Turis Cina bersiap tour ke luar negeri ( outbound) dengan China Airlines. ( Foto: Markus Winkler/ unspash.com)
NEWYORK, bisniswisata.co.id: SELAMA satu dekade, pasar wisata outbond Cina telah menjadi kekuatan pendorong bagi industri biro perjalanan global. Seturut dimulainya dekade baru – dengan sebagian besar optimisme itu telah padam – akankah pertumbuhan ekonomi di Cina tetap dapat diandalkan?
Seperti yang dikatakan Wolfgang Georg Arlt, CEO Lembaga Penelitian Wisata Outbond Cina, “Anda dulu terbiasa memiliki mesin es batu di setiap lantai di hotel bagus bagi orang Amerika. Sekarang Anda perlu menyiapkan (ketel) air panas. ” ungkapnya seperti dikutip dari Skift.com
Memang narasi itu, sebagian besar, benar adanya. Menurut riset yang dilakukan Skift, pangsa pasar wisata outbond Cina merupakan yang terbesar pada 2013. Sebelum COVID-19, Skift memprediksi Cina akan mengirim sekitar 286 juta warganya untuk perjalanan ke luar negeri pada 2029.
Seiring meningkatnya jumlah orang kaya dan aspiratif di Cina, maka tren peningkatan jumlah turis yang melancong ke luar negeri pun terus naik. Fakta ini bukan sekadar taruhan yang aman, tetapi sudah jelas.
Namun kini industri travel menghadapi era baru yang tak pernah terbayangkan sebelumnya; tingginya tingkat ketidakpastian menjadi tantangan ke depan; seluruh taruhan dibatalkan.
Meski ada beberapa ramalan yang mencerahkan terkait seberapa cepat dan pasti orang akan kembali travelling, tetapi gambaran masa depan dan seperti apa bentuk pemulihannya, sangatlah tak pasti.
Pertanyaannya adalah bagaimana pasar wisata outbound Cina menyesuaikan diri dengan kenyataan baru ini dalam tempo satu, lima, dan sepuluh tahun mendatang. Apakah pasar Cina akan sama pentingnya dengan dekade sebelum pandemi COVID-19? Dan bagaimana krisis ini membentuk preferensi pelancong Cina yang terus bergerak maju?
Puncak Gunung Es
Semua narasumber yang diwawancarai untuk artikel ini menyatakan kontribusi Republik Rakyat Cina (RRT) bagi industri pariwisata global akan tetap meningkat setidaknya untuk jangka panjang.
“Pertumbuhan wisata outbond dari Cina masih benar-benar baru dimulai,” kata Richard Tams, konsultan independen yang pernah bekerja sebagai wakil presiden eksekutif IAG wilayah China hingga 2018.
“Jika Anda melihat jumlah orang Cina (ada sekitar 1,3 miliar) dan sebut saja persentase kecil – sekitar 10 persen – yang memiliki paspor: kita hanya melihat puncak gunung es jumlah permintaan outbond travel dari RRT. ” tambahnya.
Tams menggambarkan, secara budaya, selera masyarakat Cina untuk perjalanan ke luar negeri seperti “tidak pernah terpuaskan.” Hal ini didorong oleh aspirasi sosial dan kehadiran aplikasi “WeChat” yang memungkinkan mereka mengunggah perjalanan mengesankan kepada teman-teman.
Dia tidak melihat virus ini dapat mengubah budaya itu dalam jangka panjang. Meski tetap ada gangguan jangka pendek – setidaknya untuk sisa tahun inii – yang tak terhindarkan, dia tetap optimis permintaan akan bangkit kembali begitu Cina secara perlahan mulai membuka diri.
Menurut dia masih banyak permintaan terpendam di Cina, dan tentu saja akan banyak permintaan baru yang masuk ke pasar. “Saya pikir pembatasan akan dicabut secara bertahap, dan maskapai penerbangan pun akan bertindak sangat hati-hati mengembalikan kapasitas, karena mereka belum menganggap ada kebutuhan untuk itu. Jadi saya pikir kurva akan berubah namun secara bertahap, meski demikian permintaan dari Cina akan tetap signifikan. ” kata Tams.
Georg Arlt sepakat akan ada pelambatan jangka pendek, bukan hanya karena pembatasan, tetapi juga ekonomi. “Kecepatan mobilitas orang melakukan perjalana dan bergabung dalam grup-grup wisata dengan biaya beberapa ribu dolar – mungkin sedikit melambat dalam satu hingga dua tahun ke depan,” kata Arlt.
