BANTUL, bisniswisata.co.id: Dakon, permainan tradisional yang terancam punah di era teknologi. Di Indonesia, permainan ini punya sederet nama berbeda-beda, namun alat peraganya sama. Di Jawa, permainan ini lebih dikenal dengan nama congklak. Di beberapa daerah di Sumatra yang berkebudayaan Melayu, permainan ini dikenal dengan nama congkak.
Di Lampung, permainan ini lebih dikenal dengan nama dentuman lamban, sedangkan di Sulawesi permainan ini lebih dikenal dengan beberapa nama: Mokaotan, Maggaleceng, Aggalacang dan Nogarata. Dan dalam bahasa Inggris permainan ini disebut Mancala.
Para pemain baik lelaki maupun perempun menggunakan papan congklak dan 98 (14 x 7) buah biji yang dinamakan biji congklak atau buah congklak. Umumnya papan congklak terbuat dari kayu dan plastik, sedangkan bijinya terbuat dari cangkang kerang, biji-bijian, batu-batuan, kelereng atau plastik.
Pada papan congklak terdapat 16 buah lubang yang terdiri atas 14 lubang kecil yang saling berhadapan dan 2 lubang besar di kedua sisinya. Setiap 7 lubang kecil di sisi pemain dan lubang besar di sisi kananya dianggap sebagai milik sang pemain.
Nah, tak ingin Dakon hanya menjadi papan kenangan, Museum History of Java (HOJ) Yogyakarta menggandeng Pemerintah Kabupaten Bantul, menggelar festival dakon terbesar dengan peserta terbanyak di Indonesia. Pelaksaanan festival ini, terbagi menjadi dua tahap yakni 16-17 November dan pada 23-24 November 2019 yang berlangsung di area museum HOJ di Jalan Parangtritis km 5,5 Sewon Bantul DI Yogyakarta.
Diprediksi Festival Dakon bakal diikuti tak kurang dari 3.000 peserta. Baik kelompok anak, umum, dan keluarga. “Festival dakon ini akan menjadi momentum, untuk mengingatkan dan melestarikan lagi dolanan tradisional yang sarat nilai itu. Festival dakon ini relevan dengan kebijakan daerah yang sedang gencar menggiatkan berbagai tradisi lokal di kalangan generasi muda,” papar Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Bantul Isdarmoko.
Diakui, tak gampang mengenalkan permainan dakon, yang menjadi bagian tradisi turun menurun itu pada generasi muda. Sebagian generasi itu kurang mendapatkan ruang untuk belajar mengenali lebih dalam tradisi lokal leluhurnya seperti dakon yang dianggap sarat nilai itu.
Dari dakon ini, pemain bisa belajar banyak hal. Misalnya belajar sabar saat rekan mainnya menghitung biji dakon, guna mengatur langkah permainan. Dakon juga mengajarkan pemain berkonsentrasi serta bersikap jujur alias tidak curang saat menghitung biji dakon, yang menjadi penentu kemenangan.
Seperti dilansir laman Tempo, Rabu (28/08/2019), Festival dakon ini bisa menjadi pintu masuk untuk mengingatkan pada generasi muda, bahwa mereka juga memiliki dolanan atau permainan lokal yang sarat nilai. Pergelaran festival dakon yang mengambil lokasi di museum History of Java Bantul ini, sekaligus memperkenalkan kepada publik potensi destinasi edukasi sejarah, yang dimiliki museum yang beroperasi sejak akhir 2018 itu.
“Bagaimanapun, museum ini menjadi museum pertama di Yogya yang dapat mendigitalisasi sejarah. Suatu terobosan yang luar biasa untuk mendukung pembelajaran outdoor learning yang menarik,” ujar Isdarmoko.
Museum History of Java dikenal sebagai museum modern yang didukung kecanggihan teknologi, untuk merepresentasikan cerita sejarah Jawa 2,5 juta tahun silam. Museum ini memiliki ratusan koleksi benda purbakala asli yang berasal dari masa seperti kerajaan Majapahit dan Mataran Kuno.
Jika menyambangi museum ini, pengunjung juga bisa menyambangi bioskop mini, yang memutar film sejarah tentang proses masuknya manusia purba pertama ke bumi Nusantara ini. Film ini dilengkapi dengan teknologi augmented reality tiga dimensi sehingga tampak hidup.
Manajer Pengembangan dan Penelitian dari Holding D’Topeng Kingdom Grup, selaku pengelola Museum HOJ, Yulianto menuturkan festival dakon yang memperebutkan Piala Bupati Bantul itu digelar segala usia, baik perorangan, grup maupun keluarga. “Untuk ikut dalam festival ini pengunjung cukup membeli tiket museum dan mendapatkan formulir pendaftaran festival yang berhadiah jutaan rupiah itu,” ujarnya.
Koordinator Operasional Museum HOJ Agung D.J, menambahkan featival dakon ini menjadi upaya untuk ikut melestarikan agar permainan tradisional itu bisa langgeng dan tak serta merta lenyap tergerus zaman serba digital ini. (NDY)