SOSOK

Ketika Novel Teo Toriatte Mengikat Hubungan Aceh - Fukushima

Akmal Nasery Basral saat  menyerahkan novel kepada Plt. Gubernur Aceh Ir. H. Nova Iriansyah, MT pada Peringatan 15 Tahun Tsunami di Sigli, Pidie, 26 Desember 2019.

JAKARTA, bisniswisata.co.id: Pernah membaca novel yang membuat pembacanya hanyut dalam jiwa tokoh utama ciptaan si penulisnya ? Carilah di Gramedia, penerbit buku novel Teo Toriatte ( Genggam Cinta) karya Akmal Nasery Basral, sastrawan Indonesia yang pernah menjadi wartawan majalah berita selama hampir dua dekade.

Kepiawaiannya mendiskripsikan situasi, kondisi, lokasi, karakter serta mengisi ‘jiwa’ dalam tokoh-tokoh ciptaannya itu dijamin membuat pembaca langsung merasa dekat dan riil berada dalam peristiwa yang dirangkai menjadi kisah hidup tokoh utamanya ini.

Meutia Ahmad Sulaiman baru berusia 14 tahun ketika tsunami Aceh menewaskan kedua orangtua dan ketiga adiknya pada 26 Desember tahun 2004. Dia selamat setelah tersangkut di tiang kapal yang terdampar di pemukiman warga.

Kisah Meutia mendapat liputan media massa internasional dan menarik perhatian suami-istri Hiroshi & Harumi Mishima di Fukushima, Jepang, untuk mengadopsinya sebagai anak. Apalagi anak tunggal mereka juga telah wafat karena kanker otak.

Proses adopsi bisa menjadi lesson learn buat semua orangtua yang ingin memiliki anak adopsi karena Hiroshi dan Harumi sadar betul mereka berasal dari negara, bangsa dan budaya yang berbeda dengan calon anak angkatnya ini.

Sementara anak adopsinya sudah ABG ( anak baru gede) yang punya kecintaan  kuat dengah tanah rencong tempat kelahirannya, dimana orangtua dan ketiga adiknya juga lenyap di telan bumi oleh tsunami. Tinggal Meutia sebatang kara yang harus survive dan sukses dalam menjalani kehidupan barunya.

Sadar cinta tidak dijual di toko manapun termasuk melalui aplikasi dunia maya. Calon orangtua Meutia ini punya kebesaran jiwa yang luar biasa dan paham dengan psikologis serta kejiwaan dari Meutia jika langsung dibawa ke Jepang. 

Oleh karena itu setelah proses adopsi berjalan dibantu Kedubes Jepang di Jakarta dan pertemuan ketiganya di Banda Aceh, Meutia tetap tinggal untuk menyelesaikan sekolah hingga tamat SMA di Jakarta. 

Untungnya gadis asal desa Lampok, Aceh ini seperti remaja lainnya punya cita-cita berkunjung ke ibukota Jakarta sehingga tawaran sekolah SMA di Jakarta langsung diterimanya. Tentunya semua dengan biaya sepenuhnya dari orangtua angkatnya itu.

Hubungan jarak jauh Meutia dengan Hiroshi dan Harumi akhirnya membuka hati Meutia untuk melanjutkan kuliah dan tinggal di Jepang bersama keluarga barunya. Tamat SMA, Meutia sempat belajar bahasa Jepang selama setahun penuh di Japan Foundation, Jakarta, sambil menunggu keluarnya beasiswa untuk kuliah di Fukushima, Jepang.

Belajar tekun dengan hasil yang selalu membanggakan adalah salah satu motivasi Meutia untuk membanggakan keluarganya yang diyakininya sudah berada di surga maupun bagi kedua orangtua angkatnya yang berasal dari Fukushima, Jepang. 

