JAKARTA, bisniswisata.co.id: Gereja Sion di Jakarta merupakan gereja tertua di Indonesia yang mempunyai catatan sejarah panjang dan penuh keunikan dan sejak diresmikan pada tahun 1695 usianya kini sudah 325 tahun.
Gereja yang letaknya di belakang Stasiun Kereta Api Bios, Jakarta Kota, di sudut Jalan Pangeran Jayakarta dan Jalan Mangga Dua Raya itu dikenal pula sebagai Gereja Portugis.
Dahulu pada zaman penjajahan Kolonial Belanda, disebut Portugeesche Buitenkerk, karena lokasinya berada di luar tembok Kota Batavia. Di luar tembok itu para tawanan VOC yang merupakan orang-orang Portugis merasa membutuhkan gereja untuk tempat beribadah.
Sejarah Pendirian Gereja Sion
Penulis ajak pembaca menelusuri dulu catatan sejarah pendirian Gereja Sion. Mulanya Bangsa Portugis dikenal sebagai “Penjelajah Samudra” pada tahun 1498 Raja Manuel I dari Portugal menugaskan Vasco da Gama untuk memimpin pelayaran ekspedisi ke kawasan Timur, dan misi ini berhasil mencapai Goa di India.
Mereka membuka pos perdagangan di Goa. Kemudian pada tahun 1511 mereka mencapai Melaka di Semenanjung Malaya, diteruskan setahun kemudian misi ke Kepulauan Nusantara, sampai tiba di Sunda Kelapa, Madura, Bali, Lombok, Aru, Benda , Ambon, Ternate, Tidore dan kepulauan lainnya. Waktu itu kepulauan Nusantara belum bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Misi ini dicatat dalam sejarah bahwa Tahun 1512 Bangsa Portugis merupakan Bangsa Eropa pertama yang berhasil mencapai Kepulauan Nusantara.
Awalnya mereka berkilah untuk mencari sumber perdagangan rempah-rempah, yang saat itu dinilai menguntungkan. Namun faktanya misi mereka merupakan tindakan ekspansi orang Eropa pertama melakukan kolonisasi Nusantara, yang tentu ditentang oleh para penguasa, sultan, dan kerajaan kecil.
Era Kolonial Portugis di Indonesia hanya berlangsung satu abad dari tahun 1512-1602, menyusul Kolonial Belanda dimulai dengan VOC (Vereenigde OostindischeCompagnie) pada tahun 1602.
Sewaktu bangsa Portugis angkat kaki dari kawasan Nusantara, banyak meninggalkan bermacam peninggalan, beraneka aspek seni budaya dan catatan sejarah.
Khusus di daerah Jakarta, tercatat bahwa kawasan Jalan Jayakarta sekarang, dahulu merupakan daerah elite, terdapat banyak rumah bagus berhalaman luas. Di sudut Jalan Pangeran Jayakarta dan Jalan Mangga Dua Raya, dahulu merupakan tanah pemakaman orang Belanda.
Terdapat bangunan pondok atau loji digunakan sebagai tempat penampungan tawanan orang Portugis, yang dibawa VOC dari Goa, Malaka dan lain-lain.
Mereka adalah para pekerja keras disebut pula sebagai Portugis hitam, umumnya mereka adalah Kristiani, mereka disebut de Mardijker.
Penguasa tertinggi pemerintahan Hindia Belanda waktu itu, adalah Gubermur Jenderal, dalam bahasa Belanda disebut Gouverneur General biasa disingkat menjadi “G.G”.Tercatat dahulu ada ide G.G. Carel Reniersen, merasa perlu untuk membangun sebuah gereja untuk para Mardijker beribadah.
Ide bagus itu disampaikan seorang putra kepada ayahnya G.G. Willem van Hoorn, maka didesainlah sebuah gereja di atas lahan, yang menjadi Gereja Sion sekarang oleh E.Ewout dari Rotterdam.
Peletakan batu pertama dilakukan pada tanggal 19 Oktober 1693, oleh Willem van Hoorn. Pelaksanaan pembangunan selama 2 tahun, dan diresmikan pada 23 Oktober 1695, pemberkatan pertama oleh Pendeta Theodorus Zas.
Berdirilah sebuah gereja berarsitektur gereja Eropa tua dan ternyata hingga sekarang gereja itu berdiri kokoh dan menarik meski sudah berdiri 326 tahun yang lalu.Pada zaman pendudukan Jepang, gereja itu pernah dijadikan “Rumah Abu” tempat penyimpanan abu jenazah tentara Jepang yang meninggal di wilayah Indonesia.
Sejak tahun 1972 bangunan gereja itu telah ditetapkan sebagai bangunan Cagar Budaya, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta: CB/11/112/1972. Sekarang gereja itu tercatat milik Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB), dan sebagai pengelola: Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat Jemaat Sion.
