MADINAH, bisniswisata.co.id: Info keberadaan warung Mie Bakso Indonesia di Madinah itu datang saat jam makan siang di hotel tempat kami menginap. Teman kami, suami istri di rombongan Jamaah Haji Mandiri KUA Pamulang Tangsel 2017, memilih tak menikmati lunch box
Rupanya usai Shalat Dzuhur di Masjid Nabawi keduanya dan beberapa teman lain tak ikut pulang ke hotel, melainkan pamit untuk mencari Mie Bakso. Untuk urusan makan selama di Mekah – Arafah maupun Madinah, jamaah haji regular mandiri Indonesia kini memang tak perlu lagi repot masak-memasak, atau mencari warung nasi tiap saat jam makan tiba.
Paling tidak, ada petugas catering PPIH (Panitia Pelaksana Ibadah Haji) Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah – Kementerian Agama RI yang akan mengantar lunch box & dinner box bagi jamaah.
Sebagaimana aturan yang tertera dalam buku Tuntunan Manasik Haji dan Umrah, jatah makan bagi jamaah Indonesia diberikan sebanyak 42 kali, dengan rincian: 18 kali (untuk 9 hari lunch & dinner) di Mekah, dan 24 kali saat tinggal di Mekah. Di puncak haji, selama 5 hari di Arafah dan Mina, kami juga menerima box makanan. Juga selama di perjalanan: saat di Asrama haji, di pesawat dan dalam bus serta saat di bandara.
Perjalanan haji regular mandiri Indonesia berlangsung 40 hari, dan ada hari-hari (sekitar 10 hari) saat di Mekah dimana jamaah tak mendapat jatah makan. Tapi don’t worry. Karena untuk itu, plus kebutuhan sarapan pagi, Pemerintah sudah menyiapkan living cost sebesar SR 1500. Dana yang memang menjadi hak kami itu diberikan kepada jamaah saat masih di Asrama Haji di Jakarta, menjelang terbang ke Arab Saudi.
Untuk keperluan sarapan pagi, dan membelanjakan dana living cost yang dihemat-hemat di dompet, di hari ke-9 di Madinah, usai Subuh sekaligus usai menggenapkan shalat Arba’in yang setara shalat fardlu 40 waktu tak putus, saya dan Resti tergelitik juga untuk ‘napak tilas’ jejak teman-teman sehotel, mencari lokasi warung bakso Indonesia yang katanya amat lekker dan ngangenin, hi…hi…hi…!
Ditolak, dan lalu disuka
Sejujurnya, kuliner mie dan bakso serta berbagai variannya, bukan merupakan hidangan asli Nusantara. Sejarah mencatat, mie dan bakso berasal dari budaya China atau kita menyebutnya Tiongkok.
Orang-orang asal dataran Tiongkok pula, sekian abad silam, yang membawa pengetahuan tersebut masuk ke Nusantara, yang lantas populer sebagai bagian dari kuliner Peranakan Tionghoa.
Mie sebagai bahan pangan olahan yang banyak mengandung karbohidrat, cepat diserap dan berakulturasi dengan budaya di Nusantara. Paling tidak, kehadiran mie sebagai pangan setara nasi, segera diterima.
Berjenis mie dibuat di Indonesia, dan berjenis kuliner berbahan dasar mie, juga bermunculan dan memasyarakat. Bahkan berbagai produk mie instan Indonesia, kini berjaya di banyak pasar di luar negeri.
Tapi tak demikian dengan bakso, pangan olahan berbahan daging cincang yang dilumuri tepung lalu direbus bulat-bulat. Hingga tahun 1960-an, bahkan di Jakarta, bakso dan kuliner mie yang menyertakannya tetap masih dianggap sebagai sesuatu yang asing dan masyarakat (khususnya kaum muslim yang merupakan bagian terbesar dari warga Indonesia) menghindari untuk menikmatinya.
