NEWS

Pandemi COVID-19 Akselerasi Praktek Pariwisata Regeneratif di Asia

Perjalanan wisata diperkirakan menjadi lebih ramah lingkungan (foto: Yanna Ventures)

BANGKOK, bisniswisata.co.id: Model pariwisata yang menyeimbangkan alam dan manusia dapat kita temukan di hotel Six Senses Ninh Van Bay di Vietnam. Di sana, sebagian biaya menginap disisihkan untuk mendukung keberlangsungan hidup monyet lutung ekor hitam yang nyaris punah.

Kebetulan habitat mereka dekat dengan lokasi hotel. Sayangnya, sejak pandemi COVID-19 turis seolah telah menjadi spesies langka.

Selama ini indusri perjalanan dan pariwisata menyumbang cukup signifikan pada pertumbuhan ekonomi global.Pada 2019, ia menyumbang 10,3% terhadap produk domestik bruto global dan mempekerjakan 330 juta orang, demikian menurut laporan terkini Economic Impact & Global Trends yang dirilis World Travel and Tourism Council (WTTC). 

Pandemi COVID-19 telah merontokkan sektor ini. Saking minimnya, jumlah turis barangkali sekarang sudah kalah jauh dengan jumlah staf yang bekerja di berbagai organisasi maupun perusahaan pariwisata.

Sejauh ini para pelaku di industri perjalanan dan pariwisata terus menerka-nerka kapan para turis akan kembali bepergian dan bagaimana kelak mereka berperilaku. Banyak hal amat bergantung pada pengembangan vaksin yang efektif dan tersedia luas. 

Tapi yang jelas, menurut para pakar, akan ada perubahan besar cara orang bepergian. “Itulah yang menuntut perubahan paradigma,” kata Masaru Takayama, ketua pendiri Asian Ecotourism Network, seperti dilansir Nikkei Asia.

Organisasi yang berfokus di Asia ini memprediksi tranformasi terbesar akan terjadi di sini. Selama ini Asia terkenal sebagai tujuan wisata yang marak dikunjungi grup tur, para pemburu barang murah yang rakus, dan penyalahgunaan label ekowisata.

“Kini, orang-orang terpelajar di manapun berada mulai merenungkan kembali cara yang lebih baik untuk bepergian,” kata Randy Durband, CEO Dewan Pariwisata Berkelanjutan Global yang berbasis di Seoul, Korea Selatan.

“Gelombang baru pelancong China akan menjadi kekuatan [pendorong] utama karena mereka tumbuh lebih canggih. Mereka menginginkan keaslian,” imbuhnya.

Tapi yang lebih penting menurut Durband adanya keinginan politik untuk menerapkan kebijakan yang lebih ramah lingkungan di hampir semua pemerintah di Asia.

“Pandemi menunjukkan kepada mereka betapa pentingnya [sektor] pariwisata bagi ekonomi. Jeda selama COVID-19 sekaligus memberi peluang untuk membangun kapasitas dan pelatihan demi menegakkan niat baik.

Mereka menyaksikan sendiri betapa rapuhnya aset saat pandemi menyeruak. Tatapi pada saat yang bersamaan mereka juga melakukan banyak hal termasuk bergandeng tangan dengan pelaku wisata berbasis komunitas. Di Kamboja saja ada 350. “kata Randy Durband.

Takayami percaya aturan karantina yang diberlakukan selama pendemi COVID-19 mempercepat seruan untuk menutup dan membersihkan Boracay, sebuah pulau wisata di Filipina yang ditutup untuk rehabilitasi pada April 2018 lalu. Rencananya, akan dibuka kembali bulan ini.

Keputusan Filipina kemudian diikuti Maya Bay, sebuah obyek wisata di Pulau Phi Phi Leh, Thailand, yang tutup untuk dibersihkan pada 2018 dan belum ada rencana kapan akan dibuka kembali. 

Selain kedua pulau tersebut, ada banyak destinasi wisata lain di Asia yang yang juga tutup sementara untuk dibersihkan dan dibenahi karena mengalami kerusakan lingkungan parah.

