ART & CULTURE

Menyusuri Lorong Waktu, Menikmati Paduan Gaya Eropa, China & Jawa di The Phonix Hotel Yogyakarta M Gallery Collection

Ruang kerja GM The Phonix Hotel Yogyakarta yang merupakan ruang kerja Presiden RI pertama, Ir.Soekarno. ( Foto: Dok. Hotel)

Direktorat Pengembangan Destinasi Pariwisata Regional I Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/ Badan Parekraf mengundang bisniswisata. co.id untuk menghadiri Rapat Kordinasi Desa Wisata Super Prioritas Borobudur di Hotel The Phoenix Hotel Yogyakarta – MGallery Collection. Berikut tulisan ke delapan

YOGYAKARTA, bisniswisata.co.id: Jelang Senin sore lalu,  rombongan Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ( Kemenparekraf) dari Jakarta tiba di The Phonix Hotel Yogyakarta di kawasan jl.Jendral Sudirman.

Agnes Andrike, Assistant Director of Sales hotel  menyambut dengan menyiapkan welcome drink dan kue bakpia khas Yogyakarta yang bertekstur lembut dan langsung disantap oleh anggota rombongan.

” Kue Bakpia home made dan bisa dipesan sehari sebelumnya jika mau untuk oleh-oleh,” kata Agnes Andrike sambil menjelaskan pada kepala rombongan mengenai kesiapan ballroom yang akan digunakan untuk Rapat Kordinasi Desa Wisata Super Prioritas Borobudur keesokan harinya.

Saat menyodorkan kartu namanya tertulis MGallery Hotel Collection yang membuat saya penasaran maksud dari tulisan itu. Agnes menjelaskan pada 2018 lalu bangunan utama hotel telah berusia 100 tahun dan banyak menyimpan memorabilia Presiden Pertama RI yaitu Ir Soekarno yang pernah berkantor di gedung utama hotel.

” MGallery Hotel Collection itulah yang  kami tonjolkan sebagai salah satu daya tarik utama diantara puluhan hotel lainnya di Yogya,” kata Agnes sambil menambahkan usia hotel dari jaringan Accor itu sendiri belum berusia seabad.

Menyadari banyaknya koleksi benda-benda di hotel dan kontribusi bangunan dari The Phoenix Hotel Yogyakarta terutama pada saat perpindahan ibukota Republik Indonesia pada tahun 1946-1949 maka keindahan interior, koleksi barang seni dan fungsi hotel itulah yang kini difokuskan Agnes & tim untuk membangkitan kegiatan MICE di hotelnya. 

Pada masa itu, presiden RI ke-1 sempat tinggal dan berkantor di gedung kuno ini. Ruangan yang pernah dipakai sebagai kantor Presiden Soekarno berada di lantai 2, dan untuk menuju ke sana harus melewati tangga putar besi yang antik. 

Ruangan kantor ini memiliki sebuah balkon yang konon bisa digunakan Soekarno jika dalam kondisi darurat hendak meminta bantuan dari kraton Yogyakarta. Kini General Manager hotel itu berkantor di ruangan tempat Presiden Soekarno bekerja dulu.

Bangunan utama berusia satu abad padukan modernisasi dan tradisional. ( Foto-foto Arum Suci Sekarwangi)

Saat pandemi ini, keunggulan lain dari The Phonix Hotel adalah karena setiap kamar sirkulasi udaranya dari Air conditioner ( AC) yang masing-masing terpisah bukan sistem sentral.

“Kamar-kamar dari bangunan baru membentuk huruf U dan semua menghadap kolam renang. Jika tidak menggunakan AC bisa buka lebar-lebar jendela dan menikmati keindahan kolam renang,” kata Agnes.

Hotel ini hanya berjarak beberapa langkah saja dari ikon kota Yogya, yaitu monumen Tugu peninggalan jaman kolonial Belanda setelah tugu sebelumnya runtuh akibat gempa yang terjadi waktu itu. 

Tugu yang terletak di perempatan Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Margo Utomo ini, mempunyai nilai simbolis dan merupakan garis yang bersifat magis menghubungkan laut Selatan, Kraton Jogja dan gunung Merapi.