Tapi dia juga sepakat dengan Tams yang percaya bahwa turis Cina akan bersedia naik pesawat lebih dulu sebelum para pelancong dari negara lain mau melakukannya. “Orang Cina itu pemberani. Mereka tetap akan mengatakan, harus aman; tetapi menurut saya butuh waktu lebih lama bagi para pelancong asal Jerman atau Swiss untuk melakukan perjalanan ke tempat-tempat eksotis, ketimbang orang Cina. ”
Geopolitik
Satu hal yang mungkin akan memengaruhi keputusan turis China kemana akan pergi setelah pembatasan dicabut adalah geopolitik, kekuatan penentu yang kerap diabaikan dalam industri pariwisata.
Seperti kita ketahui, pembatasan perjalan sempat ditentang meski sudah ditemukan virus Corona di Wuhan. Kini, virus Corona sudah menjadi fenomena global yang mewabah ke seluruh dunia. Sejumlah negara (seperti Amerika Serikat) bahkan masih mencari pembenaran untuk menyalahkan Cina sebagai negara asal virus ini.
“Kita bisa lihat bagaimana sejumlah negara mencoba mencap Cina sebagai penjahat, menyalahkannya atas krisis yang terjadi saat ini; sementara itu ada juga negara-negara yang tetap menjalin hubungan baik, bekerja sama dan berbagi informasi dan intelijen,” kata Roy Graff, direktur pelaksana EMEA untuk Dragon Trail, agensi digital pertama untuk wisata outbond Cina.
“Saya pikir ini akan tercermin saat fase pemulihan berlangsung, kemana pertama orang-orang Cina akan bepergian. Orang-orang Cina sadar betul akan apa yang dikatakan media di Amerika atau Eropa tentang negaranya,” ujar Graff.
Mereka juga mengikuti pemberitaan sejumlah insiden berbau rasis terkait virus dan rasa ketakutan. Hal itu akan memengaruhi keputusan dan gambaran mereka tentang negara yang hendak dikunjungi. Beberapa sentimen anti-Cina ini tetap akan ada di negara-negara seperti Amerika Serikat saat para turis Cina datang ke sana.
Mungkin juga di beberapa tempat seperti AS terjadi rasisme dua arah sehingga orang Cina akan mengatakan, ‘Saya tidak ingin lagi berurusan dengan orang Amerika’ dan orang Amerika pun akan membalas dengan mengatakan, ‘kami tidak ingin membiarkan orang Cina datang lagi – mereka membawa ‘ virus Wuhan ke kami, ” merujuk pada penamaan virus yang kerap digunakan kaum Republikan di Amerika.
Penilaian itu juga bisa dipengaruhi oleh nasehat yang diberikan Pemerintah China bagi para pelancong, kata Graff. Dia memperkirakan akan ada skenario di mana negara memberi tahu para pelancong tentang tempat yang “aman” untuk pergi.
Perlu diketahui banyak negara di Asia dianggap lebih baik (sejauh ini) menangani krisis, ketimbang negara lain. Perlu juga dicatat bahwa kawasan Asia Pasifik juga amat bergantung pada kedatangan turis China.
“Orang China akan merasa lebih nyaman pergi ke tempat-tempat di mana pemantauan dan kontrol terhadap virus dianggap memiliki tingkat pencapaian yang sama dengan negaranya, seperti: memeriksa suhu badan, melaporkan gejala, melacak kontak aktif, dan jumlah testing yang tinggi,” kata Graff.
“Misalnya, jika Korea Selatan dinyatakan bebas virus, dan Pemerintah Cina memiliki kesepemahaman bahwa itu OK, maka orang Cina dapat mulai bepergian ke sana.”
Bagaimana Pelancong China Berubah ?
Jika pengamat industri optimis bahwa pasar China masih kuat, bukan berarti perusahaan Travel atau biro perjalanan tak perlu proaktif memastikan mereka akan kembali.
Pertama, misalnya, pengelola hotel dan tempat-tempat wisata perlu memikirkan untuk mengambil langkah-langkah dasar, seperti kebersihan, pemesanan yang fleksibel sifatnya, dan faktor “ketenangan pikiran”, demikian seperti disampaikan Anita Chan, CEO penyedia layanan perhotelan Compass Edge baru-baru ini dalam webinar tentang: Kembalinya pelancong Cina setelah Covid-19. Namun, perubahan akan terjadi lebih jauh untuk jangka menengah hingga panjang.