Pembangunan pondasi gereja Menggunakan 10 ribu batang kayu Dolken rancangan E. Ewout di Rotterdam memperlihatkan sekali gedung dibangun dalam model gereja-gereja tua di Eropa dengan jendela dan pintu berukuran besar, berpadu dengan atap limas gaya Indonesia.
Karena kondisi tanah di lahan itu kurang baik, untuk mendukung bangunan konstruksi batu, perlu penguatan pondasi yang memadai, sedangkan saat itu, pada akhir abad ke-17, belum dikenal pondasi tiang pancang beton.
Maka untuk mendukung bangunan gereja itu, konon digunakan sekitar 10.000 batang kayu dolken yang dicerucuk atau dipaku ke dalam bumi sebagai pondasi. Terbukti sudah 326 tahun bangunan gereja itu tetap berdiri sangat kokoh.
Di halaman muka gereja ada sebuah menara konsruksi kayu sederhana, menggantung genta atau bel gereja kuno, warna kuning terbuat dari bahan tembaga.
Memasuki pintu tua yang sudah rombeng butuh perbaikan, dalam ruang ibadah sangat mempesona dengan peralatan lawas namun sangat menarik. Khusus mimbarnya berupa sebuah cawan besar berukir gaya Barok.
Saat pendeta akan berkhotbah harus menaiki tangga berukir indah dari sisi belakang, sehingga Pendeta berkhotbah di mimbar dari suatu ketinggian. Mimbar berupa cawan besar itu dipayungi sebuah canopy indah besar, didukung dua batang tiang kayu berulir. Sungguh mimbar itu menakjubkan.
Di sekitar mimbar terdapat kursi tua untuk para pejebat gereja dan umat berusia lanjut, juga ada sebuah meja rapat anggota Dewan Gereja dengan kursi-kursi kebesaran berukir. Sebuah kursi khusus lebih besar dan megah, khusus untuk tempat duduk Gubernur Jenderal.
Semua peralatan di sana terbuat dari kayu eboni warna hitam. Konon beberapa kursi kayu berukir indah itu pernah dipinjam untuk dipamerkan pada Pameran Gereja di Singapura, dengan diasuransikan nilai tinggi.
Pada sisi lain terdapat balkon ditempatkan alat orgel pipa tua, yang masih berfungsi untuk membawakan lagu-lagu gereja. Di bawah balkon terdapat tiga baris kursi untuk para pejabat tinggi yang mengikuti beribadah.
Balkon maupun kursi-kursi untuk pejabat itu berhias ukiran indah. Semua peralatan kursi, lemari dan lain lain-lain, terlihat peralatan lama terbuat dari kayu eboni warna hitam terpelihara baik.
Cagar Budaya yang Perlu Dilestarikan
Pada suatu sudut dalam gereja itu, tertempel pada dinding gereja batu nisan Carel Reniersen beserta istrinya Judit Bara van Amstel Dam. Adapun Carel Reniersen adalah mantan Governeur General pada tahun 1650–1653, yang dahulu menyediakan lahan dan gagasan untuk membangun gereja Sion.
Karena dianggap berjasa, maka batu nisannya yang didapati di Surabaya diboyong untuk dilekatkan pada dinding gereja. Carel Reniersen hanya sebagai pencetus, namun sampai saat wafat tidak pernah melihat gereja itu.
Seperti dijelaskan bahwa lahan gereja itu adalah bekas pemakaman, ada sekitar 3000 jasad dikubur disana, sewaktu akan dibangun gereja makam itu dipindah ke pemakaman Jalan Tanah Abang I, Jakarta Pusat.
Masih tertinggal belasan makam, yang hingga sekarang masih ada di sisi gereja, antara lain makam seorang mantan Governeur General Hendrick Zwaarde Croon, yang meninggal di Batavia pada 12 Agusutus 1728. Masih dapat dilihat batu nisan terbuat dari besi cor bagus sekali.
Pada akhir bulan Oktober 2020, diperingati 325 tahun berdirinya Gedung Gereja Sion, kurun waktu tiga seperempat abad panjang sekali. Tercatat gereja itu pernah direnovasi pada tahun 1920 dan 1978, saat ini gereja terlihat perlu perbaikan, terutama daun pintu dan jendela dari bahan kayu sudah lapuk, karena tanpa canopy atau tritisan sebagai penaung air hujan dan sinar matahari.
Sepatutnya sebuah bangunan cagar budaya perlu dilestarikan, suatu aset heritage di Ibukota yang telah berusia lebih dari tiga abad butuh konservasi yang konsisten.
Bagi peminat yang ingin mengunjungi Gereja Sion, bisa datang ke Jalan Pangeran Jayakarta No. 1, Jakarta Barat, 11110. Sewaktu mengunjungi Gereja Sion, penulis bersyukur dan berterima kasih telah dipandu dengan baik oleh Yahya G. Poceratu dari Balai Pelestarian Cagar Budaya.