TOBASA, bisniswisata.co.id: Masyarakat Adat Raja Na Opat Desa Sigapiton Kabupaten Tobasa, Sumatera Utara (Sumut) memprotes pembangunan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional Danau Toba. Mereka juga khawatir terhadap ketersediaan air bersih, mengingat titik pembangunan berada di dekat sumber air utama bagi warga Desa Sigapiton.
“Kami khawatir debit air untuk mengairi sawah akan berkurang padahal itu satu-satunya sumber air yang kami gunakan untuk air minum dan sawah,” kata Manogu Manurung, perwakilan masyarakat adat Desa Sigapiton dalam keterangan resminya, Kamis (22/08/2019).
Menurut Suryati Simanjuntak dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat yang mendampingi kelompok adat, mengatakan pendekatan pemerintah yang tidak melibatkan masyarakat menimbulkan gesekan sosial di antara warga desa.
“Tingkat konflik sudah mulai meninggi di antara warga, jadi pendekatan yang dilakukan pemerintah oleh Kementerian Pariwisata dan BODT adalah dengan mengirim orang dari Jakarta ke kampung dan menginap di situ, menyewa rumah penduduk, ini kan menimbulkan saling curiga di antara masyarakat,” ujar Suryati.
Sementara Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan seharusnya pembangunan Danau Toba menggunakan pendekatan yang tak sekedar sosialisasi. “Tapi bagaimana satu proyek pembangunan itu tidak hanya disosialisasikan tapi juga apakah masyakarat paham resikonya,” kata Dewi.
Selain itu, lanjut Dewi, perencanaannya kawasan strategis pariwisata nasional di Danau Toba tidak melibatkan warga setempat. Dalam perjalanannya program yang dikembangkan pemerintah sepihak. Warga sekitar, Sigapiton, tidak ikut dilibatkan. “Sehingga praktis ketika proses perencanaan dan pelaksanaan proyek strategis pariwisata Danau Toba ini luput memperhatikan aspek-aspek dari hak konstitusional dari warga Danau Toba warga setempat,” ungkapnya.
Menurutnya, Pemerintah berpikir itu adalah tanah kosong padahal itu tanah adat. Setiap marga itu punya tanah adatnya masing-masing, mereka luput melihat itu. Ini cara apa ya pembangunan yang tidak pro dengan rakyat? Dan, permasalahan itu muncul sejak 2014. Ketika Danau Toba masih berupa kawasan hutan dan diserahkan pengelolaan tanahnya kepada Badan Otorita Danau Toba.
Kondisinya semakin kisruh karena tanah yang tadinya dalam situasi tidak ada kepastian hukum diberikan pemerintah terhadap wilayah adat, tiba-tiba dikuasakan kewenangannya ke badan otoritas dengan menggunakan Perpres (Peraturan Presiden). “Badan otorita kan punya bisnis plan sendiri, orientasi ekonomi, investasi dan seterusnya. Dia tak melihat ada risiko bahwa proyek pengembangan ini memberikan dampak sosial ekonomi kepada masyarakat lebih jauh lagi,” tuturnya.
Sejauh ini, lanjut dia seperti dilansir laman Tagar, pendekatan yang dilakukan pemerintah kepada masyarakat adat di Desa Sigapiton hanya formalitas saja. Bahkan, proses tidak dilakukan secara transparansi sehingga masyarakat tidak betul-betul mengerti apa yang dilakukan pemerintah.
“Itu sosialisasi yang hanya untuk melegitimasi konsultasi kepada masyarakat. Padahal kejadiannya tidak seperti itu. Masyarakat saat ini melaporkan kepada KPA mengatakan bahwa proses itu tidak transparan. Dilakukan dengan sepihak bahkan cenderung istilahnya mengkondisikan masyarakat-masyarakat agar tidak punya pilihan lain selain menerima proyek pariwisata itu. Lalu diiming-imingi dengan cukup ganti rugi,” ujar dia.
Pihaknya saat ini fokus pada permasalahan di Desa Sigapiton. Di sana, tanah adat yang dimiliki warga diklaim milik negara. Menurut dia, setiap tanah yang ada di wilayah itu merupakan milik dari marga Raja Na Opat, yakni marga Butar-butar, Sirait, Nadapdap dan generasi lainnya.
“Pemerintah berpikir itu tanah kosong. Padahal itu tanah adat. Setiap marga punya tanah adatnya masing-masing, mereka luput melihat itu. Ini cara apa ya pembangunan yang tidak pro dengan rakyat? Karena rakyat tidak dianggap sebagai subjek dan rakyat tidak dianggap sebagai pemilik dari tanah itu tapi dia dianggap sebagai warga yang boleh berperan serta di dalam proyek pengembangan proyek pariwisata itu. Loh ini tiba-tiba secara sepihak dikembangkan sebagai tempat pariwisata,” ucapnya.
Untuk status tanah adat di Desa Sigapiton,sudah ada sejak sejak ratusan tahun lalu, sebelum Indonesia merdeka. Dan kompensasi yang diterima masyarakat hanya berupa uang, kasur dan handphone. “Kalau kompensasi menurut dari beberapa warga ada tapi kompensasinya itu seperti itu. Cukup dikasih penghiburan ada yang dapat dari sisi uang yang dapat spring bed ada yang dikasih handphone macam-macam. Tapi menurut kita adalah bukan karena ada tidaknya kompensasi karena itu tidak dimanipulasi semuanya,” ucapnya.
Hingga saat ini, kata Dewi, belum mengetahui pendekatan yang dilakukan Badan Otorita Danau Toba (BODT) kepada masyarakat Desa Sigapiton. Dia lantas mempertanyakan siapa yang mengawasi kinerja BODT. “Menurut kami cara kinerja badan otoritas ini siapa yang mengawasi, apabila prosesnya di belakang itu tidak sesuai dengan misalnya prinsip-prinsip keadilan transparansi dan seterusnya,” tuturnya. (NDY)