ULUWATU, bisniswisata.co.id : Keindahan alam dan kebudayaannya yang kental telah melekat dengan identitas Pulau Bali yang tersohor. Setiap sudut dari pulau ini bersatu menjadi simfoni keindahan yang tiada duanya.
Mulai dari garis pantai yang indah, persawahan bertingkat yang rapi nan menghijau di perbukitan, hingga gunung berapi yang mencengangkan menambah koleksi keindahan alam. Pulau Bali yang telah menjadi salah satu destinasi wisata favorit baik bagi pelancong domestik maupun mancanegara.
Masyarakat Bali menganut falsafah hidup Tri Hita Karana yang memuat tiga unsur pembangun keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya.
Tri Hita Karana menjadi sumber kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan bagi kehidupan manusia. Hal itu berperan penting dalam memenuhi ekspektasi pelancong yang tinggi terhadap pulau yang memiliki julukan Pulau Dewata ini.
Salah satu contohnya dapat dipetik dari kisah hidup I Wayan Edi Martono,SE. Pria asli Bali yang kerap dipanggil dengan nama Eddy ini telah berkecimpung dalam dunia pariwisata selama lebih dari 20 tahun lamanya.
Dalam puncak karirnya, Eddy pernah memiliki atau mengelola empat villa yang tersebar di wilayah Uluwatu, Bali. Perjalanan hidupnya berliku-liku dan penuh dengan pengalaman penting nan menarik.
Pada mulanya, Eddy bekerja sebagai bagian housekeeping di Bora-Bora Villa, Seminyak sambil menamatkan pendidikan D3 Akomodasi dan Perhotelan di PPLP Dhyana Pura.
Kehidupan Eddy mulai beranjak baik secara karir maupun pribadi saat beliau bekerja di Blue Point Resort and Spa, Uluwatu. Disini Eddy memulai karir di bagian housekeeping lalu menjadi supervisor hingga berpuncak sebagai wedding and event manager.
Diluar dari pekerjaannya di Blue Point Resort and Spa, Eddy juga memiliki segudang kegiatan yang berjalan seiring dengan waktunya disana. Mulai dari menyelesaikan Akta 4 di Universitas Dwijendra, hingga melanjutkan kuliah S1 di STIMI Handayani Denpasar.
Tak berhenti disitu, Eddy juga menggunakan waktu luangnya dengan mengajar sejarah, PMP, dan housekeeping secara microteaching serta membuat yayasan untuk Sekolah Taman Kanak-Kanak bersama kakaknya di kawasan Nyang-Nyang, Uluwatu.
Sebagai wedding and event manager, Eddy tertarik dalam dekorasi pernikahan dan terjun langsung dalam pembuatannya. Ketertarikan ini berkembang menjadi kecintaannya terhadap karya seni dan bangunan lama yang membuatnya belajar tentang bangunan secara otodidak dengan membaca beraneka ragam buku.
Kecintaannya terhadap karya seni dan bangunan lama membawanya menjadi kolektor benda-benda yang menurutnya memiliki unsur seni. Selama bertahun-tahun, Eddy kerap mencari barang bekas yang dikumpulkan secara anti-mainstream.
Mulai dari mencari di tempat sampah, pinggir pantai, dan di bangunan tua. Eddy bercerita bahwa ia pernah membarter barang antik dengan beras atau bahkan obat-obatan, sesuai dengan kebutuhan si pemilik. Selain barter, tentu saja membeli karya seni dari berbagai macam tempat.
Tak hanya itu, Eddy juga mempelajari setiap barang antik yang ia miliki. Dimulai dari apa sejarahnya dan pada masanya digunakan untuk apa saja. “kalo kita seneng sama barang seni, harus ngerti sejarahnya dan kegunaannya juga” kata Eddy.
Kini dia memiliki koleksi barang paling lama dari ratusan tahun lalu. Pada mulanya, kerabat Eddy kurang setuju dengan keputusan Eddy untuk jual beli barang antik.
Bahkan, dia sempat diledek sebagai orang gila oleh masyarakat sekitar karena walaupun sudah bekerja sebagai manager di hotel ternama, tetapi punya hobby mengumpulkan kayu bekas.
Usut punya usut, ternyata barang antik bernuansa rustic belum memasuki zamannya pada saat dia memulai, terutama di kalangan masyarakat lokal. Tapi karena dia senang dan melanjutkannya, kini terbentuklah image ‘antik’ disekitar nama Eddy.
