DESTINASI EVENT INTERNATIONAL KOMUNITAS PENDIDIKAN

Ma'nene, Trasisi Merawat Mumi Toraja, di Sulsel

Oleh Heryus Saputro Samhudi

TORAJA, bisniswisata.co.id: Mumi atau mummy atau jasad yang diawetkan, bukan hanya ada dalam budaya Mesir Kuno di negeri Mesir. Indonesia dengan keanekaragaman tradisi juga punya banyak mumi sebagai temuan ataupun jejak antropologis. 

Bahkan hingga kini, mumifikasi (proses pengawetkan jenasah) dan tradisi pemeliharaan mumi masih terus dilakukan masyarakat budaya di Indonesia.

Keberadaan mumi Indonesia memang bukan isapan jempol, apalagi hoak. Ekspedisi ilmiah tim gabungan pecinta alam Indonesia di Papua tahun 1979/1980, antara lain menemukan tujuh sosok mumi: 3 mumi laki-laki di Kurufu (di utara kota Wamena) dan 3 mumi laki-laki di Assologama (di barat Wamena) di Kabupaten Jayawijaya, serta 1 sosok mumi perempuan di Kurima – Kabupaten Yahukimo.

Di Toraja, Sulawesi Selatan, lebih faktual lagi. Kawasan budaya yang sejak tahun 2008 dimekarkan menjadi Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara itu ada banyak patene (kubur berbentuk rumah), pembaringan sementara jenasah keluarga sebelum dilakukan upacara Rambu Solo, dan jenazah dikuburkan atau dibawa ke londa (gua alam), loko dan lemo atau gua yang dipahat di dinding tebing. 

Ada banyak situs kubur batu di Toraja. Antara lain Goa Londa Stone Graveyard (Kubur Batu Goa Londa) di Lembang (Desa) Sadan Uai Kecamatan Sanggalangi serta Loko Mata Stone Graveyard di Lembang Tonga Riu Kecamatan Sesean Sulo’ara – keduanya di Kabupaten Toraja Utara; dan Kubur Batu Lemo Salu Liang di Lembang Malimbong Kecamatan Malimbong Balepe, Kabupaten Tana Toraja.

Keberadaan patene serta kubur-kubur batu yang tak ada duanya di dunia, serta rangkaian ritual adat yang kerap digelar orang Toraja (sebagaimana hikayat Sawerigading, konon nenek moyang mereka sama datang dari Teluk Tonkin di Viet Nam) ini erat terkait kepercayaan Aluk To Dolo atau Alukta, jauh sebelum agama samawi (Islam dan Kristen khususnya) tiba di Tanah (Tana) Toraja.

Uniknya, meski kini sebagian besar masyarakat Toraja merupakan pemeluk Kristen (sekitar 6% warga, pemeluk Islam), namun ritual-ritual Alukta (yang tahun 1969 diakui Pemerintah Indonesia sebagai bagian dari agama Hindu Dharma) tetap hidup dan dilaksanakan turun-temurun, sekaligus menjadi ciri khas budaya Toraja dan menjadi bagian dari daya pikat pariwisata Indonesia

Sebuah ritual Toraja paling gres adalah upacara Ma’nene yang berlangsung tanggal 31 Agustus s/d 9 September 2023 lalu. Ma’nene mengandung arti leluhur atau nenek-moyang, yang (bisa jadi) diambil dari gabungan kata dalam bahasa Toraja,yakni nene buane (kakek) dan nene baine (nenek) dan lalu diitambahi awalan ‘ma’ hingga mengacu pada arti nenek-moyang atau leluhur.

Berawal dari Rambu Solo

Persisnya, “Upacara Ma’nene adalah tradisi membersihkan jasad/mumi leluhur oleh keluarga dan sanak kerabat orang yang meninggal. Ini upacara tiga tahun sekali, dilakukan setelah musim panen, dan bagian kelanjutan dari Rambu Solo“ ungkap Agustinus Lamba, seorang tokoh dan master dayung pada Olahraga Wisata  Arung Jeram Indonesia ‘lulusan’ Sungai Colorado – USA yang lahir dan besar di Toraja.

