KEDIRI, bisniswisata.co.id: Tahun 2009, UNESCO menetapkan batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the oral and intangible Heritage of Humanity) untuk Indonesia. Sebagai pembuktian hingga kini batik masih tetap eksis dan terus berkembang, Desainer Oscar Lawalata berencana memamerkan 100 batik di markas UNESCO, Paris pada Juni 2018.
“Sebagai warisan, batik itu mempunyai beragam corak dan tetap mempertahankan kualitas. Saya ingin tunjukkan ke UNESCO, setelah itu (penghargaan) diberikan, kita tetap melanjutkan, mengembangkan batik,” lontar Oscar Lawalata pada acara klinik bisnis UMKM dan keuangan inklusi di sebuah pusat perbelanjaan Kota Kediri, Jawa Timur, seperti dilansir laman Antara, Sabtu (28/04/2018).
Dilanjutkan, pameran 100 kain batik dari berbagai daerah di Indonesia, misalnya dari Yogjakarta, Solo, Madura, Tuban, Cirebon, Pekalongan, dan beberapa daerah lainnya. Dalam pameran itu, juga mengenalkan otentiknya kain batik.
Sejumlah perajin batik akan diikutkan. Mereka sekaligus akan memeragakan cara membuat batik sehingga masyarakat luar negeri bisa mengetahui bagaimana proses serta sulitnya membuat produk ini. “Kami akan bawa warisannya, membawa yang otentik. Jadi, nanti juga akan diperlihatkan membuat batik mulai proses awal sampai jadi batik. Orang sana tahu susahnya membuat batik,” ujarnya.
Oscar juga mengakui, saat ini banyak jenis kain batik, bahkan banyak yang cetak. Namun, menurut dia batik cetak tidak bisa disebut sebagai batik, sebab tidak ada tahapan untuk membuat beragam motif batik.
Terkait perkembangan batik di Jatim, Oscar menilai cukup bervariasi dan dinamis, bahkan berani eksplorasi ide-ide yang dimiliki. Hal itu terlihat dari hasil peragaan busana yang dilakukan dalam acara ini serta pewarnaan alam yang cukup bagus. “Menurut saya berkembang dan variasi, motif cukup berani. Itu cukup bagus, sebab sekarang orang-orang memakai batik dan senang yang kontemporer,” ujarnya.
Ia juga memberikan masukan agar perajin juga memerhatikan limbah. Kendati memanfaatkan pewarna alami, limbah sebagai pewarna diharapkan tidak dibuang sembarangan. Selain itu, perajin diharapkan juga sering membuka media dalam jaringan (daring) sehingga bisa mengetahui perkembangan dunia busana.
“Jangan terjebak dengan panggung busana, yang dipakai artis di panggung. Jika bisnis, kita lihat sosialita Jakarta, artis hari-hari bajunya. Jika baju pesta kan pesan, tapi jarang. Jadi, untuk perputaran bisnis cepat, melihat jangan busana di panggung, tapi hari-harinya,” ujarnya.
Oscar juga berharap, perajin juga lebih mempunyai pikiran terbuka. Ia tidak sepakat ketika budaya busana di luar negeri dipaksakan dipakai di Indonesia sebab belum tentu cocok. Dirinya justru mengapresiasi jika orang Indonesia bangga menggunakan produk dalam negeri.
“Di era terbuka, kita lihat trend fashion dunia, tapi jangan lupa jati diri. Jangan paksakan diri, yang di sana ketat, kita juga mau begitu, padahal punya warna kulit sendiri, badan sendiri, kepribadian sendiri. Jangan desain dari luar dipaksakan ke Indonesia. Orang luar jsutru mencari khasnya Indonesia, orang Indonesia maunya, sukanya ke barat-baratan. Itu menurut saya harus disadari,” kata dia.
Dalam klinik UMKM tersebut diikuti berbagai perajin dan UMKM di wilayah BI Kediri. Selain membawa kerajinan berupa kain batik, juga banyak yang membawa kerajinan tangan lainnya seperti rajut, hingga miniatur Reog Ponorogo.
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kediri Djoko Raharto serta desainer Oscar juga melihat secara langsung hasil kerajinan UMKM tersebut. Oscar sangat antusias dan menilai hasil kerajinan mereka bagus. Acara klinik bisnis UMKM dan keuangan inklusi itu digelar selama tiga hari, 27-29 April 2018. (NDY)