ART & CULTURE

Wayang Thengul Diakui Sebagai Warisan Budaya

BOJONEGORO, bisniswisata.co.id: Ada kebanggaan tersendiri bagi seniman, budayawan bahkan masyarakat Bojonegoro Jawa Timur. Pasalnya, Karya budaya lokal Wayang Thengul ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda. Pengakuan penetapan dilakukan Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Direktorat Jendral Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia.

Selain wayang thengul, juga ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda yakni Seni Sandur dari Bojonegoro, serta enam karya budaya dari daerah Jawa Timur lainnya. Keenam kesenian tradisi itu diantaranya Janger Banyuwangi, Clurit (Are) Madura, Rawon Nguling Probolinggo, Upacara Adat Manten Kucing Tulungagung, Reog Cemandi Sidoarjo dan Wayang Topeng Jatiduwur Jombang.

Seniman dan budayawan yang tergabung sebagai tim penyusun pokok pikir kebudayaan daerah Kabupaten Bojonegoro, Adi Sutarto menyebutkan, bahwa warisan budaya tak benda dimungkinkan jumlahnya masih bertambah.

Pengakuan tersebut akan ditindak lanjuti oleh tim penyusun pokok pikir kebudayaan daerah Bojonegoro, dengan mengeluarkan rekomendasi kepada Pemkab Bojonegoro. “Hal yang luar biasa, ketika seni Wayang Thengul dan Sandur diakui warisan budaya. Tinggal melangkah untuk tindak lanjutnya,” kata Adi dalam keterangan tertulis, Ahad (12/8/2018).

Rencananya, selain Wayang Thengul dan Sandur, pihaknya juga akan memberikan rekomendasi untuk mengusulkan obyek budaya lainnya, yakni Oklik dan Ajaran Samin. Yang keduanya mewakili tema masyarakat lereng Pegunungan Kendeng dan bantaran Sungai Bengawan Solo.

“Semoga, warisan budaya di Bojonegoro semakin lestari dan tetap terjaga ditengah arus modernisasi sekarang ini. Saya yakin, jika kita bersama-sama saling menjaga dan merawat pasti akan terus lestari,” tutupnya.

Selama ini kesenian Wayang Thengul tetap bertahan di Bojonegoro, bahkan bisa menjadi ikon karena keberadaannya diterima masyarakat lokal dan luar daerah. “Masyarakat lokal juga luar daerah bisa menerima kesenian Wayang Thengul tidak hanya pergelaran wayang, tetapi sekarang berkembang menjadi motif batik dan Tari Thengul,” tambah Kasi Budaya dan Kesenian Disbudpar Bojonegoro Yanto Munyuk.

Selama ini ada sekitar 13 -14 dalang Wayang Thengul yang masih bertahan di Bojonegoro, yang tersebar di wilayah Kapas, Balen, Padangan, Sumberrejo, Kedungadem, sukosewu, Bubulan, Margomulyo, dan kecamatan kanor berjarak ± 40 Km dari Kota Bojonegoro para dhalang memiliki wilayah tanggapan (wilayah pentas).

Malah salah satunya berusia 18 tahun, yaitu Trio Wahyu Aji, asal Desa Kedungrejo Kecamatan Kedungadem. “Regenerasi dalang juga berjalan. Masyarakat yang menanggap pergelaran Wayang Thengul sekarang cenderung meningkat,” ucap dia.

Ia menyebutkan sejumlah dalang Wayang Thengul yang cukup laris ditanggap masyarakat, antara lain Ki Mardji Marto Deglek, Ki Ponidi, dan Ki Santoso yang sekaligus juga perajin Wayang Thengul.

Wayang Thengul merupakan ikon kesenian tradisi wayang golek asali Bojonegoro, yang selama ini ditampilkan dengan diiringi sinden dan musik gamelan jawa berlaras slendro yang jadi ciri khas gamelan Jawa Timur.

Wayang golek umumnya lebih banyak mengangkat cerita Carangan atau Wayang Purwa seperti Mahabarata dan Ramayana. Namun, Wayang Thengul mengangkat cerita rakyat seperti cerita Wayang Gedhog (cerita Kerajaan Majapahit) dan Wayang Menak (cerita panji serta cerita para wali). Selain itu, ada juga yang menceritakan cerita Serat Damarwulan, yang sering dilakonkan dalam pertunjukan wayang klithik.

Tradisi pertunjukan wayang thengul di Bojonegoro nampaknya lebih dekat dengan ceritera Gedhog, Bangun Majapahit yaitu ceritera yang bersumber pada babad Majapahit, babad Demak. Dilihat dari perupaan dan visualisasi karakter tokoh dalam wayang thengul memiliki kedekatan karakter dengan tipologi yang tertuang dalam wayang gedhog dan wayang menak. Sehingga sangat wajar, wayang thengul lebih dekat dengan lakon wayang menak, lakon-lakon Panji serta ceritera para wali pada masa kerajaan Demak.

Menurut catatan sejarah, Wayang Thengul diciptakan tahun 1930-an oleh Sumijan, yang pertama kali mempopulerkannya dengan cara mengamen dari satu desa ke desa lain. Kesenian ini berkembang dan ditampilkan di berbagai acara seperti hajatan, ruwatan, pernikahan, bersih desa, nazar dan lainnya. Namun, itu semua belum cukup. Saat ini Wayang Thengul baru populer di daerah lokalnya, masih butuh dijaga dan dilestarikan agar tetap eksis di Indonesia.

Kata Thengul dalam penuturan masyarakat berasal dari kata “methentheng” dan “methungul” yang artinya karena terbuat dari kayu berbentuk tiga dimensi, maka “dhalang” harus “methentheng” (tenaga ekstra) mengangkat dengan serius agar “methungul” (muncul dan terlihat penonton). Teng (”methentheng”) dan Ngul (“menthungul ”).

Wayang thengul berbentuk 3 dimensi ini, biasanya dimainkan dengan diiringi gamelan pelog/slendro. Wayang thengul ini memang sudah jarang dipertunjukkan lagi, namun keberadaannya tetap dilestarikan di Bojonegoro.

Para dhalang belajar secara otodidak dengan cara nyantrik (membantu sambil mempelajiri setiap pentas pada dalang senior), dan saling mengapresiasi permainan sesama dhalang wayang thengul maupun dari pertunjukan wayang kulit pada umumnya. (END)

Endy Poerwanto