Bisa dibilang Eddy adalah pelopor karya rustic di Uluwatu. “Setelah itu banyak orang yang diskusi dan belajar disini. mereka sampe terperangah karena saya kepikiran untuk bikin suatu hal yang tidak dipikirin orang, seperti mengubah sampah jadi sesuatu yang mahal” cerita Eddy.
Sembari bekerja di Blue Point Resort and Spa, dia juga membantu pamannya untuk mengelola 5 kamar penginapan miliknya yang bernama ‘Fortune. Dari situ, Eddy lantas membangun penginapannya sendiri dengan nama ‘Maya Rustic’.
Nama ini dipilih karena menurutnya ‘Maya’ memiliki arti keindahan, seperti wanita cantik sedangkan ‘Rustic’ menurutnya adalah suatu benda yang tidak selesai. Maya Rustic dibangun secara perlahan, dimulai dengan 2 kamar yang dibuat dengan kayu bekas yang di upcycle dan dikolaborasikan sebagai jendela, pintu, dekorasi, dan lain sebagainya.
Secara desain dan estetika, Eddy mengaku terinspirasi banyak dengan bangunan serta karya seni dari Kota Yogyakarta. “Menurut saya arsitektur Jogja amazing dan indah sekali” ungkap Eddy. Estetika kesenian dari budaya Jawa dan Bali dikolaborasikan dengan konsep rustic yang telah menjadi ciri khasnya.
“Konsep rustic itu artinya abstrak. Suatu tempat harus menyatu dengan alam, diusahakan tidak merusak tanaman atau memotong tanaman, tetap menjaga nature, harus reboisasi. meminimalisir penggunaan plastik dan lain sebagainya” Jelas Eddy.
Hal ini dapat kita lihat dari area garden di Maya Rustic, Eddy mengadopsi tema ‘Jungle Garden’ yang jauh dari standard hotel pada umumnya, namun sesuai dengan tatanan alam aslinya. Bukan cuma mengedepankan estetika, tetapi hampir semua tanaman disitu dapat dikonsumsi atau bahkan dijadikan obat-obatan.
Eddy bercerita bahwa memulai konsep ini, banyak pemilik bisnis baik itu penginapan, restoran atau lain sebagainya yang mengubah alam sesuai dengan keinginan mereka, contohnya dengan desain landscaping yang ciamik dan lain-lain.
Akan tetapi ketidakselarasan dengan alam itu membuat bisnis mereka tidak berjalan dengan baik, akhirnya sekarang banyak dari mereka yang mengikuti Eddy untuk mengadopsi konsep yang beralih kepada alam.
Eddy banyak belajar keahlian berbisnis sejak kecil. Menurutnya, ia memiliki masa kecil yang cukup keras dikarenakan harus bertahan hidup seperti berjualan mangga, dan lain sebagainya. Selain itu, listrik dan air belum memasuki wilayah tempat tinggalnya sampai beliau mengenyam pendidikan di kelas 2 SMP.
“Karakter dibentuk dari kesederhanaan tersebut. Sederhana bukan hanya dari pikiran, tapi juga dari sikap. Pikiran harus berkembang terus dan berinovasi untuk membentuk karakter” kata Eddy.
Menurutnya, seseorang tidak boleh emosional saat berbisnis. Hal yang kita tekuni harus terbentuk dari hobi dan jiwa, jadi hal yang dihasilkan akan memiliki karakter tersendiri. Berbisnis juga harus berjangka dan tidak hanya didorong oleh ambisi, hal yang kita bangun harus berkemang secara berjangka, sesuai kemampuan diri dan finansial.
Bukan sekedar teori, namun Eddy telah terbukti berhasil dalam menerapkan hal ini dalam bisnisnya. Dimulai dari 2 kamar, kini Maya Rustic memiliki lebih dari 10 kamar dalam satu lokasi.
Belum dihitung dengan kamar-kamar di 4 lokasi lainnya yang pernah dikelola oleh Eddy seperti Maya Mahogany. Ditambah lagi dengan Maya 2, dan Maya 3 yang terpaksa harus ditutup pasca pandemi COVID-19.
Kini, Maya Rustic memiliki fasilitas dapur bersama, communal space, jungle garden, serta minimarket. Saat ini Eddy juga juga baru saja membuka restoran India bernama Annapurna yang berada di lokasi yang sama dengan Maya Rustic.
Menurutnya, hal terpenting adalah kenyamanan tamu. Dimana mereka bisa belajar banyak soal budaya setempat seperti Bali atau indonesia. Eddy berharap, setiap orang yang datang ke Maya Rustic dengan harapan orang datang kesana bukan sebagai tamu. Akan tetapi tapi terintegrasi menjadi keluarga beliau.