Rambu Solo atau Aluk Rampe Matampu merupakan rangkaian awal tradisi pengagungan kerabat yang meninggal. Upacara kedukaan, kematian, atau pemakaman Rambu Solo digelar di barat Tongkonan, rumah adat Toraja, dengan mempersembahkan puluhan ekor hewan ternak (tergantung tingkat kebangsawanan orang yang meninggal) sebagai kurban bagi arwah kerabat yang meninggal.

Kemewahan dan kemeriahan upacara kematian ini lebih riuh tinimbang pesta pernikahan, karena dalam tradisi Toraja kematian adalah tonggak pencapaian kehidupan abadi paling agung sebelum arwah seseorang mencapai puya, nirwana atau surga dalam istilah Toraja; Ada kesedihan bagi anak-cucu suku Toraja bila tak memakamkan kerabat atau orangtua tanpa melaksanakan ritual Rambu Solo

Mahalnya pelaksanaan ritual Rambu Solo ini yang kemudian menghadirkan budaya membangun patene, kubur dalam bentuk rumah, bukan sekadar sebagai ‘rumah duka’ dimana jenasah yang meninggal dibaringkan, menunggu sanak-kerabat yang tinggal di tempat jauh datang menjenguk, tapi juga sebagai kubur sementara (ada jenasah tinggal bertahun-tahun di Patene) sampai Rambu Solo bisa dilaksanakan.

Mencegah jenasah rusak maka budaya mumifikasi hadir sejak baheula dalam tradisi Orang Toraja. Sebagaimana tradisi mumi di Mesir Kuno,di Toraja jenasah orang yang wafat juga dibalsam, dilumuri ramuan khusus khas Toraja. Bahkan di zaman moderen, ke dalam tubuh jenazah juga disuntikkan cairan formalin. Jenasah diberi pakaian sebagaimana hidupnya, lalu dibaringkan di dalam erong.

Erong adalah peti jenasah dalam tradisi Toraja. Bentuknya unik dengan motif ukiran timbul. Ada motif sulur-sulur hutan, ada morif naga ataupun ular, Tutup peti bagian kepala juga macam-macam, Ada yang berbentuk kepala kerbau untuk pria kalangan bangsawan menengah ke atas, ada bentuk babi utuk wanita bangsawan menengah atas, dan bentuk tongkonan bagi kalangan bangsawan tinggi.

Status sosial jenasah bisa dilihat saat erong disemayamkan, sejak di rumah duka, saat disimpan dalam patene, terlebih saat digelar upacara Rambu Solo. Usai acara pokok ini, erong berisi jenasah diantar ke tempat perstirahatan terakhir yang disediakan adat (ataupun keluarga besar) untuknya: kubur batu londa, atau lemo dan loko atau kubur-kubur buatan di ketinggian dinding tebing batu.

Sebelum pintu kubur ditutup lagi

Selesaikah sampai di situ? Tidak. Tugas keluarga untuk selalu menjaga kelestarian lingkungan kubur dimana erong berisi mumi/jenazah disemayamkan, termasuk yang masih tinggal di dalam patene.

Mengunjungi kubur leluhur atau kerabat dekat di waktu-waktu tertentu, sambil bersih-bersih, biasa dilakukan orang Toraja. Bahkan pemandu wisata kubur batu umumnya bertalian keluarga dengan mumi di situs-situs lain 

Satu di antara rangkaian penguburan adat Toraja adalah upacara Ma’nene, tradisi tiga tahunan yang umum berlangsung 10 hari, dilaksanakan usai musim panen tiba, dan umumnya jatuh antara bulan Agustus – September, hingga sering masuk brosur kalender wisata Internasional, memungkinkan wisatawan dari berbagai penjuru dunia datang untuk ikut faham upacara Ma’nene yang unik.