Krisis ini mungkin dapat mempercepat sejumlah tren yang selama ini sudah terlihat di wisata outbond China. Seperti adanya pergeseran dari semula tur dengan rombongan sangat besar menjadi lebih privat hanya satu keluarga, dan sesuai permintaan, ”kata Sienna Parulis-Cook, associate director of communications di Dragon Trail.
“Tren-nya dari tur grup besar dengan pemandu, menjadi tur model self-driving. Orang-orang berusaha keluar jalur untuk menuju ke tempat wisata yang tidak terlalu ramai. ” tambahnya.
Dia menambahkan tren ini, pada saat ini, didorong oleh pasar yang matang di China. Tetapi, adanya Covid-19 dimana orang mengkawatirkan kebersihan dan keamanan, cenderung memberi “dorongan ekstra” ke depan.
Georg Arlt dari Lembaga Wisata Outbond China melihat industri pariwisata memiliki peluang untuk memperoleh pemahaman yang lebih canggih tentang apa yang diinginkan pasar China, dan mulailah beralih dari “semacam kecanduan” pada jumlah kedatangan orang.
Pergeseran ini sudah terjadi, katanya; sejak 2018, para klien institut ini telah mencari cara untuk menarik lebih banyak pelanggan “FIT” (pelancong yang sepenuhnya independen) dari pasar China, daripada tur kelompok.
“Apa yang saya lihat adalah orang China kini menuntut permintaan lebih akan kualitas dan saya pikir setelah virus COVID-19, mungkin (beberapa orang Cina) setidaknya mulai berpikir bahwa kehidupan itu mudah berubah dan rapuh, dan oleh sebab itu Anda harus melakukan hal-hal yang bermakna dengan waktu Anda – tidak hanya menjadi konsumen gemerlap semata, “kata Arlt. Jadi, orang-orang seperti ini akan muncul dengan pengalaman atau permintaan yang lebih berkualitas.
Sementara itu Tams lebih yakin pada gagasan yang menyimpulkan bahwa tujuan (wisata) akan lebih bergantung pada China, mengingat China akan segera bangkit kembali sebagai yang terkuat dan tercepat. Meski Itu mungkin bukan hal yang baik.
“Ada sisi positif dan negatif dari tren wisata outbond China seperti itu. Kelemahannya adalah sejumlah tujuan wisata di seluruh dunia sudah mencapai puncaknya, ”kata Tams. “Dan jika sekarang kita pikir itu sudah cukup sibuk, maka kita tidak tahu akan menjadi seperti apa di masa depan.
Dalam dekade terakhir, sebuah narasi dominan muncul tentang kemiringan perjalanan yang tak terhindarkan: Ini, sebagian besar, berkat pertumbuhan pasar perjalanan keluar Tiongkok.
Seperti yang dikatakan Wolfgang Georg Arlt, CEO Lembaga Penelitian Pariwisata Keluar Tiongkok, “Anda dulu memiliki mesin es batu di setiap lantai di hotel yang bagus untuk orang Amerika. Sekarang Anda punya (ketel) air panas. ”
Memang narasi itu, sebagian besar, memang benar. Pasar outbound Tiongkok menjadi yang terbesar di dunia pada 2013, menurut penelitian Skift. Dalam analisis pra-COVID-19, penelitian Skift memperkirakan bahwa Cina akan mengirim 286 juta perjalanan ke luar negeri pada tahun 2029. Semakin banyak orang Cina yang makmur dan bercita-cita tinggi akan terus mendorong tren kenaikan perjalanan tampaknya bukan hanya taruhan yang aman, tetapi sudah jelas.
Tetapi ketika industri perjalanan menatap dekade baru yang tak terbayangkan ke depan, ia menghadapi kenyataan di mana tidak ada yang pasti dan semua taruhan dibatalkan. Meskipun beberapa ramalan cuaca yang lebih cerah tentang seberapa cepat dan pasti perjalanan akan kembali, masa depan dan bentuk pemulihan sangat tidak pasti.
Pertanyaannya adalah bagaimana pasar outbound Cina akan cocok dengan kenyataan baru itu dalam waktu satu, lima, dan 10 tahun. Apakah akan sama pentingnya dalam dekade berikutnya seperti pada dekade terakhir? Dan bagaimana krisis akan membentuk preferensi pasar Cina bergerak maju?
