SOSOK

Rita Sri Hastuti: Jurnalism is My Passion

Rita Sri Hastuti, Wakil Pemimpin Umum bisniswisata.co.id dan E-Mag EXPLORE

JAKARTA, bisniswisata.co.id – Nyaris tak ada hari-harinya yang luput dari aktivitas berkait jurnalistik. Bahkan bisa jadi,  dalam  tidur pun   mimpinya  adalah   ihwal   jurnalistik   yang   memang menjadi  bagian besar dari gairah hidupnya.

Rita Sri Hastuti (RSH), akrab disapa: Rita, adalah sahabat saya sejak kami sama belia dan mulai menapak karier sebagai jurnalis di Ibu Kota. Kami sama -sama menjadi anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Bahkan kini juga eksis di media yang sama. Rita menjadi atasan saya sebagaii Wakil Pemimpin Umum Portal Berita Wisata, www. bisniswisata.co.id serta Wakil Pemimpin Umum E-Magazine EXPLORE.

Tapi bukan alasan kedekatan itu, juga tak dengan maksud ‘jeruk makan jeruk’ atausekadar   politik   pencitraan,   bila   saya   menulis   dan   memprofilkannya.   Melainkan,   ini karena  Rita   punya   seabreg   pengalaman   hidup   yang   pantas  buat   diungkap,  bahka untuk dtulis menjadi sebuah buku memoar yang apik buat diselisik.

Bagi   saya,   Rita   adalah   jurnalis   komplet.   Ia   tak   cuma   terasah   sebagai   reporter   diberbagai lapangan tugas, tapi juga berpengalaman mengisi ragam jenjang kerja dalam struktur keredaksian dan bidang manajemen di media tempatnya bekerja. 

Di organisasi kewartawanan,  dari sekadar sebagai  Calon   Anggota   (CA)   PWI   Jaya,   kini   Rita menempati beberapa posisi penting dalam struktur organisasi PWI Pusat.Tak cuma koran dan majalah, Rita juga mengukir karier di radio dan televisi serta media massa baru berbasis internet.

Posisinya beragam baik sebagai jurnalis, manajer pelaksana usaha, bahkan sebagai  public   relations  (PR)   berbagai   perusahaan,   instansi,   dan   kegiatan   nonpers. Sejak lima tahun lalu dan lima tahun ke depan, Rita juga dipercaya negara menjadianggota dan pengurus Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia. 

Rita ( kanan) bersama Presiden Jokowi dan pengurus PWI Pusat di Solo

Anak Zaman

Di Ibu Kota pada 1980-an, ada beberapa jurnalis yang dikenal dengan nama sapaan Rita. Maka untuk membedakan antara satu dengan lainnya, di belakang nama-nama yang sama itu biasa diimbuhi ‘kata kunci’ spesifik. Rita kita ini populer sebagai Rita Zaman,  untuk merujuk  bahwa  Rita kita  ini adalah  Rita  yang  ‘anak’ Majalah  Zaman, tempatnya bekerja dulu.

Lahir  di  Jakarta, 13  November 1955,   Rita   menyelesaikan   pendidikan  dasar  dan menengah di Jakarta, yakni di SD Tarakanita, SMPN XII, dan SMA Tarakanita. Selain kuliah   di   LPK  Tarakanita  Jakarta,   pada  1975,   Rita kuliah juga di Jurusan   Sastra Indonesia , Fakultas   Sastra   Universitas   Indonesia,   yang   kini   menjadi   FIB-UI   atau Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.

Semasa kuliah ini Rita mulai mengasah minatnya menulis, dengan menjadi Reporter Surat Kabar Kampus UI Salemba (1976 – 1980), kiprah yang mengantar langkah Rita masuk ke lingkungan Majalah Tempo  yang tahun 1979 mendirikan Majalah Mingguan Zaman,   dan  Rita   menjadi  Reporter/Staf   Redaksi  Bidang   Film  dan   Budaya   (1980 –1985).

