Wayang Machine karya Krisna Murti
JAKARTA, bisniswisata.co.id: Setelah desa wisata dilahirkan Kemenparekraf, kini lahir desa pemajuan kebudayaan dari Kemendikbud. Di desa-desa pemajuan kebudayaan itulah tradisi lisan akan dikembangkan,” ujar Dirjen Kebudayaan, Hilmar Farid.
Menurut dia, adanya desa pemajuan kebudayaan ini berkaitan dengan terbitnya Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan sejak 2017 yaitu serangkaian upaya yang bertujuan meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia.
Karena undang-undang tersebut, Ahmad Mahendra, Direktur Perfilman, Musik dan Media Baru berjanji akan melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan karya tradisi lisan melalui media baru dengan tetap menjaga pakem sesuai akar tradisi.
“Kami akan memanfaatkan multimedia audiovisual – seperti televisi, video, podcast,” ujar Ahmad Mahendra dalam Lokakarya Daring Asosiasi Tradisi Lisan Seri 3, Kamis (30/7).
Direktorat Perfilman, Musik, dan Media baru Kemendikbud mendapat tugas mengembangkan, memanfaatkan dan memublikasikan karya tradisi lisan melalui kreasi baru, tetapi tetap berbasis pada tradisi.
Contoh yang disebut adalah Wayang Sunar (karya Cok Sawitri dan GusPhank dari Bali). Berupa wayang boneka dari anyaman bambu yang digerakkan manusia, didukung sunar (cahaya) untuk mempertegas gerak boneka. Ada pula Wayang Machine karya Krisna Murti (Bandung),yang memadukan wayang dan teknologi, simbol klasik dan modern.
Krisna Murti, perupa dari Bandung bekerja sama dengan Arya Sanjaya sebagai penulis skrip. Kedua jenis wayang modern itu tetap menggarap Mahabarata dan Ramayana, tetapi dengan penampilan milenial agar dapat diterima kalangan muda.
Program Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Baru tersebut sejalan dengan yang disampaikan sejarawan Mukhlis PaEni dalam Lokakarya Daring ATL Seri 1 (16/7) lalu.
Dalam lokakarya yang berlangsung lima seri hingga 13 Agustus 2020 tersebut, Pembina Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) tersebut mengatakan, tradisi lisan mau tidak mau harus berubah mengikuti perkembangan zaman.
“Cara bertutur dalam transformasi tradisi lisan mau tak mau harus berubah dan menggunakan teknologi media bertutur yang baru. Jangkauannya tidak lagi sebatas lingkup komunitas pendu-kungnya, tapi melintas benua di panggung global,” ujar Mukhlis PaEni.
Teknologi visual dapat menjadi instrumen nafas buatan bagi berbagai atraksi ekspresi lisan dan teknologi animasi komputer dengan mengguna –kan kaidah-kaidah sinematografi yang tepat.
“Kita bisa memasuki sebuah era baru bagi penuturan tradisi lisan,” katanya.Dia mencontohkan film animasi Malaysia Upin dan Ipin. Dalam salah satu judulnya, film untuk anak-anak itu menceritakan tentang keris dalam budaya Melayu melalui dongeng Melayu “Serangan Ikan Todak”.
Desa Pemajuan Kebudayaan
Nah, bagaimana dengan desa pemajuan kebudayaan? Ternyata sudah lebih dari 300 kabupaten kota yang disiapkan menjadi desa pemajuan kebudayaan.“Sekarang baru 30 desa pemajuan kebudayaan dilakukan pendampingan karena kondisi Pandemi Covid-19,” ujar Sri Hartini, Setditjenbud.
Namun, untuk 2021, Kemendikbud sudah menyediakan anggaran untuk beberapa desa di 377 kabupaten kota seluruh Indonesia. Menurut catatan penulis, Oktober tahun lalu, dalam Pekan Kebudayaan Nasional 2019, Kemendikbud menyelenggarakan Konferensi & Pameran Perencanaan Desa Pemajuan Kebudayaan.