Semua sumber yang diwawancarai untuk artikel ini adalah bullish pada peran Cina yang berkelanjutan dalam pertumbuhan industri pariwisata global jangka panjang. Alasan untuk itu adalah kasus angka sederhana.
“Pertumbuhan dalam perjalanan keluar negri ( outbond) dari Tiongkok benar-benar baru saja dimulai,” kata Richard Tams, seorang konsultan independen yang bekerja sebagai wakil presiden eksekutif operasi Cina IAG hingga 2018. “Jika Anda melihat jumlah orang Tiongkok (ada sekitar 1,3 miliar) dan Anda melihat persentase kecil – sekitar 10 persen – yang memiliki paspor: Kami hanya melihat ujung gunung es yang sebenarnya dalam hal permintaan pariwisata keluar dari Tiongkok. ” sambungnya.
Tams menggambarkan selera budaya untuk perjalanan internasional di Tiongkok sebagai “tak terpuaskan,” didorong oleh aspirasi sosial dan “kemampuan WeChat” untuk melakukan perjalanan mengesankan yang dapat Anda siarkan ke teman-teman.
Dia tidak melihat virus mengubah itu dalam jangka panjang. Meskipun gangguan jangka pendek – secara realistis, untuk sisa tahun ini – tidak dapat dihindari, ia mengharapkan permintaan untuk bangkit kembali di RRT pertama setelah negara mulai perlahan membuka.
“Saya pikir ada sejumlah besar permintaan yang terpendam, dan tentu saja banyak permintaan baru yang masuk ke pasar juga,” kata Tams. “Saya pikir pembatasan akan dicabut secara bertahap, dan saya pikir maskapai akan sangat berhati-hati untuk mengembalikan kapasitas karena mereka tidak menganggap itu diperlukan. Jadi saya pikir kurva akan bertahap, tetapi saya pikir permintaan dari Cina akan signifikan. ”
Arlt setuju akan ada pelambatan jangka pendek, tidak hanya karena pembatasan, tetapi juga ekonomi. “Kecepatan lebih banyak orang yang bergerak ke atas dan bergabung dengan kelompok orang yang dapat dengan mudah menghabiskan beberapa ribu dolar untuk perjalanan – ini mungkin sedikit melambat dalam satu hingga dua tahun ke depan,” kata Arlt.
Tapi dia melanjutkan dengan menggemakan keyakinan Tams bahwa orang Cina akan bersedia naik pesawat sebelum para pelancong di pasar luar negeri mau. “Orang China adalah tipe orang yang berani. Mereka akan mengatakan itu harus aman, tetapi saya pikir itu akan memakan waktu lebih lama untuk membuat orang Jerman atau Swiss melakukan perjalanan ke tempat-tempat eksotis daripada orang China. ”
Geopolitik
Satu hal yang mungkin memengaruhi ke mana wisatawan Cina kembali ketika pembatasan dicabut adalah kekuatan pariwisata yang sering diabaikan: geopolitik. Sementara coronavirus menentang pembatasan perjalanan awal untuk menjadi fenomena global yang menyeluruh, itu tidak berarti negara-negara (yaitu, AS) belum mencoba menyalahkan virus tersebut atas asalnya.
“Kita dapat melihat bahwa ada negara-negara yang mencoba melukis Cina sebagai semacam penjahat, menyalahkannya atas krisis, dan ada negara-negara yang tetap dalam hubungan baik, bekerja sama berbagi informasi dan intelijen,” kata Roy Graff, direktur pelaksana EMEA untuk Dragon Trail, agensi digital terdedikasi pertama untuk pariwisata keluar Tiongkok. “Saya pikir ini akan tercermin dalam fase pemulihan di mana orang Cina akan mengunjungi pertama.”
“Orang Cina sadar akan apa yang media katakan di Amerika atau Eropa,” tambah Graff. “Mereka mengetahui adanya insiden rasis yang terkait dengan virus dan ketakutan. Itu akan memengaruhi keputusan dan pemikiran mereka tentang suatu tujuan. ” Dalam arti tertentu, sebagian dari sentimen anti-China itu mungkin kembali ke negara-negara seperti A.S ketika datang ke kedatangan pariwisata.
“Mungkin itu terjadi di beberapa tempat seperti AS akan ada rasisme di kedua arah,” kata Arlt. “Sehingga orang Cina akan mengatakan ‘Saya tidak ingin lagi berurusan dengan orang Amerika’ dan orang Amerika akan mengatakan ‘kami tidak ingin membiarkan orang Tionghoa lagi – mereka membawa kami’ virus Wuhan, ‘” merujuk untuk moniker yang digunakan beberapa republiken AS untuk merujuk virus.
