LASEM JATENG, bisniswisata.co.id: Memburu kuliner lontong tuyuhan adalah keharusan bila sedang di Lasem, sebuah kota pecinan kuno di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah (Jateng). Opa Gandor, orang yang dituakan di kawasan Pecinan Lasem dengan rela mengantarkan lontong tuyuhan, sisi lain kuliner khas dari Lasem.
Ia langsung bergegas mengeluarkan sepeda motor matic tuanya saat saya bilang ingin menjajal lontong tuyuhan. “Saya antar saja. Warung lontong tuyuhan itu adanya di dekat kebun tebu. Enggak ada angkutan umum,” tutur Opa Gandor.
Sepanjang jalan menuju sentra penjaja lontong, ia memberi tahu lokasi-lokasi favorit wisatawan yang kami lalui. “Itu namanya Batik Pusaka Beruang. Pemilknya adalah pengusaha bernama Santoso Hartono alias Pak San,” kata Opa Gandor sambil menunjuk salah satu rumah.
Menurut Opa Gandor, Pak San adalah satu dari segelintir pebisnis batik yang bertahan di Lasem. Ia mengenang, pada era 1950-an, batik masih begitu berjaya di tanah kelahirannya itu. Kota Lasem begitu ramai pendatang saban hari. Orang dari mana pun, seperti Surabaya, Semarang, Kudus, Solo, berkunjung khusus untuk belanja batik.
Namun mereka harus gigit jari pada era Orde Baru. Usaha batik meredup. Motif pun dibatasi. Pola khas Lasem yang memiliki corak pecinan seperti barong, naga, tulisan Mandarin dan sejenisnya tak boleh terbit. “Kredit rakyat khusus untuk pengusaha keturunan Cina dipersulit. Saya ingat betul,” kata Opa Gandor.
Padahal, menurut Opa Gandor, keturunan Cina di Lasem adalah warga asli Nusantara. Peradaban Cina masuk Lasem sudah ratusan tahun dideteksi keberadaannya. Keturunannya pun sudah sampai garis kedelapan atau sembilan saat ini sejak Cina masuk ke Lasem sekitar 1300-an.
“Sekitar 7.000 orang Cina masuk Lasem waktu itu cowok semua dan menikah dengan perempuan pribumi. Mereka tinggal di sini karena kapalnya dibakar oleh kaptennya. Lalu menghasilkan keturunan,” ujar Opa Gandor.
Kisah masa lalu Lasem belum kelar juga padahal kami sudah berkendara 20 menit dari pusat kota. Sentra lontong tuyuhan itu mulai terlihat. Lokasinya di tengah kebun tebu. Ada lebih dari sepuluh penjual. Kata Opa Gandor, yang paling enak adalah kios kedua dan ketiga dari arah jalan pusat kota. Kami pun menuju kios kedua.
Saat itu adalah jam makan siang. Hampir semua warung penuh pengunjung. Mereka duduk di bangku panjang. Angin semilir dari perkebunan yang mengepung lokasi sentra lontong itu membuat hawa terasa adem.
Di depan kios tampak para pedagang sibuk mengiris lontong. Ada yang unik pada lontong tuyuhan. Bentuknya seperti kerucut berukuran besar. Mirip bakcang alias makanan khas Cina yang terbuat dari beras atau ketan.
Bentuk lontong ini mendapat pengaruh memasak dari Cina, menurut Opa Gandor. Lontong tuyuhan disandingkan dengan sayur kuning berisi potongan ayam kampung. Diberi nama tuyuhan sesuai dengan daerahnya, kata Opa Gandor. Desa tempat kami makan lontong ini adalah Desa Tuyuhan. Lontong tuyuhan yang saat ini sudah tersebar sampai Rembang.
Beberapa orang Tuyuhan pun berinisiatif membuka warung sederhana. Kini warung itu sudah berkembang lebih baik berbentuk permanen. “Karena bantuan pemerintah,” ukar Opa Gandor seperti dilansir laman Tempo, Ahad (29/07/2018).
Sepiring lontong tuyuhan ini dibanderol Rp 12 ribu. Para penjual biasanya membuka lapak antara pukul 10.00 hingga pukul 17.00. Sambil menyantap lontong tuyuhan, kisah Lasem masa lalu pun dilanjutkan. Kini lebih lengkap karena ditemani kuah beraroma kunyit yang khas. Cerita Lasem makin hidup di warung sederhana Tuyuhan. (TMP)