Tiga bencana ( Triple disaster ) 

Prefektur Fukushima yang terletak di wilayah Tohoku, Pulau Honshu, Jepang dengan Ibu kotanya adalah kota Fukushima menjadi tempat tinggal baru bagi Meutia yang mendapatkan beasiswa untuk menjadi seorang ahli komputer dan menjadi kampung halaman kedua orangtua angkatnya 

Untuk beberapa tahun selanjutnya Meutia merasakan kebahagiaan sebuah keluarga. Apalagi Harumi sebagai ibu barunya punya hubungan yang sangat dekat dengannya. Meutia dan Harumi begitu klop dan sang ibu kerap membawanya berwisata.

Di dekat rumah mereka ada danau yang pantulan airnya sangat indah, sehingga dijuluki pantulan surga. Inilah Danau Inawashiro yang pada musim dingin, danau ini terkenal sebagai spot migrasi untuk angsa dan merupakan danau terbesar keempat di Jepang.

Meutia juga pernah diajak mengunjungi obyek wisata makam sembilan Samurai pendiri kota Fukushima. Saat di makam itulah Harumi paham bahwa Meutia masih menyimpan luka lama kehilangan orangtua kandung dan tiga adiknya karena tubuhnya gemetar. 

Harumi mengingatkannya agar tidak takut pada mereka yang sudah wafat karena mereka yang sudah pindah alam itu bahagia.” Justru mereka yang masih hidup yang berpotensi berbuat jahat pada kita,” ungkap Harumi.

11 Maret 2011, Meutia tengah berada di kampus Universitas Fukushima ketika dia melongok ke jendela dan melihat ribuan angsa terbang beriringan di udara. Tak lama kemudian gempa berkekuatan 9,1 scala richter melanda. 

Saat semua orang di kelas melakukan standar operation procedure ( SOP) jika terjadi gempa, Meutia menyadari gempa yang kuat ini akan disertai dengan tsunami seperti pengalamannya 7 tahun sebelumnya di Aceh.

Tanpa memperdulikan situasi chaos disekitarnya, Meutia berlari mengambil sepeda untuk pulang ke rumah guna menyelamatkan kedua orangtuanya. Jarak yang biasa ditempuh 7 menit dari kampus. Namun kedua orangtuanya tidak ada, air bah menerjang rumah.

Ketika tersadar di rumah sakit, utusan kampus datang membawa foto Hiroshi & Harumi Mishima yang tinggal nama. Meutia kembali kehilangan keluarga barunya sehingga mengalami trauma. Lebih parahnya lagi dia tidak pernah bisa kembali ke rumah orangtua angkatnya itu karena dilarang pemerintah akibat tingkat radiasi yang tinggi.

Pedih rasanya, menimbun kenangannya di rumah itu. Masih terngiang-ngiang semua ucapan Hiroshi dan Harumi saat  Meutia pamit kuliah dan kedua orangtuanya hari itu akan pergi ke Sendai, kota pinggir pantai pula. 

Tiba-tiba kini dia berada di rumah sakit, harus meninggalkan rumah yang dia tinggali  tanpa boleh membawa pergi apapun dan dilarang untuk kembali ke sana sampai kapan?. Padahal dia sudah merasa hommy karena kota ini dipenuhi pegunungan, sawah-sawah, serta lautan yang membentang di sepanjang sisi jalan yang dibatasi oleh tembok pemecah ombak serta pohon-pohon pinus. 

Tidak ada bangunan-bangunan pencakar langit di kota ini, kota yang masih hijau. Meski tidak sama dengan Desa Lampok, Aceh tempat asalnya, Fukushima yang masuk dalam regional Tohoku, sekitar tiga jam menggunakan kereta api dari Tokyo, Jepang sudah menjadi rumah kedua dengan begitu banyak cita-cita dan rencana yang ingin diwujudkannya.

Hari itu  Jepang dilanda bencana hebat. Gempa berkekuatan lebih dari 9,0 SR menghantam wilayah pantai timur laut serta mengakibatkan dua bencana susulan sekaligus tsunami dan hancurnya reaktor nuklir di Fukushima yang disebut publik sebagai peristiwa Triple  Disaster (tiga bencana).

