SENTUL, bisniswisata.co.id: Jelang Ramadhan, adanya larangan mudik Lebaran dan setahun lebih tidak pernah berjumpa dengan kakak- kakak membuat saya mengirim WA untuk minta berjumpa, tentunya dengan protokol kesehatan yang ketat.
Permintaan si bontot dipenuhi karena selama pandemi global COVID-19 setahun lalu kami hanya berjumpa lewat video call dan zoom. Meski belum tuntas dengan vaksinasi kedua, sehari jelang hari H masing-masing swab test antigen dan mengunggah hasilnya di WA grup termasuk Tien ajudan rumah tangga yang akan ikut serta.
Menginap di Villa Bundar, kawasan Sentul, Kab. Bogor akhirnya terwujud. Siang setelah sholat dhuhur kami berangkat dengan dua kendaraan menuju Sentul. Dua keponakan milenial memesan tempat untuk staycation selama tiga hari dua malam melalui online travel agent ( OTA) untuk memfasilitasi orangtua dan saudara-saudara kandungnya usia 62 – 71 tahun guna melepas kangen.
Perjalanan dari Kelapa Gading hingga Sentul kurang dari satu jam, namun memasuki Sentul City yang bertransformasi menjadi kota hunian sekaligus pariwisata di ketinggian 250-500 meter di atas permukaan laut perut sudah keroncongan karena belum makan siang.
Sebuah restoran yang dilewati di Ruko Pinus Niaga no: 1 cukup menggoda hingga akhirnya rombongan turun atas komando Ramadi. Menunya lumayan beragam sampai ada trancam Jawa, semacam urap yang isinya sayur-sayuran berupa kacang panjang, timun, dan tauge dengan rasa yang pas dan fresh kesukaan alm pak suami dan alm ibu mertua saya.
Tempatnya homey, dari depan pintu ruko, sedangkan pintu belakang langsung berhubungan dengan kluster perumahan dengan kountur tanah pegunungan dengan pohon-pohon pinus.
Perjalanan dilanjutkan sekitar 5 km melalui rumah-rumah penduduk lokal dan berhenti disebuah halaman mirip pintu masuk sebuah kebun yang rindang penuh pepohonan. Ternyata di dalamnya ada villa bundar dengan kolam renang yang terawat baik.
Anak-anak dari Drs Haji Abdul Kadir Sabri dan Hajjah Halimatun Tamkin ini enam orang terdiri tiga lelaki dan tiga perempuan. Kami langsung berhamburan masuk mirip kegiatan camping jaman SD dulu sambil menenteng tas.
Bagian bawah villa ada satu kamar dan dapur yang luas serta dua meja kayu menghadap kolam renang. Area ini menjadi terminal enam saudara kongkow sambil bertukar cerita saat masa kecil kami tinggal di Jalan Cipayung I/ 5, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Dulu, saat SD, sayalah yang sering diutus ke warung Bang Amat untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Maklum bontot, urusannya yang ringan saja belanja dan bersih-bersih, lap-lap meja atau menyapu. Sedangkan dua kakak perempuan lainnya urusan dapur dan masak.
Lokasi warung dekat kali Ciragil dan sekarang dekat dengan Ketoprak Ciragil yang cukup digemari masyarakat. Biasanya sehari saya bisa bolak balik tiga kali ke warung dan kadang jumpa teman sehingga lupa buru-buru pulang.
Cerita masa kecil menjadi obrolan sampai sore. Bagaimana ayah sebagai pendiri Muhammadiyah cabang Kebayoran Baru tergolong disiplin dalam soal agama dan ibunda Halimatun yang berprofesi sebagai bidan banyak menolong kelahiran ibu-ibu muda seputar Kebayoran, Blok A dan Bangka di tahun 1960 an itu
Ibu selalu pulang dengan oleh-oleh hasil kebun seperti pepaya, pisang, singkong, ubi dan kadang bawa kue bolu. Karena dimasa itu banyak yang tidak bisa membayar biaya persalinan dan ibunda juga tidak pernah menagih bayaran.
Tahun 1949 ibunda sudah jadi bidan, konon angkatan pertama bidan CBZ nama awal Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo. Klinik Puskesmas di Jl Gunawarman dan RS Bersalin Taman Puring, Kebayoran Baru adalah tempat ibunda membangun institusi kesehatan itu dari awal berdirinya.
