DESTINASI INTERNATIONAL LAPORAN PERJALANAN LIFESTYLE

Melongok Kampung Islam Loloan, Bali, Sebagai Mutiara yang Terpendam 

Mesjid dan sungai ikon kampung Islam Loloan

JEMBRANA, Bali, bisniswisata.co.id: Tiba jelang magrib di Desa Loloan Timur setelah perjalanan panjang dari homestay Maya Rustic di Uluwatu ke Negara, di kabupaten Jembarana Bali nyaris makan waktu 6 jam perjalanan karena macet akibat arus mudik.  

Tiba  di desa Loloan jelang Lebaran 2023, April lalu, kedatangan saya sudah diarahkan oleh Muhtazinin, seorang tokoh pemuda setempat yang suka dipanggil kaling atau kepala lingkungan sehingga sore itu begitu tiba langsung diarahkan untuk ke rumah Iis  atau Istiqomah, salah satu penggerak kaum wanita yang giat berorganisasi.

Saat mandi sore di rumah panggung milik Isqtiqomah jadi nikmat sekali dengan air yang dingin dari sumur peninggalan warga keturunan suku Bugis Bone ini. Sambil menikmati siraman air, jelas terdengar suara lantunan ayat suci dari Masjid Baitul Qodim, sebuah  mesjid yang didirikan pada tahun 1679 oleh seorang ulama yang berasal dari suku Bugis dari Buleleng bernama Haji Yassin.

Beliau lalu ke Timur Sungai, dan mendirikan Masjid di tepi sungai Ijo Gading. Suara azan, qamat, khataman quran dan shalawat terdengar sepanjang hari di saat Ramadhan ditengah masyarakat yang 100% beragama Islam.

Sore itu, ditemani Naila, keponakan Istiqomah tempat saya tinggal di kampung  Loloan Timur, kami berjalan kaki 100 meter dari rumah untuk memburu takjil buka puasa di jalur utama jalan desa Loloan yang terdiri dari kampung di Loloan Timur dan Loloan Barat.

Para pedagang berjualan kue takjil, kolak, lupis, ketan saus duren dan makanan lainnya tersedia di trotoar sisi kiri dan kanan jalan dan banyaknya pembeli menggunakan motor membuat kemacetan. 

 

Saat berada diantara warga Loloan Timur yang tengah memilih takjil untuk berbuka puasa dan mengobrol santai, maka sadarlah saya bahasa yang dipakai oleh masyarakat kampung Loloan bukanlah bahasa Bali, bukan bahasa Melayu ataupun bahasa Bugis. Mereka menyebut bahasa tersebut sebagai ‘Base Loloan’.

Base Loloan atau bahasa Melayu Loloan merupakan bahasa yang umum digunakan oleh warga Kelurahan Loloan, Kecamatan Negara, Jembrana yang merupakan hasil perpaduan dari tiga bahasa yakni bahasa Bali, Melayu dan Bugis yang tetap digunakan hingga sekarang sebagai bahasa sehari-hari masyarakat Loloan, bahkan digunakan juga hampir di seluruh desa di Kabupaten Jembrana dan lain sebagainya.

Menurut Muhtazinin, penggunaan bahasa Bugis dalam bahasa melayu Loloan kini sudah hampir tidak digunakan. Hal ini dikarenakan kebanyakan para pendakwah menggunakan bahasa pengantar yakni bahasa Melayu.

Aktivitas pertama ini membuat minat saya untuk tinggal sejenak di kampung Loloan Timur pada akhir Ramadhan makin besar dan mempersiapkan diri memasuki ‘ Lorong Waktu’. Ya lorong waktu karena desa ini menyimpan banyak cerita sejarah. 

Loloan Timur merupakan sebuah perkampungan Muslim yang unik, perpaduan budaya Bugis, Melayu, dan Bali. Kampung ini menjadi bukti toleransi umat beragama di pulau bali sejak dahulu. Bahkan, keberadaan kampung muslim yang satu ini, dapat ditelusuri sejak 400 tahun lalu.