Meutia tidak sendiri, ada lebih dari 160 ribu orang mengungsi akibat bencana nuklir terburuk kedua yang terbesar, selain kebocoran reaktor nuklir Chernobyl pada 1986 di Pripyat, Ukraina ketika masih menjadi bagian dari Uni Soviet.

Akmal di PLTD Apung yang terseret sejauh 5 km ke pemukiman penduduk di Punge, Banda Aceh. Kini PLTD itu menjadi obyek wisata.

Post-Traumatic Stress Disorder ( PTSD)

Peristiwa yang menewaskan orangtua angkatnya, membuat hidup Meutia kembali terpuntir pusaran traumatik yang meretakkan jiwanya. Protespun dilayangkan pada sang pencipta mengapa harus mengalami dua kali bencana tsunami.

Kekecewaan yang mendalam dan protesnya dituangkan dengan meninggalkan sholat, lepas hijab. Meski Meutia masih meneruskan kuliah pasca tsunami, namun tampilannya sudah berbeda.

Dia berpakaian layaknya remaja Jepang di Harujuku bergaya J-Pop, lepas hijab dan tampil dengan pakaian serta rambut warna-warni. Padahal almarhum Hiroshi dan Harumi sejak kedatangan Meuetia memberikan kebebasan penuh untuk sholat, mengaji tiap hari. Bahkan mereka sehari-hari ikut mengkonsumsi makanan sehat, makanan halal kaum Muslim.

Itulah bentuk protesnya pada Allah SWT, sang pencipta karena dua kali mengalami tsunami dan kembali kehilangan keluarga yang amat berharga. Belum lagi setiap malam kesulitan tidur dan kerap dihantui halusinasi. Dia bahkan harus melawan dorongan bunuh diri untuk mengakhiri hidupnya.

Kesepian dan hari-harinya di asrama kampus membuat gadis ini kerap mengalami halusinasi,  membawanya ke suatu sensasi yang diciptakan oleh pikirannya tanpa adanya sumber yang nyata. Gangguan ini mempengaruhi kelima panca inderanya dan Meutia seolah melihat, mendengar, merasa, atau mencium suatu aroma yang sebenarnya tidak ada. 

Bukan itu saja, dia malah terperangkap Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) akut yang dialaminya, dan harus berjibaku mewujudkan mimpi menjadi Doktor Computer Engineering. Sementara di kampus mulai mendapat perhatian khusus dari pria muda Jepang yang calon pakar Genom.

Meutia tidak menanggapi pendekatan yang dilakukan pria itu apalagi sebagai mualaf malah sering menceramahi penampilannya dan mengingatkan untuk rajin sholat dan kembali berhijab. Sementara nalurinya sebagai wanita tetap menyala untuk mencintai dan dicintai, memiliki kekasih, menikah dan memiliki anak dan keluarga sendiri.

Gempa di Indonesia tahun 2018 lalu seperti di Lombok, Palu dan Banten membuat Meutia kembali ke tanah air untuk menjadi tim peneliti Jepang. Kehadirannya diawal tahun 2019 memungkinnya bertemu dengan banyak orang, salah satunya adalah pembaca berita TV swasta yang pernah akrab dengannya semasa SMA.

Kembali ke Jepang, aktivitasnya terus berlanjut hingga akhirnya Meutia harus  memilih satu di antara tiga lelaki yang mencintainya; pakar genom ternama berkebangsaan Jepang, penyiar televisi Indonesia yang merupakan cinta pertamanya, atau psikiater—yang memiliki trauma karena ibunya bunuh diri—namun diam-diam mengidolakan Meutia sampai tahap obsesi ?

Buah manis dari Novel Teo Teriatte

Universitas Syiah Kuala ( Unsyiah), Aceh kembali mengaktifkan beberapa lembaga riset di bawah pusat penelitian dan pengabdian masyarakat (LPPM). Salah satunya Pusat Riset Perdamaian dan Resolusi Konflik (PRPRK) yang diketuai oleh Otto Nur Abdullah, mantan Ketua Komnas HAM RI.

