REVIEW

Menikmati Gedung Sate, 'Centerpoint' Pariwisata Bandung Bergaya Moor 

Rombongan Forwaparekraf depan Gedung Sate, Bandung. ( Foto-foto: Arum Suci Sekarwangi)

BANDUNG, bisniswisata.co.id: Umurnya seratus tahun lebih dua hari ketika Sabtu siang kami tiba saat umurnya mencapai 100 tahun lebih dua hari. Soalnya Landmark kota Bandung ini tepat pada tanggal 27 Juli 2020 lalu genap berusia 100 tahun atau seabad silam.

Rombongan Press Tour & Seminar Series: Cirebon, Kuningan & Bandung’  27-30 Agustus 2020 yang diinisiasi oleh Forum Wartawan Pariwisata & Ekonomi Kreatif (Forwaparekraf) 2020 langsung berpose ria dengan banner warna birunya.

Ya betul bangunan ini bernama Gedung Sate. Gedung yang memiliki ciri khas berupa ornamen yang berbentuk seperti tusuk sate yang terdapat pada menara sentralnya ini sudah sejak zaman dulu menjadi salah satu ikon bersejarah dan bangunan khas kota Bandung, yang dikenal secara nasional. 

Saat memasuki gedung, sudah diterapkan adaptasi kebiasaan dengab protokol kesehatan ketat sebagai bagian upaya mewujudkan pariwisata yang aman dan nyaman di provinsi Jawa Barat.

Sejak tahun 1980 Gedung Sate lebih dikenal sebagai kantor Gubernur karena digunakan sebagai pusat aktivitas dari pemerintahan Provinsi Jawa Barat yang sebelumnya terletak di Gedung Kerta Mukti di Jalan Braga Bandung. Jadi disilah tempat “Kang Emil” julukan akrab Ridwan Kamil, Gubernur Jabar berkantor sehari-hari.

Puncak Gedung Sate dihiasi oleh ornamen menyerupai tusuk sate dengan enam buah bulatan sebagai lambang dari biaya pembangunan pada waktu itu yang mencapai 6 juta Gulden.

Keseluruhan bangunan bergaya Reinassance Italia, sementara menara bergaya Asia sehingga mirip seperti Pagoda yang ada di Thailand dan atap pura Bali. Sementara bagian Fasad atau tampak depan gedung juga memiliki sejarah tersendiri.

Gedung dibangun dengan menggunakan sumbu poros utara-selatan yang juga diterapkan pada Gedung Pakuan, menghadap gunung Malabar di Selatan, sementara Gedung Sate dibangun menghadap gunung Tangkuban Perahu di Utara.

Pada 8 Desember 2017 pemerintah Provinsi Jawa Barat meresmikan Museum Gedung Sate yang memudahkan masyarakat untuk mengetahui sejarah berdirinya Gedung Sate tersebut. 

Letak museum ada di basement gedung, yang bisa dicapai melalui gerbang belakang. Museum seluas 500 meter persegi ini dibuka mulai pukul 09.30 – 16.00 setiap hari, kecuali hari Senin. Pengunjung yang ingin memasuki museum harus bersabar menunggu antrean karena kapasitas ruangan yang terbatas, yaitu hanya 35 orang.

Di dalam museum yang berkonsep digital ini terdapat sejarah kota Bandung sejak 1890, mencakup sejarah kota Bandung pasca kemerdekaan, sejarah kota Bandung zaman pra kolonial – kolonial, sejarah Gedung Sate sejak dibangun hingga sekarang.

Ada juga bioskop mini berkapasitas 35 orang yang memutar film pendek mengenai sejarah Gedung Sate, dan ruangan Augmented Reality yang membuat para pengunjung seolah – olah kembali berada di zaman lampau atau naik balon udara.

Didampingi Azis Zulfikar, Kepala Bidang Industri Pariwisata, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, rombongan berkeliling dan sempat menikmati view kota Bandung dari ketinggian.