” Ingat bu guru mengaji datang, adik- beradik malah kaburr. Ayah dan ibu lagi bekerja, kakak tertua keluar lewat garasi ke rumah tetangga sehingga bu guru ngaji menunggu tidak ada muridnya,” kata Fatimah Bandarsyah, si sulung terkekeh-kekeh.
Akibat kenakalan seperti itu pastinya ayah marah besar di meja makan. Namun ibunda selalu bisa menenangkan ayah sehingga suaranya langsung surut dan kami bisa makan dengan tenang.
Cerita di masa G 30 S PKI, kondisi perekonomian negara sangat sulit masyarakat makan bulgur, jagung hingga cerita makan telur yang harus dipotong dan dibagi rata muncul di tengah perbincangan.
Untunglah sebagai pegawai negri, ayah dan ibu tergolong kreatif. Ayah punya usaha kontrakan, halaman rumah diisi dengan tanaman sayuran, tanaman bumbu dapur, singkong dan ternak ayam. Jadi dimasa sulit itu 6 bersaudara tetap minum susu kedele, makan 4 sehat lima sempurna dan bebas makan telur sampai bisulan.
Tiga anak lelakinya Hilmi, Halim dan Hilman punya keahlian mengolah tanah lempung menjadi mainan patung ( boneka), alat masak dan mainan lainnya. Kakak perempuan no: lima, Hilma suka sekali main masak masakan dan tugasnya memang membantu kakak no: satu, Fatimah, untuk masak padahal di rumah ada dua pembantu.
Kakak saya Hilmi juga sering membuatkan permen kopi, mirip permen kopiko sekarang ini padahal cuma pakai penggorengan. Dia juga kerap menbuat nasi kepel panggang blue band diisi abon. Pastinya kreasi sendiri saja biar adik bontotnya tidak jajan sembarangan.
Nah mainan buatannya yang sampai sekarang tidak akan lupa adalah dari kulit jeruk Bali yaitu mobil-mobilan ditarik tali. Maklum tahun 1960 an masih langka mainan. Kulit jeruk Bali oleh ketiga kakak yang kreatif itu bisa dibikin bentuk lainnya sehingga rumah kami ramai dengan anak tetangga.
Untuk main boneka biasanya masih pakai kertas dilipat-lipat, dibentuk salib lalu diikat benang di ujungnya. Wajah bonekanya digambar sendiri mau anak perempuan atau laki-laki. Lalu diberi baju dari kertas juga.
Kalau untuk rumah-rumahan biasanya sudah banyak yang jual bangku, lemari, tempat tidur mungil pokoknya satu set. Penjualnya depan Kebun Raya Bogor, salah satu destinasi wisata andalan di masa itu.
Kalau sudah main masak-masakan dan boneka kertas memang asyik. Biasanya sampai ayah pulang kantor halaman rumah masih ramai dengan teman-teman. Mobil Landrover masuk garasi disambut riang. Kadang ayah ikut nimbrung ajak kami berkumpul duduk di ruang tengah dan mulailah dia mendongeng.
Maklum belum banyak yang memiliki TV. Itupun dengan satu channel TVRI saja. Oleh karena itu kepandaian ayah mendongeng membuat kami sering melongo, pilihan ceritanya bisa beragam ada Abunawas, Tarzan cerita-cerita rakyat dan banyak cerita rekaan ayah juga karena saat mendongeng ( Story telling) ayah tengah mendidik anak kandung dan anak-anak komplek dengan pendidikan karakter.
Kalau jaman sekarang, cerita ayah itu mencakup Emotional Spiritual Quotient ( ESQ). Soal kepatuhan untuk ibadah, bagaimana kondisi neraka dan surga bisa diceritakannya dengan santai dan menyenangkan meskipun kami semua juga jadi takut.
Pertemuan penuh makna
Saat duduk bernostalgia masa kecil itulah kami dikejutkan berita duka wafatnya Tuti Arundale teman saya semasa SMA yang tinggal di Inggris dan kembali ke tanah air hanya beberapa hari lalu wafat karena CA serta wafatnya Luki, seorang sepupu.
Itulah kenyataan sehari-hari yang kita temui, dapat kabar duka karena penyakit komorbid atau akibat COVID-19 yang sudah memakan korban jutaan nyawa di dunia. Pertemuan enam bersaudara ini jadi semakin bermakna, selagi ada umur, selagi bisa bertemu, sebelum maut menjemput, pertemuan ini sungguh bermakna.
