JAKARTA, bisniswisata.co.id: Sport tourism terkait lomba lari di Indonesia semakin marak. Aktifitas ajang lari meningkat 33 persen, dari 288 kegiatan di tahun 2017, melonjak menjadi 341 event pada tahun 2018. Hingga pertengahan tahun 2019 tercatat ada 253 event. Sayangnya, lonjakan peningkatan itu diiringi dengan semakin marak berita yang tidak akurat alias hoaks kesehatan yang semakin merebak.
“Hoaks muncul karena ada yang meninggal dunia saat mengikuti event lomba lari. Tercatat sejak tahun 2018 hingga pertengahan 2019 sudah ada lima orang yang meregang nyawa. Kejadian ini melahirkan hoaks terkait dengan kesehatan. Diharapkan dengan hoaks kesehatan ini tak mengurangi aktifitas olahraga lari yang sangat bagus bagi kesehatan tubuh,” lontar dokter kesehatan olahraga dr. Jack Pradono Handojo, MHA, di Jakarta, Rabu (21/08/2019).
Dokter Jack menjelaskan resiko cedera berpotensi sangat besar dalam ajang lari. Baik cedera langsung (traumatic injury) atau cedera tidak langsung (overused injury). Jika penanganan salah, resikonya kematian mendadak
Kasus kematian mendadak yang terjadi saat ajang lari, lanjut dia, diduga akibat penanganan yang salah dan dipicu oleh hoaks kesehatan terkait olahraga lari. “Hoaks kesehatan adalah informasi terkait kesehatan yang keliru dan belum terjamin serta teruji secara medis,” ungkapnya.
Dicontohkan, hoaks kesehatan misalnya informasi terkait dilarangnya minum selama berlari agar tidak muntah. “Faktanya, aktivitas lari membuat tubuh berkeringat sebagai tanda otot yang sedang bekerja, sehingga tubuh harus terhidrasi agar terhindar dari potensi sengatan tinggi (heat stroke),” tegas Jack.
Selain itu, ada mitos berlari harus memakai jaket tipis atau parasut itu agar keringat dapat keluar banyak. “Mitos ini salah besar, ini termasuk hoaks kesehatan yang harus dihindari. Pakau parasut dengan tujuan menurunkan berat badan. Padahal mitos, itu sangat menutup, dan mengurangi penguapan dan membuat badan overheating dan akhirnya mengalami heatstroke.
Heatstroke adalah kondisi suhu tubuh yang meningkat tajam dan terjadi secara tiba-tiba dalam waktu cepat. Tubuh tak mampu atau tidak memiliki cukup waktu untuk mendinginkan diri. Akibatnya merasa kepanasan hebat, tak hanya dari luar tubuh tapi juga dari dalam. Ujung-ujungnya dapat merenggut nyawa seseorang. “Jadi berlari itu menyebabkan keringat keluar. Jika keringat akan keluar namun dihambat dengan jaket maka keringat tidak bisa keluar secara alami,” lontarnya.
Mitos lainnya adalah, pelari short time, dengan konsep lari fun, harus melakukan carbo loading, yang biasanya dilakukan orang-orang dalam Half Marathon dan Full Marathon. “Padahal, peserta fun run tidak perlu melakukan carbo loading, atau makan banyak karbo sebelum lari dimulai. Hal ini karena, untuk pelari jarak pendek, carbo loading tidak membawa manfaat dan malah justru kontraproduktif. Jarak pendek lakukan carbo loading, kalau sudah selesai lari, bukannya kurus malah gemuk aja, gak ada manfaatnya,” tutupnya.
Dokter Jack pun memberikan tiga strategi minum unuk menghindari hidrasi ketika sedang berlari. Sebelum berlari, kita harus minum air mineral biasa dengan kemasan yang kecil. Antara 240-300 ml. Selama berlari, disarankan untuk tetap minum setiap 15 menit. Minumnya tidak harus menunggu rasa haus karena kalau rasa haus sudah terjadi, maka tubuh sudah dehidrasi. Minumnya pun sedikit-sedikit, seteguk dua teguk bukan langsung agar tidak kembung. Pasca event, biasanya kita akan diberikan botol air minum 600 ml. “Air ini harus dihabiskan agar dapat mengembalikan cairan setelah berlari,” sarannya.
Dekan FKUI, Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH., menambahkan berlari itu sangat baik bagi kesehatan. Apalagi bagi penderita diabetes, hipertensi, stroke, jantung dan ginjal diwajibkan untuk berolahraga seperti lari dengan santai, pelan-pelan dan tak perlu lari marathon. Karena dengan lari penyakit itu dapat dikurangi rasa sakitnya.
“Saat ini penyakit jenis itu mengalami peningkatan jumlah penderitanya di seluruh Indonesia. Jadi solusi untuk menekannya ya harus berolahraga salah satunya ya berlari. Ini olahraga yang murah, ringan dan yang penting harus banyak gerak bagi penderita itu. Ayo ciptakan gaya hidup sehat di masyarakat kita agar penyakit tidak merebak,” sarannya.
Ari Fahrial Syam sangat mendukung FK UI menggelar ajang lomba lari bertajuk “Road to KedokteRAN2019” pada bulan Agustus-Oktober 2019. Ada tiga topik edukasi kesehatan yang dibahas yaitu tentang running injury dan sudden death prevention pada bulan Agustus, Pelatihan Resusitasi Jantung Paru (RJP) pada bulan September, dan hidrasi sehat saat berolahraga pada bulan Oktober.
Harapannya, acara ini dapat memberikan kontribusi positif kepada masyarakat melalui ilmu dan profesi kedokteran. “Kami fokus agar tujuan gaya hidup sehat khususnya dalam konteks berolahraga dapat tercapai dengan prinsip zero accident or death,” tegasnya.
Ketua I Ikatan Alumni Fakultas Kedokteran Indonesia (ILUNI FKUI) dr. Ratna Rosita Hendardji, MPHM menambahkan, kegiatan KedokteRAN 2019 adalah implementasi visi dan misi serta bentuk kepedulian terhadap masyarakat yang tercermin dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. “ILUNI FKUI selalu berusaha memberikan manfaat dan kontribusi untuk masyarakat dalam setiap kegiatan yang kami lakukan, seperti tahun sebelumnya saat kami menyelenggarakan khitanan massal untuk anak yatim dan dhuafa se-Jabodetabek,” ujar Ratna.
Kegiatan ini juga mengajak komunitas lari Jakarta untuk ikut serta mensosialisasikan edukasi mengenai pencegahan resiko kematian dalam berlari.
(END)