merugikan tanaman pangan kita. Menjaga ekosistem alam dengan tidak memelihara burung hantu, perlu mendapat apresiasi. Paling tidak kita masih bisa bersenandung “kuukuk kuukuk, kuukuk, kukuk kukuk”. (Diyah Wara Restiyati – Koordinator The Owl World of Indonesia).