Memang untuk menikmati wisata halal di kampung Islam ini perlu memasuki lorong waktu karena Bali dikenal sebagai pulau yang dihuni oleh mayoritas Hindu, tetapi ternyata terdapat pula masyarakat Muslim yang telah berabad lamanya menghuni pulau Bali dan hidup berdampingan dengan masyarakat Hindu. 

Bali yang dikenal dengan desa-desa wisatanya yang banyak dikunjungi turis belum menjadikan Loloan dan desa-desa Islam lainnya di Bali sebagai desa wisata. Padahal kalau keberadaan desa Loloan ini menjadi destinasi wisata untuk menarik kunjungan Wisman dari negara-negara Teluk ( GCC) maupun dari negara Islam yang tergabung dalam OKI pastinya bisa mempercepat pemulihan pariwisata pasca pandemi COVID-19.

Hubungan dagang 

Agama Islam masuk ke Bali khususnya wilayah Jembrana, berawal dari datangnya para pelaut Bugis yang melakukan hubungan dagang. Melalui hubungan dagang inilah agama Islam diperkenalkan ke masyarakat Bali dan berkembang secara damai. 

Gelombang masuknya agama Islam ke Bali menunjukkan intensitas yang tinggi pada tahun 1667 setelah terjadi perang Makassar dimana para pedagang dan bangsawan Bugis-Makassar meninggalkan daerahnya untuk menghindari diri dari kejaran Belanda dan akhirnya mendarat di Badung, Buleleng dan Jembrana. 

Ketiga daerah ini kemudian menjadi pusat kekuatan orang-orang Bugis di Bali. Hingga saat ini masyarakat Muslim paling banyak terdapat di Badung, Buleleng dan Jembrana 

Masuknya Islam ke Jembrana terjadi dalam dua tahap. Berdasarkan sumber-sumber lokal dan tulisan-tulisan milik Datuk Haji Sirad mengungkapkan bahwa datangnya orang-orang Islam dari Bugis-Makassar pada saat terjadi peperangan antara Makassar dengan VOC (Belanda). 

Dikisahkan bahwa setelah Makassar jatuh ke tangan VOC pada tahun 1667, Belanda menjanjikan hadiah sepuluh ribu ringgit bagi siapa saja yang berhasil menangkap eskadron perahu-perahu keturunan Sultan Wajo. 

Para pelaut Bugis keturunan sultan Wajo ini sulit tertangkap oleh Belanda dan bersembunyi di teluk Prampang Blambangan. Pada tahun 1669 Daeng Nakhkoda hijrah ke Bali dan mendarat di Air Kuning dan menetap sementara di daerah yang mereka namakan kampung Bali. 

Mereka kemudian melayari sungai besar berbelok-belok arah utara, kiri, kanan penuh hutan dan buaya. Setelah mengetahui bahwa daerah yang mereka tempati adalah bagian kerajaan Jembrana di bawah kekuasaan Arya Pancoran, mereka meminta izin untuk menetap dan berdagang di pelabuhan yang bernama Bandar Pancoran. 

Orang-orang Bugis itulah yang pertama kali memperkenalkan ajaran agama Islam kepada masyarakat Jembrana yang beragama Hindu yang mana terdapat pula seorang keluarga Gusti Ngurah Pancoran memeluk agama Islam.

Cerita dari Muhtazinin yang didapatnya secara lisan dan buku sejarah serta dari skripsi-skripsi para mahasiswa yang menulis tugas akhir tentang Loloan ini terus berlanjut  apalagi dulu pada tahap kedua, di pantai Air Kuning mendarat pula beberapa perahu Bugis yang kemudian meminta izin raja untuk menetap, berkebun kelapa dan mencari ikan serta menolong masyarakat yang terkena penyakit. 