Banyaknya benda kenangan bisa menjadi sarana edukasi bagi rombongan keluarga maupun komunitas untuk kembali ke masa satu abad yang lalu dengan keramahan Agnes dan staff  lainnya dari hotel ini yang diyakini semakin membuat tamu betah menginap.

Sejarah singkat

Nah bersiaplah menyusuri lorong ‘waktu’ terutama pada bangunan asli hotel ini yang ada di bagian depan, yaitu mulai dari halaman, lobby hingga koridor dekat Cendrawasih Meeting Room.

Tersebutlah kisah pada tahun 1918 bangunan ini adalah rumah tinggal seorang saudagar dari Semarang bernama Kwik Djoen Eng. Terkena dampak resesi ekonomi di tahun 1930, dia kemudian menjual rumahnya pada Liem Djoen Hwat, yang kemudian meyewakannya pada seorang pengusaha Belanda, D. N. E Franckle. Oleh penyewanya rumah ini dijadikan hotel dengan nama Splendid Hotel.

Sekitar 12 tahun kemudian, saat pendudukan Jepang di Indonesia hotel ini dikuasai oleh Jepang dan berganti nama menjadi Yamato Hotel. Di tahun 1945 saat Jepang meninggalkan Indonesia, hotel ini dikembalikan kepada pemiliknya, Liem Djoen Hwat.

Setelah Indonesia merdeka, karena situasi genting di Jakarta maka pada tahun 1946-1949 ibukota negara dipindah ke Yogyakarta. Pada masa ini bangunan hotel difungsikan sebagai kediaman resmi Konsulat China.

Di tahun 1951 bangunan ini disewa oleh Direktorat Perhotelan Negara dan Pariwisata dan dijadikan hotel bernama Hotel Merdeka. Cukup lama Hotel Merdeka ini beroperasi hingga pada tahun 1988 hingga akhirnya  Sulaeman, cucu Liem Djoen Hwat, mengambil alih dan memutuskan untuk mengelola sendiri hotel ini. 

Ditangan ahli waris, proses renovasi bangunan ini mulai dilakukan dan selesai di tahun 1993. Kapasitas hotel menjadi 66 kamar karena ada penambahan bangunan baru. Pada 18 Maret 1993 hotel ini resmi beroperasi di bawah manajemen keluarga Sulaeman dengan nama Phoenix Heritage Hotel. 

Berkat konsistensinya mempertahankan arsitektur bangunan kuno, pada 1996 bangunan asli hotel ini dideklarasikan sebagai bangunan cagar budaya. Hotel ini juga menjadi contoh terbaik The 19th Century Indische Architecture, berkat perpaduan gaya Eropa yang artistik dengan elemen Cina dan Jawa.

Ketiga unsur tersebut berpadu menggabungkan modernitas dan nilai-nilai tradisional. Nuansanya seperti sedang berada di rumah sendiri karena sejak awal memang merupakan kediaman pribadi pemiliknya. 

Pada tahun 2003 Phoenix Heritage Hotel berpindah kepemilikan ke tangan Imelda Sundoro Hosea, seorang pengusaha asal kota Solo. Ia berkomitmen untuk terus menjaganya sebagai bangunan warisan budaya. 

Menggandeng jaringan hotel internasional, AccorHotel, Imelda mewujudkan visinya menjadikan hotel ini sebagai hotel bintang lima. Kemudian renovasi besar-besaran pun dilakukan untuk menyesuaikan standar internasional dari pihak AccorHotel. 

Sempat selama satu tahun berhenti beroperasi karena renovasi maka pada 2004 hotel ini dibuka kembali dan menggunakan nama Grand Mercure Yogyakarta dengan kapasitas 144 kamar dan merupakan hotel butik bintang 5.

Rebranding dilakukan pada tahun 2009 dengan mengganti nama hotel kembali ke nama pemberian keluarga Liem Djoen Hwat. Kata ‘Phoenix’ yang memiliki arti ‘keabadian’, kembali digunakan. Grand Mercure Yogyakarta berganti nama menjadi The Phoenix Hotel Yogyakarta, a Member of MGallery Collection. 

