JAKARTA, bisniswisata.co.id: Kain Nusantara bukan hanya indah karena kombinasi warna-warnanya. Motif-motifnya yang menceritakan filosofi kehidupan masyarakat setempat juga menawarkan pesona tersendiri. Seperti itulah tenun tanimbar memancarkan kecantikannya. Tenun tanimbar berasal dari Kepulauan Tanimbar, Maluku Tenggara Barat.
Sepintas motifnya tampak sederhana namun di baliknya sarat akan makna hidup. Juga untuk memahami keindahannya, harus paham dulu motif-motifnya. Meski setiap daerah di Tanimbar memiliki tenun dengan ciri khasnya masing-masing, motif tenun tanimbar pada umumnya memiliki motif dengan filosofi yang sama di baliknya.
Dan untuk melestarikan salah satu produk budaya Tenun Tanimbar, mendorong Hiyasinta Klise mendirikan sebuah Yayasan Lamerenan. Ia merintis yayasan ini sejak tahun 2014 dan mulai berbadan usaha pada tahun 2017.
“Ini merupakan gerakan pelestarian tenun Tanimbar dan turut memberdayakan perempuan Tanimbar, menanamkan kearifan lokal kepada generasa muda, dan tentunya menjaga keseimbangan alam Tanimbar,” ujar Hiyasinta seperti dikutip laman marketeers.com, Rabu (28/02/2018).
Hiyasinta menggandeng para penenun muda Tanimbar. Awalnya, upaya ini mungkin belum memberikan dampak pada peningkatan ekonomi yang signifikan. Namun, Hiyasinta bisa menggugah semangat lagi para penenun yang telah berhenti menenun lantaran kurang pesanan. Termasuk, mengedukasi mereka tentang filosofi motif-motif tenun.
“Kami terus memperbaiki kualitas bahan dengan mencari pemasok benang yang berkualitas di Jawa. Kami menggunakan media sosial sebagai media berpromosi yang follower-nya justru banyak dari Tanimbar dan Maluku sendiri. Dengan ini, mereka lebih tahu tentang budaya Tanimbar, khususnya tenunnya dan merasa bangga,” ujar Hiyasinta.
Pegiat tenun Tanimbar selalu mencari sumber inspirasi motif tenun tanimbar yang datang dari lingkungan sekitar, bahkan hingga hal terkecil. “Para leluhur mencoba melihat keindahan dari alam, sekecil apapun bentuknya. Mulai dari jentik nyamuk, ulat, hingga hati jagung,” ujar Shinta, begitu sapaan akrbanya.
Salah satu daerah penghasil tenun di Kepulauan Tanimbar adalah Yamdena yang memiliki empat jenis kain, yakni Tais Matan, Tais Anday, Tais Maran, dan Ule Rati. Tais Matan identik dengan motif utama di ujung kain saja, sementara sisanya didominasi garis, lalu Tais Anday dengan ujungnya yang dihiasi garis hitam-putih dan motif utama di tengah.
Sementara Tais Maran menampilkan garis di bagian tengah dan motif utama di ujung, Ule Rati hadir dengan motif berbentuk ulat yang tersebar di seluruh kain. Motif Lelemuke atau bunga anggrek merupakan salah satu motif utamanya. Bagi masyarakat Tanimbar, bunga anggrek melambangkan kecantikan, keagungan, dan keuletan.
Ada pula motif Sair yang menyimbolkan semangat masyarakat Tanimbar dalam berkarya dan menekuni kehidupan, mempertahankan identitas, membela dan melindungi wanita. “Emansipasi wanita memang sudah lama diakui sejak zaman leluhur Tanimbar,” kata Shinta.
Tenun Tanimbar juga dikenal dengan motif Tunis atau anak panah. Motif ini merefleksikan kesigapan masyarakat Tanimbar terhadap ancaman. Bagi wanita Tanimbar, motif ini bisa pula bermakna kekuatan dan kesiapan mental untuk menghadapi rintangan hidup.
Yang unik, tidak seperti batik dan beberapa jenis wastra lainnya, tenun Tanimbar bisa dipakai oleh siapa saja tanpa memandang posisi di masyarakat, entah itu raja atau rakyat jelata.
Hal ini karena masyarakat Tanimbar menganut sistem kekerabatan ‘Lebit Lokat’ atau ’emas untuk semua’ yang bermakna setiap individu memiliki hak dan kewajiban yang setara.
Namun pantang bagi masyarakat Tanimbar untuk menenun ketika ada kerabat yang meninggal. Pasalnya, suara yang dihasilkan dari alat tenun diyakini dapat membangkitkan arwah dari liang kubur. (BBS)