Penulis ( kedua kiri) bersama anggota Kelompok Sadar Wisata ( Pokdarwis) Ki Amuk, Banten, dalam Program pemberdayaan masyarakat untuk menguatkan Program Sapta Pesona Kemenparekraf. ( Foto: HAS)
JAKARTA: ” Pakkkkk….di Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sudah tidak ada divisi Pemberdayaan Masyarakat lagikah?. Ganti Menteri ganti kebijakan ya ? Sapta Pesona kok hilang sekarang hafalan pejabatnya cuma Cleanliness, Health, Safety ( CHS) melulu, ” kata saya ‘nyerocos‘ diujung telpon dengan seorang pejabat Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Kalau rakyat desa wisata tahunya CHS sekarang adalah Sapta Pesona. Sekarang ditambah embel-embel Environmental Sustainability menjadi CHSE yang tertuang dalam buku panduan protokol kesehatan, turunan dari Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/382/2020.
Jadi CHSE itu bagi mereka adalah pilar-pilar Sapta Pesona. Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia nomor 14 tahun 2016, tentang Kriteria Destinasi Pariwisata Berkelanjutan adalah menerapkan Sapta Pesona, bersedia untuk mewujudkan unsur-unsur : Aman, Tertib, Bersih, Sejuk, Indah, Ramah, dan Kenangan.
Maklum sepuluh tahun terakhir sejak 2009 hingga 2019 saya banyak berinteraksi dengan warga desa wisata di Tanah Air dan menjadi juri Lomba Foto Sadar Wisata, Lomba Toilet Bersih Bandara Internasional, Lomba Kelompok Sadar Wisata, Lomba Hometay dan terakhir jadi juri Lomba Desa Wisata 2019 yang diselenggarakan secara nasional oleh Kementrian Pariwisata yang sekarang menjadi Kemenparekraf.
Sekarang dengan status sebagai Ketua Departemen Pariwisata Persatuan wartawan Indonesia ( PWI ) Pusat, program kerja saya juga membentuk, membina desa wisata yang jaraknya hanya satu jam dari bandara ataupun pusat kota Kabupaten/ Provinsi.
Kalau desa wisata jarak tempuhnya dekat ke bandara atau ke ibukota kabupaten maupun provinsi, mudah bagi wisatawan untuk datang menikmati kuliner, suvenir, keseharian warga desa termasuk berfoto dengan baju daerah layaknya ke Volendam, Belanda untuk berfoto dengan kostum tradisional negri kincir angin itu.
Membaca pemberitaan di media massa ketika Kemenparekraf mensosialisasikan CHSE, wajar warga desa terutama teman-teman pengurus desa wisata di berbagai daerah di tanah air menjadi bertanya-tanya mengapa tidak melanjutkan program pemberdayaan masyarakat lewat Sapta Pesona ?
Pariwisata yang “ramah” dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya disepakati sebagai pariwisata berbasis komunitas atau yang tidak merugikan masyarakat sekitar, lingkungan, dan budaya lokal masyarakat, penyebutan ini lebih dikenal sebagai Community Based Tourism (CBT).
CBT mengutamakan masyarakat lokal sekitar destinasi wisata menjadi subjek sekaligus objek dalam managemen pariwisata. Peran masyarakat dalam konsep CBT ini sangat penting bagi keberlangsungan pariwisata.
Peran masyarakat adalah sebagai pelaku, penerima manfaat, serta sebagai pembuat kebijakan. Selain itu, dalam Community Based Tourism (CBT) mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada bidang ekonomi, dengan cara tenaga menciptakan lapangan pekerjaan di destinasi wisata yang berbasis CBT.
“Menurut saya pemberdayaan masyarakat melalui pariwisata (CBT) dengan Sapta Pesona itu adalah hasil nyata sebagai usaha menyadarkan masyarakat dan mengembalikan jati diri bangsa,” ujar Arfah, Sekretaris Pokdarwis Ki Amuk, Banten.
Penerapan Sapta Pesona dan mandirinya masyarakat secara tidak langsung melestarikan budaya mereka. Hal ini tidak semudah membalik telapak tangan, ada proses panjang dalam pembinaan.
” Pilar-pilar Sapta Pesona itu adalah membangun kepercayaan, kemampuan dan kebanggaan sehingga dapat mengembalikan jati diri bangsa dalam kehidupan masyarakat,” tambahnya..
Di lapangan, kata Arfah, peran Pokdarwis adalah merubah mindset masyarakat dari kebiasaan buruk misalnya membuang sampah sembarangan, menjadikan lingkungan yang bersih dan malah sampahnya diolah hingga memiliki nilai ekonomi tinggi seperti yang dilakukannya dalam mengolah sampah plastik menjadi tas unik dan cantik.
“Kebersihan itu pilar Sapta Pesona dan sekarang jadi CHSE. Harus ada sosialisasi ditingkat desa-desa lagi karena tujuannya juga untuk pariwisata yang berkelanjutan,” kata Arfah.
Dia mengaku sangat kecewa jika program pembinaan masyarakat terutama program-program CBT yang telah dilakukan oleh para Menteri Pariwisata pendahulu kemudian hilang tak terdengar lagi program bahkan pembinaannya atas nama pandemi global COVID-19.