Unik? Ya, Ma’nene adalah ritual budaya unik, tak ada duanya di dunia, sebagaimana yang antara lain berlangsung di situs wisata kubur batu Loko Mata (atau Lo’ko’mata) di kawasan Batu Tumongga, Toraja Utara. Berketinggian 1400 m-dpl (pucuk tertinggi kawasan Toraja) situs ini bisa dilihat oleh pandangan mata di kejauhan dari Rantepao, Ibukota Toraja Utara. 

“Yang melakukan Upacara Ma’nene di Loko Mata ialah masyarakat dari Lembang (Desa) Tonga Riu dan Lembang Suloara, yang keduanya terletak di Kecamatan Sesean Suloara. 

Kabupaten Toraja Utara, kata Agustinus Lamba,yang juga pelopor bisnis wisata arung jeram di Sulawesi Selatan, melalui Sungai Sa’dan atau Sadang yang mengalir di Toraja dengan jeram-jeramnya yang menantang.

Sebagaimana tradisi tiga tahunan sebelumnya, ritual Ma’nene kali ini juga dimulai seusai masyarakat dan pelaksana upacara melakukan misa pagi di gereja.  

Di hari pertama itu masyarakat membuka semua pintu kubur batu yang ada di dinding tebing Loko Mata. Untuk itu tangga-tangga dari bahan bambu betung dibuat dan disiapkan, sebagai alat panjat dari pelataran menuju pintu-pintu kubur.

Hari ke-2 s/d hari ke-8 masing-masing pihak keluarga mengeluarkan erong atau peti-peti berisi jasad yang disimpan dalam ruang loko/kubur batu di ketinggian tebing. 

Aktivitas ini berlaku serentak di lembang-lembang atau desa lain yang memiliki situs kubur batu, Bahkan ini juga dilakukan terhadap janasah yang masih dibaringkan di patene ataupun di sebuah ruang di dalam Tongkonan.

Ada juga erong (peti jasad) ataupun jasad tanpa peti yang tidak dikeluarkan, namun lebih banyak yang dikeluarkan, lalu diletakkan di luar liang loko/kubur untuk dijemur dan diangin-anginkan agar bau menyengat yang masih fertinggal bisa segera hilang. 

Sebagian peti dibuka dan diganti dengan peti baru, hingga siapa pun bisa melihat para jasad. Ada jasad mumi.yang sudah hancur, namun masih tampak wajahnya.

Penuh kehati-hatian dan rasa kekeluargaan yang kental, jasad dalam erong dikeluarkan, dibersihkan tubuhnya (dengan kuas halus) dari kotoran yang menempel, lalu dibasuh, dimandikan atau menyirami tubuhnya dengan air, setelah semua pakaian lama dilepas, untuk kemudian diganti dengan pakaian baru. Demikian pula erong-erong yang lapuk diganti dengan erong baru.

Sementara proses memandikan dan merawat mumi berlangsung, terdengar larik-larik syair atau pantun dalam bahasa Toraja dilantunkan kaum perempuan dan para remaja, sebentuk puji kasih sayang pada leluhur, menghadirkan suasana haru dan nglangut, Juga saat jenasah (yang sudah tampil baru dan wangi) disemayamkan ke dalam erong, untuk diletakkan kembali ke kubur batu semula.

Hari ke-10, tanggal 9 September 2023, pintu-pintu kubur batu Loko Mata ditutup kembali, setelah semua erong berisi jasad leluhur diusung dan diletakan kembali pada posisi semula.

Namun sebelum pintu-pintu kubur kembali ditutup, beberapa ekor kerbau disembelih oleh para keluarga kerabat yang bertalian darah dengan jasad mumi yang ikut serta dalam upacara Ma’nene.

Sepulang dari Loko Mata dan ibadah gereja, keluarga makan siang bersama, diimbuhi Sisemba, atraksi Adu Kaki dua deret pemuda (dari lain kampung) yang berbaris berhadap-hadapan, untuk kemudian saling tendang, adu kuat tulang betis kaki di udara (Sisemba juga biasa digelar usai pesta panen) diiringi tarian Ma’ga’ilu. sebagai rasa syukur bahwa ritual Ma’nene sudah dilaksanakan. 

 

admin