Mereka adalah Mubaligh Islam yang terdiri dari Haji Shihabuddin (asal Buleleng Suku Bugis), Haji Yasin (asal Buleleng suku Bugis), Tuan Lebai (asal Serawak suku Melayu) dan Datuk Guru Syekh (suku Arab). 

Tak lama kemudian, di pantai Air Kuning datang iring-iringan perahu layar bersenjatakan meriam yang merupakan sisa eskuadron Sultan Pontianak di bawah pimpinan Syarif Abdullah Bin Yahya Maulana AL Qodery yang meninggalkan Pontianak setelah jatuh ke tangan Belanda. 

Mereka kemudian menyusuri sungai Ijo Gading. Syarif Abdulah dan anak buahnya yang berasal dari Pahang, Trengganu, Kedah, Johor dan beberapa keturunan Arab, takjub oleh keindahan pemandangan sungai yang berliku-liku dan berkelok-kelok dan berteriak memberi komando kepada anak buahnya dalam bahasa Kalimantan “Liloan” (berbelok-belok). 

Anak buahnya kemudian menamakan sungai ini dengan nama Liloan dan kemudian sekarang menjadi nama perkampungan Loloan. Syarif Abdullah yang dikenal dengan nama syarif Tua menjadi pemuka Islam yang disegani di Jembrana dan bersama laskarnya menjadi kekuatan yang menentukan kerajaan jembrana.

Berdasarkan sejarah tersebut, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Loloan merupakan keturunan masyarakat pendatang penyebar agama Islam permulaan di Bali. Masyarakat pendatang tersebut diberikan suatu wilayah (sekarang Loloan) dan membentuk citra lingkungan baru dengan mengangkat pola wujud rumah sesuai dengan asal tradisinya yaitu rumah panggung. 

Rumah panggung

Rumah panggung merupakan rumah yang tidak berdiri di atas tanah melainkan disokong atau didukung oleh sejumlah tiang-tiang vertikal. Nuansa Islam sangat tampak dalam desain rumah panggung di Loloan. 

Simbol ke-Islaman seperti tulisan kata Allah dan Muhammad menghiasi dinding rumah panggung di Loloan. Hal inilah yang menyebabkan rumah panggung Loloan khas karena berbeda dengan rumah-rumah permukiman di Bali lainnya sekaligus menjadi ciri arsitektur Islam di Jembrana.  

Rumah panggung dibangun karena dapat beradaptasi dengan kondisi alam Loloan yang dekat dengan sungai Ijo Gading. Sebelum dibangun permukiman, sekitar tahun 1700 sungai Ijo Gading pernah meluap dan mengakibatkan banjir. 

Bagian bawah rumah panggung yaitu bagian kolong dapat tetap menyerap atau dilalui air. Rumah panggung juga dipilih karena dapat mengantisipasi serangan binatang buas seperti buaya yang banyak terdapat di sekitar sungai Ijo Gading pada saat itu.

Beruntung hari berikutnya, Nia, ipar Istiqomah mau mengantar saya ke lokasi rumah-rumah panggung yang masih tersisa di Loloan Timur. Di Loloan Barat selain sudah punah, warganya juga masih campur dengan dominasi beragama Hindu sehingga sejak ratusan tahun yang lalu memang rumah panggung habya ada di pinggiran jalan besar dan mereka tetap hidup damai berdampingan hingga sekarang.

Rumah panggung tempat saya tinggal selama di kampung ini adalah bukti sejarah dan tradisi-tradisi yang masih terus dilestarikan, membuat saya yakin tempat ini secara khusus bakal menawarkan keramahan yang begitu besar kepada para wisatawan mancanegara maupun domestik.

Apalagi wisatawan Muslim akan mudah menjumpai tempat makan halal yang murah meriah. Seharusnya para pemudik dari Pulau Bali atau sebaliknya dari Pulau Jawa menuju Pulau Bali sebenarnya  bisa mampir ke desa Loloan Timur dan Barat, menyusuri jejak masuknya Islam di Pulau Dewata, khususnya di Kabupaten Jembrana, Bali. 