Dari Swa ke Warisan Indonesia

Bagi Rita, menjadi jurnalis komplet agaknya sudah terpatri sebagai life of passion atau gairah   hidup.   Saat   Majalah  Zaman berhenti terbit   dan   lingkar  Majalah  Tempo mendirikan  Majalah Ekonomi  Bulanan SWA   (yang  merupakan  singkatan  dari  jargonperekonomian  Indonesia   saat  itu,  yakni   Swasembada),  Rita  bergabung  sebagai Redaktur (1985 – 1987).

Kemudian   pada   1987,   dalam   situasi   politik   yang   represif   terhadap   pers   Indonesia, bersama sebagian awak Tempo, Rita ikut mendirikan Majalah Mingguan Berita Editor dan   duduk  sebagai   Redaktur  Film  dan  Budaya   kemudian   Redaktur   Bisnis (1987 –1990). 

Dia juga sempat menjadi Kepala Biro Majalah Editor di Jawa Timur (1990 -1992). Ketika Majalah  Editor  dibredel bersamaan dengan Majalah  Tempo  dan Tabloid  Detik (1994), Rita ikut menerbitkan Majalah  Tiras  (1995 – 1998). Di situ ia duduk sebagai Manager   Promosi   kemudian   Redaktur   Pelaksana.

 Lepas   dari   situ,   selain   menjadi penulis lepas koran berbahasa Inggris  The Jakarta Post untuk bidang kebudayaan, ia membantu wartawan  senior  Wina   Armada  menerbitkan  Tabloid  Power   dan Tabloid Gosip (1999). Ia kemudian bersama wartawan senior Chrys Kelana menerbitkan Majalah  d’Maestro (2004 – 2008) yang lantas bersalin rupa jadi MaestroNews.

Rita tercatat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi/Redaktur Pelaksana (Mei – November 2008), dan Pemimpin Redaksi hingga tahun 2009. Bersama budayawan Putu Wijaya, seniornya di Majalah Zaman,   Rita   ikut   menerbitkan   Majalah  Warisan   Indonesia  dan   menjadi   Pemimpin Redaksi majalah tersebut hingga 2013.

Radio, Televisi, dan Kehumasan

Saya sebut Rita sebagai jurnalis komplet karena ia tak melulu aktif di media cetak, tapi sejak awal juga menapak jejak di media audio-visual, bahkan di bidang kehumasan.Tahun 1984 – 1987 misalnya, Rita juga aktif sebagai Reporter acara Seni dan Sastra diRRI, Penyiar Siaran Film di Radio Prambors (1986), Penyiar dan Produser di Radio DELTA FM (1994 – 2004).

Di   media  televisi,   Rita   adalah   Redaktur   Pelaksana   Acara  WANITA   dan   BERITA   diANTV (Avi Prod, 2001), Redaktur dan Narator Acara KABAR-KABARI MINGGU di RCTI(Shandika,   2002),   Redaktur   dan   Narator   Acara   KABAR   BAIK   di   TVRI( Sinemaindonesia, 2009 – 2010). 

Hal yang menarik, Rita juga dipercaya banyak pihak  untuk ikut menangani kehumasan. Penulis advertorial untuk televisi (1986) ini ikut mendirikan PT Adhidaya Visi Selaras(1993 – sekarang) sebagai penyelenggara seminar dan penerbitan media internal. 

Dia juga sigap sebagai Humas Festival Internasional Art Summit ’98 yang diselenggarakan Direktorat JenderalKebudayaan  Departemen  Pendidikan   dan  Kebudayaan   (1998),   Tim   Asistensi   Media untuk Dirjen Kebudayaan Prof. Dr. Edi Sedyawati (1999), dan Humas Festival Budaya Nusantara   yang digelar di Jakarta, tahun 1999.

Di   Jakarta   pada   tahun   2003   berdiri   Asosiasi  Tradisi   Lisan   (ATL)   yang   merupakanLembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Indonesia pertama untuk bidang budaya yangkehadirannya diakui  oleh UNESCO – Lembaga PBB untuk urusan budaya dan ilmu pengetahuan. 

