Uncategorized

Swadharma Ning Pertiwi Tandai Rampungnya Patung GWK

DENPASAR, bisniswisata.co.id: Setelah 28 tahun perjalanan pengerjaan pembangunan Patung Garuda Wisnu Kencana (GWK), penuh liku-liku. Kini Patung artistik di Desa Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, Badung, Bali hasil mahakarya maestro Nyoman Nuarta, rampung. Selesainya Patung tertinggi kedua di dunia ditandai dengan pergelaran seni bertajuk “Swadharma Ning Pertiwi”, Sabtu (4/8/2018) malam.

Perhelatan ini, sebagai wujud rasa syukur dan persembahan dari seorang seniman kepada ibu pertiwi, setelah mengalami perjalanan panjang 4 kali ganti presiden, akhirnya patung monumental selesai di jaman Presiden Jokowi. Patung GWK hanya menjadi landmark kawasan yang disebut sebagai cultural park ini.

Seniman Nyoman Nuarta mengatakan GWK akan menjadi bukti bahwa kita berdaulat di bidang kebudayaan dan diharapkan menjadi kiblat kebudayaan dunia. “Saya berharap World Cultgure Forum yang telah dua kali digelar di Bali bisa berkantor pusat di Garuda Wisnu Kencana Cultural Park,” lontar Nyoman Nuarta seperti dilansir laman Bisnis, Ahad (05/08/2018).

Rencananya, sambung dia, Patung GWK diresmikan Presiden Joko Widodo yang bakal menjadi kado HUT Ke-73 Kemerdekaan RI. Juga menyemarakkan pesta olahraga Asian Games 2018, yang dimulai pada 18 Agustus 2018 hingga 2 September 2018.

Dilanjutkan, pemasangan modul rampung hanya tinggal pernak-perniknya serta pembuatan museum di dalam patung. Dengan selesainya pemasangan modul patung GWK, bisa menjadi pengingat bagi bangsa ini akan budaya. “Kita memiliki budaya yang sangat luar biasa. Tapi kenapa dari kita sebagian berpaling kebudaya orang. Kita harus kembali dan bangga kepada budaya kita sendiri. Sebagai suatu bangsa yang punya harga diri,” ucapnya.

Diakui perjuangan selama 28 tahun membangun GWK tidak mudah. Banyak hambatan dan tantangan. Namun terus diperjuangkan bersama rekan-rekannya, sebagai janji untuk membangun GWK. “Ada uang atau tidak dan terus kita kerjakan dengan kesabaran. Kita buktikan kepada bangsa bahwa kita jangan jadi bangsa minder atau menjadi bangsa pengekor. Bangun budaya kita, karena budaya adalah hal yang sangat penting. Kita membangun ini bukan mencari untung tapi membangun dan kebanggaan harga diri dari janji saya,” ujarnya.

Janji Nyoman Nuarta sudah dibuktikan dan terpenuhi. “Tugas kita sebagai bangsa harus punya harga diri. Banggalah dengan budaya sendiri, karena budaya itu hak setiap kelompok manusia yang mengapresiasi alamnya secara positif, kreatif dan dinamis itu yang namanya budaya,” tegasnya.

Dengan rampunya patung GWK, diharapkan bisa menjadi ikon baru bagi pariwisata di Bali. “Dampaknya tentu dalam dunia pariwisata itu besar. Hal ini, sama dengan membangun bendungan pariwisata. Jadi kita bangun untuk budaya dan pariwisata,” jelasnya.

Kawasan ini akan menjadi lokasi gala diner Pertemuan Tahunan IMF dan World Bank pada bulan Oktober yang diikuti belasan ribu delegasi dari 189 negara. Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim bersama Menko Perekonomian Luhut Binsar Panjaitan awal Juli lalu telah meninjau lokasi ini dan menyampaikan kekagumannya.

GWK digagas pada 1989 diproyeksikan menjadi landmark pariwisata dan ikon baru Pulau Bali. Pada 1990 ide itu dilanjutkan dengan pengembangan konsep bersama Dirjen Pariwisata Joop Ave (alm), Gubernur Bali Ida Bagus Oka (alm), dan Menteri Pertambangan dan Energi Ida Bagus Sudjana (alm).