Sayang, Loloan dan kampung-kampung Islam lainnya di Bali masih menjadi ‘ Mutiara Terpendam’. Kelurahan Loloan Timur yang  terletak di dataran rendah dengan luas wilayah mencapai 434 Ha atau 0,5% dari Luas Kabupaten Kota Jembrana yaitu 84.180 Ha bahkan letaknya tidak jauh dari Pelabuhan Gilimanuk, pintu gerbang laut pulau dewata ini.

Selain Loloan, Bali sebagai Pintu Gerbang Utama pariwisata Indonesia, memiliki kampung Muslim yang ikonik yaitu Kampung Gelgel, misalnya adalah desa yang berada di kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung, provinsi Bali.

Di Kampung Gelgel terdapat masjid tertua di Bali, Nurul Huda, yang dibangun oleh pengawal Muslim yang mengiringi Dalem Waturenggong sepulangnya dari Majapahit. Itulah sebabnya, daerah ini dikenal pula sebagai Kampung Islam.

kampung ini terkenal dengan sejarah Islamnya yang penuh dengan perjuangan dan pembelajaran dari ulama berskala internasional dan nasional yang telah membangun pondasi kuat keagamaan bagi masyarakat muslim di Bali. 

Selain Gelgel, ada  kampung Islam lainnya yaitu Kampung Kepaon di Denpasar, Kampung Pegayaman, Buleleng,  Kampung Kecicang Islam, Karangasem. Keberadaan kampung-kampung Islam ini menguatkan Prov. Bali sebagai destinasi wisata utama karena ke empat kampung Islam dengan keunikan budaya hasil akulturasi budaya berabad-berabad itu bisa menjadi daya tarik untuk menjaring wisman ke Bali.

Potensi sebagai desa wisata

Ironis memang disaat  banyak desa wisata di Bali yang sudah memenangkan penghargaan internasional. Namun Pemprov Bali belum satupun menjadikan kampung-kampung Islam di Bali sebagai Desa Wisata. Padahal perhatian dan pengembangan Halal Tourism di ke empat kampung Islam ini perlu mengacu pada serangkaian kriteria UNWTO agar dapat memperkuat daya saing pariwisata Bali. 

World Tourism Organization ( UNWTO ) sejak 2021 memberikan penghargaan bagi desa wisata terbaik dunia mengingat dampak berganda aktivitas pariwisata sebagai pendorong pembangunan,  peluang baru untuk pekerjaan dan pendapatan masyarakat desa sambil melestarikan dan mempromosikan nilai dan produk berbasis komunitas.

Inisiatif ini juga mengakui desa atas komitmen mereka terhadap inovasi dan keberlanjutan dalam semua aspeknya – ekonomi, sosial dan lingkungan – dan fokus pada pengembangan pariwisata sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Pada tahun 2022, total 32 desa dari 18 negara di lima wilayah dunia diberikan penghargaan tersebut.  Desa-desa tersebut dievaluasi oleh Dewan Penasihat independen berdasarkan serangkaian kriteria yang mencakup sembilan bidang:

Yaitu mencakup Budaya dan Sumber Daya Alam, Promosi dan Konservasi Sumber Daya Budaya, Keberlanjutan Ekonomi, Keberlanjutan Sosial, Ketahanan lingkungan, Pengembangan Pariwisata dan Integrasi  

Rantai Nilai, Tata Kelola dan Prioritas Pariwisata, Infrastruktur dan Konektivitas, dan Kesehatan, Keselamatan, dan Keamanan.