Cuitan Akmal Nasery Basral tentang novelnya Teo Teriatte di media sosialnya medio November lalu diketahui masyarakat luas sehingga Pusat Riset Perdamaian dan Resolusi Konflik (PRPRK) Unsyiah meluncurkan buku ini pada 24  Desember 2019 sekaligus menjadi bagian dari peringatan 15 tahun tsunami Aceh yang di pusatkan di Sigli pada 26 Desember 2019 lalu.

“Media Jepang juga menulis ulasan yang diterbitkan 27 Desember 2019 lalu di negri Sakura itu atas isi Novel Teo Teriatte yang mengikat batin antara peristiwa tsunami kota Banda Aceh dan Fukushima, Jepang,” ungkap Akmal.

Akmal juga bertemu dengan Direktur Bagian Informasi dan Kebudayaan Kedutaan Besar Jepang, di Jakarta, Takahiro Wakabayashi. Bincang-bincang hangat menghasilkan banyak peluang yang bisa digarap pemerintah Jepang dan RI.

Takashiro mendukung jika ada sutradara film dari Jepang ataupun Indonesia yang mau membuat film kisah hidup Meutia Ahmad Sulaiman. Selain juga membahas peluang antara lain menjadikan Aceh dan Fukushima sebagai sister city, tambah Akmal.

” Tinggal di tindak lanjuti oleh Walikota Banda Aceh, Aminullah Usman untuk sister city dan peluang Jepang membuka beasiswa untuk pemuda/pemudi Aceh dan sebaliknya,” kata Akmal yang masih enggan disapa dengan panggilan ustad.

Novel ini sendiri dikembangkannya dari cerpennya yang berjudul ” Swan of the Rising Sun”  yang diikutsertakan pada proyek Solidaritas Penulis Internasional pada peringatan dua tahun tsunami di Fukushima Jepang pada 2013.

” Jadi saya hanya menulis, selebihnya Allah yang punya rencana karena cerpen yang hanya 6 halaman itu bisa menjadi novel dengan 300 halaman dan bisa melahirkan berbagai rencana ke depan,” ungkapnya.

Sama ketika dua karya novelnya yang  telah difilmkan masing-masing Naga Bonar (Jadi) 2 (2007) dan Sang Pencerah ( 2010) berkisah tentang kehidupan dan perjuangan KH Ahmad Dahlan yang dikenal sebagai pendiri organisasi massa Islam Muhammadiyah.

Pria asal Bukit Tinggi, Sumatra Barat ini menilai dukungan istrinya  Sylvia, dan ketiga putri mereka, Jihan, Aurora, Ayla untuk menulis novel-novel sejarah yang enak dibaca oleh semua kalangan terutama para remaja sangat besar.

Akmal pernah menulis Anak Sejuta Bintang, novel tentang masa kecil Aburizal Bakrie. Karya yang lain, di antaranya cerpen Legenda Bandar Angin pernah dinobatkan sebagai cerpen terbaik harian Pikiran Rakyat pada tahun 2006.

” Terus berkarya dan itulah sebabnya di bulan Febuari 2020 ini Insya Allah novel sejarah tentang Buya Hamka beredar diterbitkan oleh Republika dan April mendatang juga ada sekuel kedua karyanya yang berjudul Dilarang Bercanda Dengan Kenangan yang diterbitkan” kata Akmal.

Pria yang kini aktif berdakwah, mengisi sholat Jumat dan pengajian-pengajian, di luar minatnya pada bidang jurnalistik dan sastra ini mengaku optimistis dan menikmati semua empower yang tercipta dari novel terbarunya Teo Toriotte yang terkoneksi dengan beragam instansi maupun tokoh. Hal yang terpenting baginya adalah semua yang terjadi atas kuasa Allah SWT.

,

Hilda Ansariah Sabri

Pendiri, Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi dan pemegang sertifikasi Wartawan Utama Dewan Pers dan Ketua Departemen Pariwisata PWI Pusat (2018-2023)