Konferensi yang berlangsung dua hari itu, hadirkan delapan desa sebagai perwakilan. Di antaranya Desa Alue Le Mirah (Kabupaten Aceh Utara), Desa Salawu (Kab.Tasikmalaya, Jawa Barat), dan Desa Poto (Kabupaten Sumbawa, NTT). Sebagai nara sumber adalah Desa Panggungharjo (Kabupaten Bantul, DIY).
Di desa-desa itu, per Januari tahun depan, Kemendikbud menempatkan pegiat-pegiat budaya yang telah lulus seleksi. Pegiat budaya tersebut akan bekerjasama dengan para pegiat desa, komunitas budaya, serta tokoh budaya yang ada didesa setempat.
Kalau kegiatan ini sukses, berarti objek pariwisata Indonesia tentu bertambah. Kegiatan desa pemajuan kebudayaan ini mengingatkan pada kegiatan desa wisata program Kemenparekraf bertujuan memberdayakan masyarakat agar dapat berperan sebagai tuan rumah yang baik bagi wisatawan yang berkunjung.
Di desa wisata, para pegiat mendekatkan kegiatan-kegiatan pedesaan seperti membajak sawah, menanam padi, memandikan kerbau, juga menanam pohon kopi sampai dengan menyajikan kopi – kepada wisatawan.
Namun, juga terdapat kegiatan seni budaya, seperti belajar menari, membatik, membuat anyaman, belajar gamelan, dan membuat kerajinan yang biasa dilakukan warga desa sehari-hari. Lalu apakah kegiatan desa pemajuan kebudayaan yang diselenggarakan Kemendikbud tidak tumpang tindih dengan desa wisata dari Kemenparekraf?
“Justru bagus kalau semua kementerian saling sinergi. Tidak hanya Kemendikbud dengan Kemenparekraf, tetapi juga dengan kementerian lain. Agar hasilnya terasa di tengah masyarakat,” ujar Restu Gunawan, Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, yang bertugas mengampu desa pemajuan kebudayaan.
Tradisi Lisan
Asosiasi Tradisi Lisan (ATL), penyelenggara lokakarya tersebut, sebuah yayasan bergiat melindungi warisan budaya, khususnya tradisi lisan.Organisasi yang berdiri sejak 1993 ini berusaha mengembalikan fungsi tradisi lisan di tengah masyarakat.
“Tradisi lisan tentu salah satu objek paling penting dalam pemajuan kebudayaan,” ujar Hilmar Farid.
Kemendikbud berpegang pada Konvensi UNESCO 2003, warisan budaya tak benda yang termasuk tradisi lisan, antara lain bahasa, cerita rakyat, mantera, nyanyian rakyat, dan seni teater rakyat. “Proses pewarisannya dilakukan menggunakan lisan dari satu generasi ke generasi selanjutnya,” jelas Ahmad Mahendra, Direktur Perfilman, Musik, dan Media Baru.
Sementara Hilmar menambahkan tradisi lisan tidak hanya masih relevan pada masa sekarang, tetapi juga pada masa depan. “Kita punya tanggung jawab terhadap warisan budaya yang merupakan nilai-nilai dari leluhur,” tegasnya.
Menurut Sri Haryani, Kemendikbud sudah mencatat 4.521 tradisi lisan. Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) akan melanjutkan dengan pembuatan indeks tradisi lisan.
“Kami sedang menyiapkan MOU karena tradisi lisan mampu menjadi penjaga moral masyarakat pendukungnya “ujar Ketua Umum ATL Pudentia.
Semua tradisi mengajarkan kebaikan, mampu menjadi penengah bahkan solusi masalah. Kalau ada yang mengajarkan keburukan, pasti ada yang salah. Itulah mengapa ATL merasa bertanggung jawab untuk melestarikan, yang di dalamnya ada upaya pengembangan, tutup Pudentia.