NASIONAL

Puncak Arus Mudik, Pilot Garuda Ancam Mogok

JAKARTA, bisniswisata.co.id: Serikat Karyawan Garuda (Sekarga) dan Asosiasi Pilot Garuda (APG) hingga kini masih menunggu solusi dari pemerintah terkait dengan sejumlah tuntutannya. Jika tak ada realisasi, ancam mogok kerja akan dijalankan saat puncak arus mudik Lebaran.

Pemberitahuan mogok akan dilakukan seminggu sebelumnya kepada pemerintah selaku pemegang saham termasuk seluruh anggotanya. Tidak menutup kemungkinan ribuan anggota kedua serikat tersebut akan mogok kerja. “Kami tunggu perkembangan dari pemerintah selaku pemegang saham, kalau nggak ada solusinya kami tetap akan strike [mogok],” kata Ketua Sekarga Ahmad Irfan, seperti dilansir laman Bisnis, Sabtu (02/06/2018).

Keputusan tersebut diambil setelah ratusan perwakilan kedua serikat pekerja dari Garuda Indonesia tersebut melakukan konsolidasi pada 30 Mei 2018. Konsolidasi tersebut diklaim berhasil menghadirkan 270 anggota.

Mogok tersebut merupakan langkah eksekusi terhadap tuntutan mereka pada 2 Mei 2018. Serikat pekerja memberikan waktu 1 bulan kepada pemerintah khususnya Kementerian BUMN dan pemegang saham untuk memberikan solusi.

Mereka menuntut untuk melakukan restrukturisasi jumlah direksi dari delapan menjadi enam orang. Idealnya, cukup direktur utama, direktur operasi, direktur teknik, direktur keuangan, direktur personalia, dan direktur niaga. Pekerja meminta pergantian direksi dari kalangan profesional di bidang penerbangan dari kalangan internal perusahaan.

Tuntutan tersebut diajukan setelah menilai terdapat lima masalah di tubuh manajemen GIAA. Pertama, kegagalan dalam penjadwalan kru pada November 2017, mengakibatkan sejumlah pembatalan dan penundaan penerbangan yang masih terjadi hingga saat ini.

Kedua, jabatan direktur kargo tidak diperlukan alasannya Garuda bukan merupakan maskapai khusus kargo atau freighter airlines yang harus memiliki pesawat khusus angkut barang. Keberadaan direktur kargo sejak 2016, yang sebelumnya dipimpin pejabat setingkat wakil presiden, dianggap membebani biaya operasional tanpa diimbangi peningkatan kinerja bidang kargo.

Ketiga, pendapatan usaha yang tidak mampu mengimbangi kenaikan beban usaha dinilai menjadi tanggung jawab Direktur Marketing dan IT dalam membuat strategi penjualan produk. Apalagi terjadi penurunan penjualan harga tiket sepanjang 2017 dari 6,93 sen dolar menjadi 6,71 sen dolar atau 3,71%.

Keempat, nilai saham GIAA terus merosot tajam sejak penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) pada 2011 sebesar Rp750 menjadi Rp254 per lembar saham saat harga penutupan pada 31 Mei 2018.

Terakhir, soal direktur personalia yang banyak mengeluarkan peraturan perusahaan yang bertentangan dengan perjanjian kerja bersama (PKB) tanpa berunding dengan serikat pekerja. Beberapa masalah diantaranya adalah perubahan jam kerja dan mengganti fasilitas antar jemput pilot dengan uang, sehingga berisiko menurunkan tingkat keselamatan penerbangan. (NDY)

Endy Poerwanto