Saat melakukan kunjungan ke kampung-kampung Islam di Bali satu minggu jelang Hari Raya Idul Fitri, maka para pemuda setempatnya umumnya sudah memahami misalnya desa memiliki objek menarik bisa dari sisi alam, seni, atau budaya masyarakat yang masih lestari

Memiliki jalur transportasi yang memadai untuk pengunjung, melibatkan banyak pihak khususnya masyarakat sekitar, memiliki sarana dan prasarana baik di dalam desa wisata maupun di sekitar desa wisata

Namun keberanian untuk mengajukan sebagai Desa Wisata tidak dilakukan karena sebagai masyarakat pendatang warga kampung Islam secara turun-temurun selalu ditekankan bahwa sebaiknya inisiatif harus datang dari Pemerintah Daerah. 

Dengan demikian meski ada keinginan untuk membuka diri dan berkompetisi menjadi desa wisata maka inisiatifnya hanya bersikap pasif pasrah menunggu dari pemerintah daerah setempat.

Selain rumah panggung, Masjid Baitul Qodim di Loloan Timur, Kecamatan Jembrana, Kabupaten Jembrana, Bali memiliki banyak peninggalan bersejarah. Muhtazinin sempat menunjukkan Al Quran tua dan prasasti di Masjid itu.

Didirikan pada tahun 1679 oleh seorang ulama yang berasal dari suku Bugis dari Buleleng bernama Haji Yassin. Beliau lalu ke Timur Sungai, dan mendirikan Masjid di tepi sungai Ijo Gading. Masjid Baitul Qodim didirikan di atas areal konsensi (kesepakatan) dari I Gusti Ngurah Pancoran, dan semenjak tanggal 14 Nopember 1974  bernama Masjid “Baitul Qadim”. 

Selain Al Qur’an yang ditulis tangan ada juga kerekan, tempat dimana Al-Qur’an diletakkan pada saat seorang yang sedang membaca Al-Qur’an dan diperkirakan dibuat pada abad ke 19 Masehi. Ada juga mimbar yang diperkirakan dibuat bersamaan dengan dibuatnya kêrêkan pada abad yang sama.

Ketika tahun 1858 Syarief Abdulah bin Yahya Al-Qadry wafat di Loloan Barat. Beliau dimakamkan bersama dengan beberapa ulama lainnya, yaitu: Ncik Ya’qub (Waqif Tanah Masjid dari Malaysia), Moyang Khotib (Da’i Penyebar Islam dari Sumatera), dan KHR. Ahmad Al-Hadi bin Dahlan Al-Falaky dari Semarang, di belakang Masjid Agung Baitul Qadim, Loloan Timur.

Makam Syarief Abdulah bin Yahya Al-Qadry dan Rekan-rekan di belakang Masjid Agung Baitul Quddim. Saat ini terdapat 6 buah makam, dan berada di sebuah bangunan yang beratap, kondisi makam sudah mengalami perbaikan. 

Saya menyempatkan diri untuk mendoakan secara khusus bagi para pejuang Islam ini duduk diantara enam makam yang ada. Setelah itu mengamati secara khusus Sungai Ijo Gading tepat di sisi kiri makam sambil ‘masuk’ ke lorong waktu meresapi saat Syarif Abdulah dan anak buahnya yang berasal dari Pahang, Trengganu, Kedah, Johor dan beberapa keturunan Arab, takjub oleh keindahan pemandangan sungai yang berliku-liku dan berkelok-kelok.

Tidak heran jika para pendatang atau muhajirin ini meninggalkan warisan budaya dan adat istiadat yang sampai kini dapat kita saksikan terutama saat menjelang Lebaran. Ada kompetisi tek-tekan akias irama musik sahur, pawai obor dan seni burdah ( rebana) masih eksis hingga sekarang. 

Ah, Loloan memang punya banyak cerita tapi belum diberdayakan untuk mensejahterakan rakyatnya lewat sektor pariwisata halal. Sampai sekarang setelah kembali ke Jakarta, saya masih mencari jawabannya yang mungkin masih bersembunyi.

 

Hilda Ansariah Sabri

Pendiri, Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi dan pemegang sertifikasi Wartawan Utama Dewan Pers dan Ketua Departemen Pariwisata PWI Pusat (2018-2023)