Tanpa Turis, Kota Marrakech di Maroko pun ‘Mati’
Selama pandemi COVID-19, kota bersejarah ini pun sepi tanpa turis(foto: Arab news)
MARRAKECH, bisniswisata.co.id: Pesona kota berjulukan Kota Merah ini sudah tersohor di kalangan wisatawan. Marrakech adalah destinasi wisata paling populer di Maroko. Banyak tempat menarik bisa dikunjungi di kota bersejarah itu.
Lokasinya lumayan jauh dari ibu kota Rabat, sekitar 400 kilometer atau 4 jam perjalanan dengan mobil. Namun hal itu tak menyurutkan minat wisatawan untuk datang. Para turis selalu terkesan bahkan ketagihan untuk kembali datang.
Salah satu tempat yang legendaris adalah Djemaa El-Fna, semacam alun-alun di pusat kota Marrakech. Beragam pertunjukan seni dan budaya biasa digelar di sana: mulai dari musik, tarian tradisional Maroko, hingga atraksi para pelawak, pendongeng serta pawang binatang dengan diiringi musik khas tradisional Maroko. Tempat ini selalu ramai pengunjung.
Namun, sejak pemerintah memberlakukan pembatasan yang ketat demi membendung penyebaran virus corona, industri pariwisata di Marrakech pun ikut terimbas. Banyak pelaku usaha di sektor ini menjerit karena terancam bangkrut.
Melansir dari Arab News, situs Warisan Dunia UNESCO abad ke-11 di Maroko ini nyaris kosong. Kota ini menghadapi krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya.
“Sebelumnya, Anda harus antri, menunggu giliran untuk mendapatkan meja,” kata Bachir, seorang pelayan kafe yang telah bekerja di alun-alun selama dua dekade. Ia pun menunjuk ke teras kafe yang kosong.
Sementara itu tetangganya, Mohamed Bassir, khawatir akan masa depan industri pariwisata di Marrakech.
“Ini pertama kalinya saya melihat DJamaa El Fna begitu kosong,” kata penjual jus jeruk yang tengah duduk menunggu pelanggan dari balik kiosnya yang didekorasi dengan ornamen buah plastik. “Itu membuat saya sedih,” kata Bassir.
Pemandangan di alun-alun yang biasanya padat pengunjung itu, kini suasananya begitu menyedihkan. Tak ada lagi pertunjukan seni. Penjual suvenir yang biasanya ramai pun seolah menghilang. Para peramal yang kerap menjajakan jasa, kini tak nampak lagi.
Maroko mengumumkan keadaan darurat kesehatan pada pertengahan Maret lalu. Pemerintah pun segera menutup perbatasan untuk menghentikan penyebaran virus corona.
Negara di Afrika Utara dengan penduduk 35 juta orang ini mencatat lebih dari 1.500 kematian akibat virus corona. Sementara itu, ada lebih dari 86.600 kasus positif yang terkonfirmasi.
Sementara itu, di labirin gang yang tersebar di kitaran alun-alun DJamaa El Fna, tak ada lagi kios yang buka. Di jalan-jalan sempit itu biasanya ramai kios menjual segala sesuatu, mulai dari sandal hingga rempah-rempah. Kini sebagian besar tutup. Hanya sedikit yang buka. Pemiliknya pun memiliki sedikit harapan.
“Sebagian besar pedagang telah menutup toko mereka,” kata Mohamed Challah, penjual jubah kaftan.
“Yang lain buka untuk menghabiskan waktu karena tidak ada yang bisa dilakukan di rumah,” katanya, seraya menambahkan bahwa tokonya tidak lagi menjual apa pun.
Sebelumnya pemerintah memutuskan untuk melonggarkan sejumlah pembatasan. Para pedagang dan operator wisata pun berharap pariwisata domestik dapat mengurangi kerugian mereka.
Namun kini, datang pengumuman yang mengejutkan tentang pembatasan baru, termasuk penutupan Marrakech dan tujuh kota lainnya. Itu menghancurkan harapan kembali bangkitnya pariwisata.
Bagi Jalil Habti Idrissi, pemilik biro perjalanan yang telah beroperasi selama 45 tahun, usahanya sangat sulit untuk bangkit kembali.
“Kami pernah mengalami krisis besar di masa lalu, tetapi tidak pernah separah ini,” kata Idrissi sambil menambahkan bisnisnya telah “runtuh”.
Di media sosial, ramai seruan untuk “menyelamatkan” kota yang hampir seluruh gedung, hotel, rumah-rumah penduduk dan bangunan lainnya didesain dengan warna merah yang sangat indah. Mereka menggunakan tagar “Marrakesh suffocates” yang secara harfiah artinya tercekik atau mati lemas.”
Rin Hindryati
Selama pandemi COVID-19, kota bersejarah ini pun sepi tanpa turis(foto: Arab news)