Saya jadi ingat almarhumah Emak saya, ibunya ibu saya ( nenek) , yang serta-merta menolak membeli, saat Abang saya merengek minta dibelikan Bakmi Bakso yang dijual seorang laki-laki di warung tenda bawah pohon pinggir jalan aspal di depan gang kampung kami. “Ntu bukan budaye kite. Bahan dagingnye nggak halal buat kite, orang Selam. Emak bikinin Mie Kocok Bogor aje, ye…! Rasanye? Nggak kalah enak…,” kata Emak.
Dalam Bahasa Betawi yang kental, Emak ingin bilang pada kami para cucunya, bahwa kuliner Bakmi atau Mie Bakso saat itu belum jadi bagian dari budaya kite (kita), orang Indonesia.
Lagi pula, bahan daging untuk bakso pun umumnya masih menggunakan daging jenis hewan yang (berdasar hukum Islam) tidak halal dimakan oleh orang Selam atau orang Islam/muslim. Sebagai ganti, Emak bikinkan kami Mie Kocok Bogor
Emak bukan anak sekolahan. Tapi Emak benar. Saat itu kitaran tahun 1963 dan saya duduk di Kelas III Sekolah Rakyat (kini Sekolah Dasar), Mie Bakso memang belum populer di masyarakat.
Sejujurnya, tempo itu masih dianggap makanan kuliner asing, atau kuliner Peranakan Tionghoa yang belum lazim dikonsumsi masyarakat Indonesia, apalagi oleh kalangan keluarga Muslim.
Tapi zaman berlanjut, dan pengetahuan orang akan sesuatu kian berkembang. Belakangan masyarakat menyadari bahwa bakso adalah sekadar nama jenis bahan pangan olahan, terbuat dari daging cincang yang dicampur adonan sagu tapioka, lalu direbus atau dikukus bulat-bulat. Halal tidaknya sebutir bakso, bergantung dari bahan daging apa bakso itu dibuat dan bagaimana cara mengolahnya.
Tahun 1970-an terjadi semacam revolusi di bidang kuliner bakso, dari hidangan yang tadinya cenderung dihindari, lantas menjadi kuliner yang digemari masyarakat.
Belajar dari kaum Peranakan Tionghoa, ihwal bagaimana membuah bakso yang baik dan enak, bakso (dari daging sapi, ayam, ikan atau bahan lain yang dihalalkan) dibuat dimana-mana. Pedagang Mie Bakso keliling laris-manis dibeli masyarakat luas.
Si Doel Anak Karawang
Berapa banyak orang Indoneia penyuka bakso? Belum ada data statistik resmi ihwal itu. Namun khabarnya, di luar Tiongkok (negeri asal bakso) menggemar bakso di Indonesia tak terbilang banyaknya.
Buktinya, di mana-mana, yang namanya warung bakso di Indonesia cenderung selalu diserbu pembeli. Potensi pasar yang besar, mendorong pengusaha membuka warung bakso di mana orang Indonesia ngumpul.
Kita tahu, jamaah haji dan umrah terbesar tiap tahunnya datang dari Indonesia. Tahun 1437 Hijriyah atau tahun 2017 misalnya, haji regular resmi Indonesia tercatat 221.000 orang.
Diluar musim haji, tiap minggu ada ribuan jamaah umrah Indonesia berkunjung ke Mekah dan Madinah (termasuk Jedah). Bayangkan bila 10 persen saja penyuka bakso, atau mudah kangen pada masakan Indonesia?
Bisa jadi fenomena sosial ini yang mendorong pengusaha berfikir jernih, membuka usaha, di dua kota yang menjadi pusat budaya Islam, yakni Mekah dan Madinah.
Warung makan yang menjual ragam menu tradisional Indonesia yang amat ngangenin ‘lidah Melayu dengan hidangan unggulan: Mie Bakso, dan warung makan yang masing-masing punya nama resmi itu pun populer sebagai Warung Bakso Indonesia.