Beberapa desa di antaranya, seperti disebut dalam daftar 100 Teratas Destinasi Berkelanjutan Global 2019 adalah Pemuteran, desa nelayan di Bali yang berhasil menghidupkan kembali terumbu karang yang sekarat.

Desa Nglanggeran di Yogyakarta dengan ekowisatanya di kawasan vulkanik kuno; Tmatboey, komunitas yang melawan perusakan lingkungan dan menjadikan lokasi itu tempat pengamatan burung terkemuka di Kamboja.

Juga ada Kawasan Wisata Alam Nasonal Pesisir Yilan di Taiwan yang dikelola secara ekologis dan berhasil mengurangi jejak karbon. Kesuksesan ini dapat menjadi pembimbing jalan menuju pergeseran model pariwisata di Asia pasca pandemi. 

Contoh lainnya adalah apa yang dilakukan pengelola camping ground Yaana Ventures’ Cardamom di Kamboja. Mereka menyisihkan sebagian pendapatan untuk menyokong kegiatan 12 penjaga hutan memerangi pemburu dan pembalak liar. 

Atau Anurak Community Lodge yang menawarkan aktivitas berdampak rendah terhadap kerusakan lingkungan, seperti kayak di lingkungan Taman Nasional Khao Sok di Thailand Selatan.  

Di tengah ketidakpastian, pendiri Yaana, Willem Niemeijer mengatakan dia memiliki 15 lagi pondok terpencil yang siap digunakan dan yakin masih ada “ruang komersial untuk ratusan lain di kawasan Asia Tenggara.”

Tentu saja, Niemeijer mengakui, “orang-orang memiliki ingatan jangka pendek. Mungkin saja mereka akan kembali ke kebiasaan lama dalam beberapa tahun ke depan.

Tetapi itu sama saja gila jika hendak mengulangi kesalahan yang sama: hotel yang lebih besar, bandara yang lebih luas, dan turis yang berdesak-desakan di hub.

Kemewahan atas nama kemewahan adalah sesuatu yang membosankan. Saatnya melihat kemewahan sebagai sesuatu yang semakin remote.

Untuk itu para ahli telah beralih ke kata kunci baru dengan seruan perjalanan yang regeneratif. Sebelumnya mereka mensyaratkan agar destinasi wisata mengusung konsep berkelanjutan.

Ternyata itu tidak cukup. Setelah melewati masa sulit selama pandemi, istilah dan seruan baru ini terdengar menyembuhkan dan optimis. 

“‘Berkelanjutan/sustainable‘ sekarang tampak seperti mempertahankan status quo, sesuatu yang disyaratkan untuk listing di bursa saham, mengelola aset dengan baik seperti yang dilakukan perusahaan mana pun, baik yang terkait pengelolaan alam atau tidak,” kata Jeff Smith, wakil presiden untuk urusan sustainability di  perusahan jaringan resor Six Senses. 

“Sedangkan ‘Regeneratif’ berarti mengembalikan lebih besar dari yang Anda ambil. Menyumbang kepada lingkungan atau komunitas dan mengubah hidup.” tambah Jeff Smith.

Impian itu tentu tak dapat diwujudkan dalam semalam terutama seperti kata Durband,”banyak usaha yang kini tengah berjuang untuk sekadar bertahan hidup, fokus pada penerapan protokol kesehatan dan disinfektan, serta perampingan karyawan.”

“Tetapi hampir semua ahli dan juru bicara pelaku usaha maupun organisasi terkait setuju dengan paradigma baru dunia pariwisata, sebuah perjalanan baru yang berani.”

Smith mengatakan dia tetap yakin bahwa krisis COVID-19 dapat menjadi ‘titik balik’ bagi umat manusia. 

“Setelah dipaksa duduk diam [selama beberapa bulan] dan memikirkan kembali apa yang kami inginkan dalam hidup, akhirnya kita akan dapat keluar dengan lebih banyak tujuan yang baik.” imbuhnya.

 

Rin Hindryati