Perhitungan ini juga dapat dipengaruhi oleh apa yang disarankan oleh negara China pada para pelancong, kata Graff. Dia memperkirakan skenario di mana negara dapat memberi tahu para pelancong tentang tempat yang “aman” untuk pergi, mencatat bahwa banyak negara Asia dianggap telah menangani krisis (sejauh ini) lebih baik daripada yang lain. Perlu dicatat bahwa wilayah Asia Pasifik juga yang paling bergantung pada kedatangan orang Cina.
“Orang Cina akan merasa lebih nyaman pergi ke tempat-tempat di mana mereka melihat ada tingkat pemantauan dan kontrol yang sama terhadap virus sehingga hal-hal seperti memeriksa suhu, melaporkan gejala, melacak kontak aktif, dan rezim pengujian yang kuat,” kata Graff.
“Misalnya jika Korea Selatan dinyatakan bebas virus, dan pemerintah Cina memiliki perjanjian bahwa tidak apa-apa, maka orang Cina dapat mulai bepergian ke sana asalkan mereka tidak pergi ke tujuan ketiga sesudahnya.” tambahnya.
Bagaimana Cara Perubahan Traveler Cina ?
Jika pengamat industri optimis tentang daya tahan pasar Cina, itu tidak berarti perusahaan perjalanan dan tujuan tidak perlu proaktif dalam memastikan mereka kembali.
Dalam contoh pertama, hotel dan tempat perlu memikirkan langkah-langkah dasar seperti kebersihan, pemesanan fleksibel, dan faktor “ketenangan pikiran”, sebagai CEO penyedia layanan perhotelan Compass Edge Anita Chan baru-baru ini diuraikan dalam webinar tentang kembalinya Cina bepergian setelah COVID-19. Namun, perubahan yang diperlukan akan lebih dalam dari itu dalam jangka menengah hingga panjang.
Krisis ini dapat “mempercepat banyak tren yang sudah kita lihat dalam pariwisata outbound Tiongkok. Seperti tren dari tur kelompok yang sangat besar ke perjalanan keluarga yang lebih pribadi, tur khusus, ”kata Sienna Parulis-Cook, associate director of communications di agensi yang disebutkan di atas, Dragon Trail. “Tren dari tur pelatih besar ke tur mengemudi sendiri. Orang-orang berusaha keluar jalur menuju tujuan yang lebih kecil. ”
Dia menambahkan bahwa tren ini sampai sekarang telah didorong oleh pematangan pasar Cina yang tak terhindarkan, tetapi kekhawatiran pasca-virus tentang kebersihan dan keamanan cenderung memberi mereka “dorongan ekstra” ke depan.
China Outbound Tourism’s Arlt melihat peluang bagi industri pariwisata untuk mendapatkan pemahaman yang lebih canggih tentang apa yang diinginkan oleh segmen pasar RRT, dan beralih dari “semacam kecanduan” ke volume kedatangan semata. Pergeseran ini sudah terjadi, katanya; sejak 2018, klien institut telah mencari cara untuk menarik lebih banyak pelanggan “FIT” (pelancong yang sepenuhnya independen) dari pasar RRT, daripada tur kelompok.
“Apa yang saya lihat adalah bahwa orang Cina, di masa lalu, meningkatkan permintaan mereka akan kualitas dan saya pikir sekarang setelah virus, mungkin (beberapa orang Cina) telah berpikir sedikit tentang bagaimana kehidupan yang bervariasi dan rapuh, dan bahwa Anda harus melakukan yang bermakna hal-hal dengan waktu Anda – tidak hanya bling bling konsumerisme, “kata Arlt. “Sehingga orang-orang ini akan datang dengan pengalaman atau permintaan yang lebih berkualitas.”
Tams lebih diyakinkan oleh gagasan tujuan menjadi lebih tergantung pada Cina, mengingat perasaannya bahwa RRT akan bangkit kembali “yang terkuat dan tercepat.” Itu mungkin bukan hal yang baik.
“Ada sisi positif dan negatif dari pariwisata keluar Tiongkok seperti itu. Kelemahannya adalah sejumlah tujuan di seluruh dunia mencapai puncak pariwisata, ”kata Tams. “Dan jika kita pikir itu sibuk sekarang, kita tidak tahu akan jadi apa di masa depan.”