Lokasi yang digunakan adalah perbukitan kapur di Ungasan, yang selama ini tidak produktif. Lahan ini merupakan bekas lokasi penambangan kapur liar yang sudah ditinggalkan dalam keadaan yang kurang baik dan tidak ada tanaman yang mampu hidup dikarenakan oleh minimnya top soil.

Setelah mendapat restu Presiden Soeharto (1993) dilakukan sosialisasi di depan anggota dan pimpinan DPRD Bali, tokoh masyarakat, diliput oleh media, serta masyarakat di sekitar lokasi GWK. Awalanya menuai pro dan kontra, tetapi ground breaking pedestal GWK dilakukan pada 1997. Sebelumnya, Nuarta mengolah kawasan tersebut dengan memotong bukit sehingga menjadi landmark seperti sekarang.

Pembangunan selanjutnya mengalami pasang surut. Puncaknya ketika pemerintah menghentikan pendanaan yang telah disepakati. Padahal, Nuarta pernah rela mewakafkan 82% kepemilikan di GWK kepada pemerintah, tetapi tak ada Presiden SBY ketika itu. Lantas, Gubernur Bali Made Mangku Pastika berinisiatif agar pemprov mengambil alih, ternyata tidak mendapat persetujuan anggota DPRD Bali.

Nuarta akhirnya melepas saham tersebut kepada PT Alam Sutra Realty Tbk. Kini ia hanya sebagai seniman yang berkewajiban menyelesaikan GWK seperti 28 tahun sebelumnya di bawah naungan PT Siluet Nyoman Nuarta.

Patung GWK secara utuh memiliki 24 segmen yang terdiri dari 754 modul kulit patung berukuran sekitar 3 x 4 meter dengan berat berkisar 800 kg hingga 1 ton bermaterikan tembaga dan kuningan dengan rangka baja. Berat total struktur patung mencapai 3.000 ton. Permukaan kulit patung ini jika dibentangkan seluas 2,5 hektare.

Proses pembuatan modul dilakukan di Studio Nyoman Nuarta di Bandung dan dibawa ke Bali bersama 200 pekerja yang akan merakit dan memasang patung ini.

GWK dan penyangganya kelak memiliki tinggi 121 meter dari permukaan tanah atau 271 meter di atas permukaan laut. Ini akan menjadi patung tembaga dengan teknik cor las terbesar di dunia. Teknik cor las ini menandai pertama kalinya patung sebesar GWK dikontruksi dengan pengelasan modul demi modul.

Nuarta menemukan teknik rekayasa yang menggabungkan seni, kecerdasan buatan, dan teknologi untuk menjamin perbesaran patung sesuai model yang dirancang. Teknik pembesaran patung Nuarta ini menggunakan rumus: jika sebuah bentuk bebas (anorganis) diiris horizontal dan vertikal dengan jarak tetap, kemudian garis-garis luar (outline) diperbesar berdasarkan skala, kemudian disusun kembali sesuai koordinat yang tetap, maka akan terbentuk pembesaran menyeluruh sesuai skala yang dikehendaki.

Proses pembesaran skala patung yang dilakukan dengan teknik las cor Nuarta ini telah dipatenkan pada 1980-an dan pertama kali diterapkan untuk patung Jalesveva Jayamahe setinggi 60 meter di Surabaya. “Dengan teknik ini seberapapun besarnya patung bisa kita buat,” kata Nuarta.

Untuk meyakinkan kekuatan struktur patung ini, Nuarta melakukan sejumlah tes di antaranya uji gempa hingga 8 skala Richter dan uji angin di Toronto, Kanada. Kata dia patung akan hancur jika dihantam angin dengan kekuatan 250 km/jam. Berdasarkan catatan BMKG Bali kecepatan angin tertinggi di Bukit Ungasan hanya 70 km/jam. Selain itu juga dilakukan tes hujan dan petir serta memperhitungkan faktor kelelahan logam.

Nuarta sangat berhati-hati untuk pengerjaan patung, termasuk pelaksana proyek ini harus memiliki ISO. Selain berkaitan dengan kualitas, juga memudahkan ketika pemilik mengasuransikan properti ini.

“Langkah-langkah ini merupakan tanggung jawab moral dan profesional, karena nama saya melekat di sana sebagai Nyoman GWK, saya mengerjakannya sejak berambut gondrong hingga botak ha-ha-ha,” kata seniman yang juga kerap disapa Nyoman GWK ini. (NDY)

Endy Poerwanto