Kini dengan hanya perlu membayar Rp5.000 wisatawan sudah bisa mempelajari lebih dekat sejarah pembangunan Gedung Sate di Museum Gedung Sate secara komprehensif dan dengan pendekatan digital.

Gedung dibangun dengan menggunakan sumbu poros utara-selatan.

“Pembangunan Gedung Sate ini awalnya direncanakan terdiri dari 17 bangunan berbeda namun hanya 3 bangunan yang mampu direalisasikan oleh Hindia Belanda pada saat itu,” kara Aziz pada rombongan Forum Wartawan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Forwaparekraf).

Menurut rencana kompleks Gedung Sate ini akan terus dikembangkan sebagai destinasi wisata yang ramah bagi pejalan kaki dengan pembangunan pedesterian hingga mencapai Monumen Juang agar semakin menarik perhatian wisatawan berkunjung, karena Gedung Sate sangat tepat menjadi centrepoint pariwisata Kota Bandung, paparnya.

Lorong waktu

Berkunjung ke gedung-gedung bersejarah seperti Gedung Sate ini memang pengunjung seolah memasuki lorong waktu, makanya museum kerap jadi prioritas sebelum berkeliling.

Tak salah kalau saya berkhayal juga bisa memakai kostum noni-noni Belanda untuk berfoto ria Instagramable di gedung ini. Soalnya ceritanya kembali ke masa pemerintahan Hindia Belanda.

Peletakan batu pertama pada sejarah Gedung Sate di masa Hindia Belanda yang dikenal dengan nama Gouvernements Bedrijven (GB) dilakukan oleh Johanna Caterina Coops, putri sulung Walikota Bandung yang bernama B. Coops serta Petronella Roelofsen sebagai wakil Gubernur Jenderal JP Graaf Van Limburg Stirum pada 27 Juli 1920.

Perencanaan gedung sate dilakukan oleh tim yang terdiri dari Ir. J. Gerber, arsitek kenamaan lulusan Fakultas Teknik Delft Nederland, Ir. Eh. DeRoo dan Ir. G. Hendriks dan dari pihak Gemeente Van Bandoeng yang diketuai oleh Kolonel. Purn. VL. Slors. 

Gedung Sate dibangun selama 4 tahun tepatnya pembangunan selesai pada bulan September 1924, berupa bangunan induk, Kantor Pusat PTT (Pos, Telepon dan Telegraf) dan Gedung Perpustakaan. 

Gagasan untuk membangun Gedung Sate berawal dari penilaian pihak Belanda bahwa Batavia tidak lagi menjadi ibukota yang pantas karena berbagai perkembangan yang terjadi di sana. 

Gedung Sate dibangun untuk menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda, karena para petinggi menganggap bahwa iklim di Bandung sama dengan iklim  Perancis Selatan ketika sedang musim panas. 

Pembangunannya direncanakan melibatkan 2000 pekerja dimana 150 orang diantaranya adalah pemahat atau ahli pengukir batu nisan dan kayu berkebangsaan China yang berasal dari Kanton. Ada pula tukang batu, kuli dan peladen yang berasal dari pembangunan Gedong Sirap di Kampus ITB dan Gedong Papak di Balaikota Bandung.

Dalam proses pembangunannya, maestro arsitek Belanda Dr. Hendrik Petrus Berlage turut memberi saran agar Gerber memasukkan unsur tradisional Indonesia.

Tak heran hingga kini bagi penggemar arsitektur sering menjadi bahan kajian  karena memiliki gaya arsitektur unik yang berupa perpaduan arsitektur Indo Eropa. Jendela yang digunakan untuk gedung sate bertema Moor, yang berasal dari Spanyol. 

Berhubung jadwal kunjungan yang padat dan masih ada acara diskusi malam harinya di pelataran halaman Gedung Sate maka kegiatan mengeksplor terhenti karena baru mau check-in hotel. Dalam hati saya berucap ‘sampai berjumpa lagi’ atau tot ziens dalam bahasa Belanda.

 

Arum Suci Sekarwangi