Hotel dan objek wisata Pantai Tanjung Lesung, Banten, porak poranda Minggu (23/12/2018). Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan setidaknya 426 korban meninggal akibat bencana tersebut. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/nz.PANDEGLANG, bisniswisata.co.id: Gelombang Tsunami Selat Sunda yang meluluhlantakkan pesisir Banten dan Lampung, Sabtu (22/12) malam yang mengakibatkan sekitar 426 orang meregang nyawa, yang mayoritas sektar 90 persen wisatawan nusantara, berimbas pada sektor pariwisata, termasuk membunuh bisnis puluhan hotel, vila, penginapan serta objek wisata.
Sepekan setelah musibah terjadi, kawasan wisata pantai Anyer, Pantai Tanjung Lesung, Pantai Sumur, Pantai Ciputih, Pantai Cinangka, Pantai Teluk Lada, Pantai Panimbang, dan Pantai Carita nyaris tak ada lagi wisatawan yang bermain pasir, becengkerama dengan air laut, menghirup udara bebas di bibir pantai bahkan menikmati senja yang menghilang di ufuk secara perlahan. Pariwisata Banten benar-benar lumpuh total selama masa tanggap darurat.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat setidaknya ada 78 penginapan dan 60 restoran di Banten rusak diterjang tsunami. Beberapa di antaranya nyaris rata dengan tanah, beberapa yang lain mengalami rusak minor seperti tergenang air, kondisinya berantakan dan belum tersentuh perbaikan karena masih khawatir adanya tsunami susulan, yang selalu menghantuinya.
Kondisi yang belum pulih itu, merupakan duka bagi bisnis hotel dan penginaan di sepanjang pantai barat Banten. Liburan hari raya Natal dan pergantian tahun adalah momen mendulang untung, gagal diraihnya. Pengelola hotel dan penginapan pasrah dengan kondisi itu, sampai menunggu kepastian sampai kondisi normal.
Selebihnya, 50 penginapan dan hotel di Carita memang terhindar dari kerusakan, namun tidak ada wisatawan yang menginap. Jayakarta Villa Anyer misalnya. Penginapan premium di pantai Anyer ini melompong ditinggal pelanggannya. Pernak-pernik natal di meja depan jadi ornamen yang menambah muram suasana. Semua konsumen batal memesan kamar. “Semua takut, enggak ada yang berani datang sekarang ini,” kata Saleha, karyawan penginapan seperti dikutip CNNIndonesia, Sabtu (29/12/2018).
Hal yang sama dialami oleh Marina Anyer. Penginapan ini sudah ditinggal oleh pengunjungnya sejak sehari setelah musibah melanda. Jarak penginapan ke garis pantai yang sangat dekat dianggap jadi momok bagi para wisatawan yang berkunjung. “Padahal kita sudah full booked sampai tahun baru, tapi akhirnya pada batal semua,” ungkap Mae yang bertugas di Marina Anyer.
Hotel dan penginapan yang terdampak tsunami pun sampai berani memangkas biaya inap demi mendapat konsumen. Jayakarta misalnya, memberi potongan hingga 50 persen. Potongan sebesar itu tak menjadi masalah bagi mereka, asal ada yang mengisi kamar.
Beberapa penginapan lain memberi potongan harga lebih moderat dengan memberlakukan harga normal alih-alih harga khusus musim liburan. Namun langkah ini tak serta-merta membuat pengunjung kembali menginap di tempat mereka.
Sepinya pengunjung di sepanjang pantai barat Banten praktis berpengaruh pada redupnya kegiatan warga di sekitar lokasi penginapan. Cuaca buruk dan Gunung Anak Krakatau yang masih erupsi cukup menjadi alasan warga masih menjauhi pantai. “Saya sendiri sebenarnya juga masih takut potensi tsunami susulan, tapi mau gimana lagi namanya juga tanggung jawab,” cetus Mae pasrah.
Pariwisata merupakan salah satu pos pemasukan terbesar bagi Banten. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada 303 ribu turis mancanegara dan 2,9 juta turis domestik pada 2016. Pariwisata Banten ditopang oleh pantai-pantai yang sudah masyhur di Tanah Air seperti Pantai Anyer, Carita, Sawarna, hingga Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Lesung.
Semua pantai tersebut berada di pesisir barat Banten. Namun terjangan tsunami sepekan lalu dipastikan bakal memukul industri pariwisata Banten cukup lama.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani mengatakan wilayah yang terdampak tsunami secara langsung mengalami penurunan kunjungan lantaran terjadi kerusakan tempat penginapan. Ia mencatat, di wilayah Tanjung Lesung ada sekitar 20 hotel berukuran besar dan kecil yang rusak.
Hariyadi seperti dilansir tirto.id, Sabtu (29/12), memperkirakan dibutuhkan waktu minimal enam bulan untuk pemulihan. Konsekuensinya, aktivitas wisata di Tanjung Lesung akan vakum selama masa itu. Di luar Tanjung Lesung, Hariyadi mengaku belum menerima laporan terkait pembatalan pemesanan hotel.
Menjelang Tahun Baru 2019, di wilayah sekitar pesisir Banten, belum ada penarikan pemesanan yang signifikan. Ia menilai itu lantaran sebagian besar masyarakat baru akan mengunjungi penginapan sekitar 2-3 hari sebelum tahun baru. “Kalau untuk Tanjung Lesung memang drop-nya gara-gara musibah. Soalnya hotel juga rusak. Tapi Anyer dan wilayah lain masih berjalan (perhotelannya),” ucap Hariyadi.
Belajar dari kejadian ini, Hariyadi mendesak pemerintah menyediakan sensor peringatan dini tsunami di kawasan wisata pantai. Selain itu, kata dia, metode evakuasi hingga fasilitasnya juga perlu disediakan pemerintah, demi menjaga kepercayaan wisatawan untuk tetap mau berkunjung. Ia mencontohkan Jepang sebagai negara yang juga memiliki potensi tsunami cukup tinggi.
“Kalau pemerintah bisa bikin itu [sistem peringatan dini dan pencegahan], maka pengunjung akan memiliki rasa aman karena itu berpengaruh pada rasa percaya wisatawan,” sambungnya (EP)