Ada beberapa warung bakso Indonesia di Madinah. Tiga tempat yang terlacak adalah Bakso Grapari yang warungnya ‘nempel’ di pusat layanan Telkomsel Grapari Madinah di Lt RF/M1 Hotel Salahiyah (Hotel Mubarok), Madinah.
Di sebuah ‘pasar tumpah” dekat hotel kami menginap, juga saya temukan poster penunjuk arah menuju Warung Bakso Si Doel di Lt M Hotel Jamarat, Al Rsyed Street, Bab Salam, Gate 7 Nabawi.
Tapi untuk sarapan pagi itu, saya dan Resti memilih mendatangi Bakso Si Doel yang plang iklannya menyebut terletak di Hotel Royal Andalus/Andalus Suite Lt Mezanine (naik satu lantai lewat tangga Hotel Mahd), di Pintu 21 yang terletak di bagian utara Masjid Nabawi, tak jauh dari bundaran taman yang dihiasi ‘patung’ jam penunjuk waktu, yang dikenal masyarakat sebagai Taman Merpati
Jujur saja, saya tergelitik datang ke Bakso Si Doel, karena mengingatkan pada novel Si Doel Anak Betawi karya Aman Datoek Mojoindo terbitan Balai Pustaka tahun 1932, atau serial sinetron laris Si Doel Anak Sekolahan karya Rano Karno.
Sebagian besar skenarionya ditulis teman saya, novelis Harry Tjahjono. Siapa mengira, Warung Bakso Si Doel nyatanya tak ada kaitannya dengan kisah Anak Betawi sukses itu.
Tak jelas, kapan Bakso Si Doel yang punya beberapa cabang (termasuk di Mekah dan Jedah) itu hadir Kota Madinah Al-Munawarah? Namun konon, ini merupakan jaringan jasa usaha warung makanan milik pengusaha asal Karawang, Jawa Barat, Indonesia.
Si pengusaha, entah siapa, berhasil menangkap satu sifat umum orang Indonesia yang cenderung selalu kangen hidangan rumah, dan lalu hadirlah Warung Bakso Si Doel.
Sebagai tempat makan, resto atau warung Si Doel tak cuma menyediakan Mie Bakso ataupun Bakso Kuah. Ragam menu populer khas Indonesia tersaji tiap hari. Di jam makan siang misalnya.
Tersedia pula ragam lauk-pauk populer Nusantara untuk teman makan nasi putih dari bulir-bulir beras jenis Cianjur atau Cisedane kiriman langsung dari Indonesia. Ada pula Balado Ikan Kembung, Semur Jengkol, dan Oseng-Oseng Pare.
Bisa jadi bagi kita orang Indonesia, ragam sajian menu di atas merupakan hal biasa. Tapi pagi itu, agustus tahun 2017, saya sedang berada jauh di negeri orang. Di hotel memang tersedia lunch box atau dinner box yang juga rasa Indonesia.
Tapi, ini ”Mie Bakso Favorit saya, dan surprised karena nyatanya juga dijual di Madinah,” kata seorang teman. Semua pun terdiam berdecap, goyang lidah menikmati Bakso Si Doel.
Perlu sabar untuk dapat kesempatan makan di warung itu. Ruangmya memang cukup luas, berkapasitas sekitar 200 kursi. Tapi calon pembeli harus antre dalam barisan yang panjang mengular.
Bahkan untuk menu Mie Bakso ataupun Bakso Kuah, diterapkan sistem kupon. Pembeli yang sudah dapat kursi, memperoleh kupon dan sila menunggu pesanan sembari menikmati menu lainnya.
Berapa RS (Real Saudi) harus dikeluarkan Resti dari dompet untuk kami sarapan pagi di Warung Bakso Si Doel? Entah. Saya lupa ia pesan dan makan apa saja. Yang pasti saya cuma meneguk sebotol air mineral (disediakan secara cuma-Cuma untuk siapapun pengunjung), plus semangkuk Bakso Kuah seharga RS13 dengan konversi kurs tempo itu RS 1 senilai Rp 3400