Di tahun 2016 pihak manajemen AccorHotel mengubah nama MGallery Collection menjadi MGallery by Sofitel hingga sekarang. Fasilitas yang ada a.l ruang spa, fitness, kolam renang dilengkapi dengan kursi-kursi untuk berjemur. Di selasar  dan teras-teras hotel ini banyak sekali spot antik berisi barang-barang kuno. 

Mata seolah dimanjakan dengan keindahan mulai dari gagang pintu yang antik hingga ukiran, lukisan, karya seni patung keramik maupun patung penari Bali dari uang logam kuno. Di sudut lainnya ada guci setinggi manusia, piring-piring China dan barang antik lainnya dalam museum.

Benda-benda antik dari Nusantara maupun dari China tersebar di berbagai sudut ruangan. ( Foto: Arum Suci Sekarwangi)

Banyaknya koleksi benda-benda antik juga karena hasil buruan pemilik hotel saat traveling ke berbagai penjuru dunia. Hotel ini memiliki kamar sebanyak 143 buah, 8 ruang pertemuan, 1 ballroom, kolam renang, spa, ruang fitnes, butik, dan cake shop.

Motif batik bergambar burung Phoenix yang menjadi hiasan dinding ini sudah dipatenkan menjadi motif milik The Phoenix Hotel Yogyakarta yang ada di setiap kamar.

Di halaman antara gedung belakang dan depan, ada sebatang pohon Tanjung yang tinggi. Rupanya pohon tersebut ditanam oleh presiden RI ke-1 pada tahun 1951. Pohon tersebut dipertahankan dan dipelihara karena merupakan bagian dari sejarah hotel ini. 

Hal yang paling menarik buat saya adalah jejak publikasi  jaman baheula. Ada sebuah pigura berisi koran terbitan 1918. Wow coba bayangkan, kertasnya saja sudah seabad umurnya.

Di teras belakang yang difungsikan sebagai restoran, perpaduan tiga budaya terasa kental sekali. Arsitektur bangunan bergaya Eropa berpadu dengan desain dan motif keramik China dan furnitur ukiran khas Jawa. 

Di gedung bagian depan ini ada sebuah ruangan yang berisi banyak barang-barang antik bersejarah. Ruangan ini juga berfungsi sebagai bagian dari lobby hotel dimana saat kami datang juga jadi tempat pameran lukisan bagian dari  Festival Kebudayaan Yogyakarta bertajuk Mulanira2.

Saat duduk-duduk di sini kita bisa  menikmati koleksi barang antik yang dipajang. Meja kursi yang digunakan untuk duduk di ruangan ini pun merupakan barang antik yang usianya cukup tua. 

Sebelum beranjak menuju kamar di lantai dua, saya menikmati sejenak nuansa tradisional di dalam ruangan sambil berzikir agar  jangan hanyut pada suasana hening ‘ Ngelangut”.

 ‘Ngelangut’  bisa digambarkan sebagai keadaan terhanyut dalam suasana yang membuat saya  merasakan keheningan dan kilas balik pada kehidupan bersama almarhum kedua mertua maupun almarhum suami asal Yogya yang kental dengan kehidupan  ala keraton dan rumah lama mereka yang kini semua tinggal kenangan.

Keluar dari lorong ‘waktu’ saya memilih naik tangga menuju kamar sebelum lift dan mendapatkan room mate baru saja menyelesaikan sholat Asharnya. 

Berbekal kunci kamar saya pamit untuk ke makam Gambiran, sekitar 5 km dari hotel untuk berdoa langsung ditengah makam orang-orang terkasih. Bismillah Tawakkaltu’ Ala Allah, Laa Haula Wa Laa Quwwata Illaa Billaah sekaligus doa untuk tugas empat hari ke depan.

 

 

 

Hilda Ansariah Sabri

Pendiri, Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi dan pemegang sertifikasi Wartawan Utama Dewan Pers dan Ketua Departemen Pariwisata PWI Pusat (2018-2023)