Hingga sekarang, Rita adalah Koordinator Humas Seminar dan Festival Tradisi Lisan yang digelar oleh ATL. Di luar itu, Rita juga tercatat sebagai Humas Festival Revitalisasi  Budaya Melayu di Tanjungpinang (2004), Koordinator Humas Festival Film Indonesia (2005–2006), serta Koordinator Humas Indonesian Science Festival (2007 – 2013).

Rita ( depan) bersama Pengurus PWI Pusat yang didominasi kaum Pria.

Literasi dan buku

Tak   cuma  sibuk   melakoni   kerja   sebagai   jurnalis  dan   tenaga   kehumasan,   Rita   juga berbagi pengetahuan, antara lain dengan menjadi Pengajar Jurnalistik Media Cetak diMabes   TNI   (2010  –   2017)   dan   sejak   2009   mengajar   bahasa   jurnalistik  di   Politenik Negeri Jakarta.

Dia juga pengurus Forum Bahasa Media Massa (FBMM) dan bersamaBadan Pengembangan dan   Pembinaan Bahasa, Kemendikbud menjadi pembicara dibeberapa   media massa dan menjadi Tim Editor sejumlah buku.

Antara lain buku  Layar Perak, Sejarah Bioskop Indonesia  (Penerbit GPBSI,   1992),   buku  Biografi  H.   Masagung,  Ketut   Masagung:   Bapak  Saya   Pejuang Buku  (Gunung  Agung,   2003),   Memoar  Megawati:   Anak   Putra  Sang  Fajar  (Yayasan Kusuma   Pertiwi,   2012)   bersama   Yvonne   de   Fretes,  

 Kumpulan   Esai   Myra Sidharta Seribu Senyum dan Setetes Air Mata  (Penerbit Kompas, 2015),  Bunga Rampai Seni Pertunjukan   Kebetawian  karya   Julianti   Parani   (IKJ   Press   bersama   Gandung Bondowoso, 2017), dan Seribu Cermin karya Putu Wijaya (Teater Mandiri, 2019).   

Menyensor buat Anda 

Rita juga Ketua Panitia Tetap (Pantap) Anugerah Jurnalistik Adinegoro PWI Pusat (2018 – 2023).  Dengan seabreg pengalaman itu, pantaslah bila negara merangkul Rita sebagai bagian dari SDM di Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia. 

LSF   adalah   lembaga  (independen)   penyensoran   film   dan   iklan   film   dibawah Kemendikbud RI, terkait aturan bahwa film (film cerita ataupun film noncerita) dan iklanfilm yang akan diedarkan dan/atau dipertunjukkan wajib memperoleh surat tanda lulussensor film. 

Sebagai lembaga tetap dan independen  yang berkedudukan di ibu kota negara Republik  Indonesia, LSF terdiri dari 17 orang pengurus merangkap  anggota dipilih oleh panitia seleksi yang dibentuk Kemendikbud RI, dan dikonsultasikan kepada DPR-RI. Dalam melaksanakan tugas, LSF berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri terkait.

Rita sendiri bukan orang baru di LSF. Pada 2009 – 2015, Rita telah aktif di LSF sebagai Anggota LSF mewakili PWI Pusat. Pada kepengurusan LSF tahun 2015 – 2019 yang diketuai Dr Ahmad Yani Basuki M.Si, Rita memilih menjadi Tenaga Sensor Film LSF.

Jalan terbuka lebar. Maret lalu, saat pandemi Covid-19 sedang marak dan jadi trendingnews, di televisi muncul wajah  Rita Sri Hastuti  yang tengah dilantik Menteri  Nabiel Makarim sebagai seorang dari 17 orang pengurus LSF terpilih setelah melalui fit and proper test  DPR RI.

Dipimpin Ketua  Rommy Fibri Hardianto  dan Wakil Ketua Ervan Ismail,   Rita   duduk   sebagai   Ketua   Sub-Komisi   Data,   Laporan,   dan   Publikasi   (tentu merangkap Anggota) LSF Periode 2020 – 2024. 

Hana Fahila