Untunglah sore itu, kakak sulung kami sesuai sifatnya selalu mengatur kami untuk jaga jarak, tertib bermasker di meja panjang tepi kolam renang itu. Cerita nostalgia dan leadership dari kedua orangtua membuat kami enggan beranjak dari meja makan dengan mulut yang terus ngemil.
Berkumpul bersama, ibadah bersama dengan sholat berjamaah menjadi lebih intens keesokan harinya hingga kami juga membahas niat bersama membangun sebuah rumah ibadah untuk keluarga besar Sabri maupun masyarakat umum lainnya.
Lokasinya terutama di Bengkulu tempat ayah dibesarkan, meskipun leluhurnya berasal dari Bukit Tinggi, Sumatra Barat dan Bugis, Sulawesi Selatan. Keputusannya pulang dari villa kami berbagi tugas untuk mengkomunikasikannya pada sesepuh keluarga besar tentunya.
Ayah yang terakhir menjadi Kepala Kantor Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengabdikan dirinya untuk mengajar,mengasuh Universitas Muhammadiyah yang ikut didirikannya bersama Rumah Sakit Islam, Jakarta. Memiliki anak, menantu dan cucu-cucu serta keturunan lainnya perlu dipikirkan pendidikan agamanya hingga ke liang kubur.
Begitu pula keturunan dari dua kakak dan adik-adik ayah sebagai anggota Keluarga Besar Sabri yang kini jumlahnya sudah menjadi seratusan orang perlu kompak dan ikut terlibat. Ayah terlahir sebagai anak ke tiga dari 8 saudara dari Ibu bernama Ramlah dan ayah bernama Sabri.
Hari kedua aktivitas terganggu hujan tapi sejak pagi hari aktivitas olahraga lebih mendominasi mulai dari Senam Perkasa Indonesia, gerakan senam asal Bandung yang mampu menguras keringat dengan cepat. Di lanjutkan dengan main basket, pingpong dan berenang untuk terapi syaraf.
Kelucuan tidak terelakkan karena aktivitas lansia yang sudah menurun pendengaran dan daya ingat malah menjadi bumbu pertemuan dan mengundang tawa. Apalagi Tien, asisten rumah tangga bercerita mengirim foto aktivitas kami di villa pada seorang adiknya dan langsung dibalas pertanyaan, lagi di panti jompo mana iki mbak ?.
Ya, kami hanya berkumpul berenam karena pasangan hidup rata-rata sudah kembali ke alam baqa. Tinggal Hilman yang masih didampingi istri tercinta dan tidak ikut ke Villa. Kalau adik Tien mengira kami penghuni panti jompo tidak salah juga karena kepalanya rata-rata sudah putih.
Aktivitas selanjutnya membuat dokumentasi foto dan video. Tugas sayalah mewawancarain kakak sendiri satu-persatu sehingga sepulang nanti kami bisa merangkumnya dalam sebuah tayangan video menarik untuk anak dan cucu.
Rasa haru, menangis bersama, tertawa bersama selama proses pengambilan video tidak terelakkan hingga akhirnya hari menjelang sore kembali. Turunnya hujan kembali menghentikan aktivitas di hari kedua sehingga sisa waktu untuk beribadah dan meringkuk di dalam selimut karena Sentul memilki udara pegunungan.
Pagi hari berikutnya, awan tebal masih menggantung. Semalaman memang hujan lebat. Lima kakak pilih duduk mengobrol sambil menyantap makan pagi di bangku panjang. Saya masih bisa menyelesaikan renang dan gerakan senam di air karena syaraf ke jepit di pinggang kanan.
Packing dan mengumpulkan semua barang bawaan jadi aktivitas sepanjang pagi, apalagi matahari bersembunyi terus dibalik awan. Jam sepuluh pagi dua mobil dikendarai Evy dan Reza sudah tiba. Ada Gojek pula datang membawa kiriman tiga pizza box dari keponakan.
Alhamdulilah usai sholat dhuhur meninggalkan Villa Bundar menuju Jakarta. Pulang kali ini dengan misi membuat rumah ibadah. Kalau dananya terbatas buat Rumah Hafiz Quran, tempat mencetak anak, cucu dan masyarakat menjadi penghafal Al-Quran.
Kalau cita-cita besarnya ya buat Mesjid yang indah, bisa jadi tujuan wisata juga, bisa untuk pendidikan umat termasuk non Muslim bahwa Islam itu agama yang Rahmatan Lil Alamin. Islam untuk semua. Semoga Allah ridha dengan semua makna yang kami berikan ini, untuk Indonesia, untuk Nusantara, untuk Dunia.