Jika masing-masing kementrian dan menterinya yang menjabat per periode punya program sendiri, maka sebaik apa pun programnya jika program selalu berganti, seterusnya tidak akan terwujud keberhasilan. Malah membuat bingung masyarakat. Andai program dari masing-masing kementrian dapat bersinergi, dikerjakan bersama., kesepakatan bersama insyaAllah apa pun programnya akan berhasil, kata Arfah.
Nun dari Bontang, Kalimantan Timur, seorang ibu rumah tangga, Halima Jannah yang juga ketua Pokdarwis Kuala Abadi, mengaku bingung dengan istilah CHSE dan belum ada penjelasan yang sampai ke tingkat desa
” Kami di Pokdarwis Bontang Kuala ini berharap pemberdayaan masyarakat jangan berhenti. Nama program berganti silahkan yang penting adalah penerapannya dilapangan,” tegasnya.
Di kelompoknya dengan 30 kader anghota yang aktif terjun dimasyarakat, gaung Sapta Pesona tidak pernah padam karena sangat dibutuhkan dalam pengelolaan pariwisata.
“Sapta Pesona itu hasil yang nyata, tolong kembalikan dan aktifkan kembali program pemberdayaan masyakarat untuk lebih memahami CHSE. Jangan diabaikan oleh Pemerintah Pusat,” tandas Halima Jannah singkat.
Seorang teman yang sudah menikmati masa pensiun di Menado, Yabes Tosia juga masih ingat perjuangan para pimpinan dan rekan kerjanya di Kementrian Pariwisata dalam sosialisasi Sapta Pesona dan membina CBT di lingkungan kelompok Sadar Wisata di desa-desa wisata hingga ke pelosok tanah air.
“Pada prinsipnya Program Kampanye Sadar Wisata dan Sapta Pesona adalah upaya mengkondisikan masyarakat untuk berperan serta dalam pengembangan pariwisata. Masyarakat diajak untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi bertumbuh kembangnya kegiatan kepariwisataan di destinasi pariwisata,” ujar Yabes Tosia.
Di era New Normal seperti ini Sapta Pesona yang bertransformasi menjadi CHSE harus segera disosialikasikan karena yang perlu ditumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menciptakan lingkungan destinasi pariwisata yg AMAN bagi wistawan.
Masyarakat kini juga dituntut untuk menjaga ke TERTIB an sehingga nampak lingkungan yg tertata rapi; menjaga kebesihan supaya terhindar dari berbagai penyakit. Banyak destinasi wisata sudah dibuka, penerapan jaga jarak, tetap pakai masker harus tertib dilaksanakan.
Pasca COVID-19, wisatawan domestik di dorong berwisata. Pokdarwis dan pengelola destinasi harus menciptakan lingkungan yang sehat; menciptakan ke SEJUK an, menata tanaman penghijauan; menciptakan suasana lingkungan yg nampak INDAH di destinasi sehingga wisatawan merasa betah.
Yabes juga mengingatkan untuk bersikap RAMAH kepada wisatawan sangat penting dan akhirnya suasana yang kondusif dengan pengalaman unik dan mengesankan akan menimbulkan KENANGAN bagi wisatawan.
” Tujuh pilar Sapta Pesona bila di analogikan adalah “roh/ruh” pariwisata yang memberi kehidupan bagi pertumbuhan dan pengembangan pariwisata. Dapat dibayangkan bagimana pariwisata di suatu daerah bisa maju walaupun daya tariknya sangat unik dan mempesona kalau tidak menerapkan ke 7 unsur Sapta Pesona itu. Tentunya “jauh panggang dari api”, ungkap Yabes.
Sesungguhnya, kata Yabes, secara substansi pembinaan tekhnis masyarakat sadar wisata berada pada domain Parekraf. Wilayahnya berada pada Kemendes. Kedua lnstansi dapat bersinergi dengan baik dalam hal memajukan desa-desa yang sangat potensial untuk pengembangan desa wisata dimana di dalamnya diterapkan unsur Sapta Pesona itu.
Mantan pejabat yang terlibat dalam bidang pemberdayaan masyarakat selama 10 tahun ini mengingatkan agar divisi pemberdayaan masyarakat di Kemenparekraf segera action dan bersinergi dengan kementrian lainnya.
“Sesuai arahan Presiden Jokowi, pengembangan pariwisata prioritas digenjot 3 A, akses, atraksi, Amenitas jadi Kementrian terkait harus mampu mewujudkan dan semua paham intinya Sapta Pesona,” kata Yabes Tosia yang kini menjadi pengamat pariwisata dan aktif di organisasi keagamaan.
Dari Kemenparekraf, rekan saya pejabat eselon dua yang berada diujung telpon dengan sabar mengatakan bahwa memang atas nama pandemi global COVID-19 yang melanda 216 negara maka nama CHSE yang dipakai.
“Agar organisasi dan masyarakat dunia paham dengan apa yang dikerjakan kementrian ini makanya nama Sapta Pesona bertransformasi jadi bahasa Inggris yang mendunia (CHSE). Sabar ya Hilda, nanti saya ingatkan teman-teman jangan melupakan pilar-pilar Sapta Pesona dan pentingnya divisi pemberdayaan masyarakat dalam membangun pariwisata Indonesia,” tutupnya.