Kursi raksasa berwarna merah yang kakinya patah satu yang menjadi icon PBB ini adalah kampanye anti perang dan anti ranjau.
JENEWA, Swiss, bisniswisata.co.id: Suhu udara 13 derajat celcius menyapa saat keluar dari ” belalai ” pesawat Etihad di Geneve Airport atau Jenewa Airport pukul 7.30 pagi waktu setempat. Alhamdulilah, akhirnya tiba juga di ” rumah” bagi sederet organisasi besar internasional, mulai dari PBB sampai dengan WHO.
Melihat semua tanda arah yang berbahasa Prancis, jadi optimistis bahasa yang saya pelajari di bangku kuliah bisa membantu petualangan dua oma di Eropa ini mulai dari Swiss yang tidak hanya menjadi markas bagi organisasi penting saja, melainkan juga menjadi salah satu icon di Eropa.
Proses imigrasi berjalan lancar setelah itu melewati toko-toko duty free yang menjual beragam item mulai dari produk, coklat, parfum, fashion, jam tangan hingga rokok dan produk elektronik. Kunjungan pertama ke Jenewa tahun 1990 an kembali muncul. Bagaimanakah ‘wajah’ kota ini karena kenangan yang membekas adalah Danau Jenewa saja di pusat kota.
Tiba di ruangan pengambilan bagasi dan fokus pada koper yang sedang berputar-putar, oma Dewi Stalini Kushariadi, besan yang menjadi teman seperjalan kesulitan mengambil trolley untuk membawa bagasi.
“Ibu dari Kementrian mana ?” tanya seorang pria berwajah Melayu di samping saya. Rupanya pak Rahmat dari kantor Perwakilan Tetap RI ( PTRI) di Jenewa mau menjemput rombongan para pejabat dari beberapa kementrian yang akan meeting di kota ini.
Selama di perjalanan memang saya sempat berkenalan dengan Ibu Gladis, Kabid Sumber daya Hayati Kemenko Maritim bersama stafnya Sendy dan Sammy yang akan mengikuti konfrensi di Genewa juga. Banyak juga rombongan dari Menaker, Deplu, Kementrian Hukum dan HAM serta institusi lainnya yang satu penerbangan dengan saya.
Di dalam pesawat saya bahkan sempat ngobrol dengan dua profesional muda yang bekerja di Abu Dhabi, tempat transit saya sebelum ke Jenewa. Mereka pulang mudik Lebaran bersama keluarganya di Jakarta dan Bandung dan kembali ke Abu Dhabi.
“Saya traveling berdua saja pak bersama bu Dewi, besan saya. Duo Oma ini mau jenguk keponakan saya Nuraina Bandarsyah atau biasa dipanggil Ina Bandarsyah yang bekerja di World Intelectual Property Organization ( WIPO) di Jenewa,” ucap saya menjawab pertanyaan pak Rachmat yang bertugas menjemput tamu-tamu PTRI.
Alhamdulilah pak Rachmat juga kenal baik dengan Ina dan langsung memberikan uang koin untuk melepaskan trolley serta membantu menaikkan 4 koper ke atas trolley dengan total seberat 54 kg dengan santai. Alhamdulilah rejeki anak soleha, terbebas dari encok pinggang karena beban mengangkat bagasi teratasi oleh pak Rachmat.
Keluar dari ruang bagasi, saya mengambil tiket gratis buat naik bus lalu kami berdua duduk menunggu di seberang counter telpon gratis buat penumpang yang perlu berkomunikasi untuk penjemputan. Ina yang akan menjemput belum tiba, tapi kami berdua asyik mempelajari fasilitas gratis lainnya yang menjadi bagian dari pelayanan airport Geneve ( Jenewa).
Nah rupanya ada Wi Fi gratis juga di sebelah telpon gratis. Caranya scan dulu boarding pass milik kita lalu akan keluar kertas berisi password untuk mendapatkan WI-FI. Setelah itu duduk manis di cafe sambil menunggu jemputan dan tetap terhubung dengan dunia maya.
City Tour Jenewa
Begitu Ina datang menjemput kami langsung keluar dan menuju deretan taxi. Alhamdulilah urutan pertama taksinya ternyata mobil Jaguar. Sekitar 20 menit kemudian sudah tiba di apartemen Ina di Lignon Avenue dan sang supir senyum-senyum saja ketika kami minta difotoin dengan mobil Jaguar.
“Di Jakarta tidak ada taksi umum dengan mobil Jaguar begini pak. Buat cerita sama anak dan cucu yang mensupport perjalanan ini,” kata saya dengan bahasa Prancis yang meluncur begitu saja padahal belajarnya sudah 36 tahun lalu.
Selesai menata koper di apartemen dan beristirahat sejenak, perjalanan dilanjutkan dengan city tour pertama ke kompleks perkantoran Perserikatan Bangsa-bangsa ( PBB). Suasana kota Jenewa yang berada di ketinggian 375 dpl ini tampak sepi saat week-end. Mereka libur tiga hari karena Senin ini libur nasional dari perayaan agama Kristen Pantekosta.
Dewi Stalini langsung minta kami menuju Palais des Nations, kompleks perkantoran PBB. Konon tidak kurang dari 8.000 pertemuan internasional setiap tahun diselenggarakan mulai dari masalah ekonomi, kesejahteraan sosial, tenaga kerja, perlucutan senjata, pengungsi dan lainnya.
Cukup naik bis dari depan apartemen, kami sudah berbekal tiket naik beragam jenis transportasi yang ada untuk keliling Jenewa. Mbak Dewi ingin melihat misalnya ada simbol kursi raksasa berwarna merah yang kakinya patah satu. Ini kampanye anti perang PBB dan anti ranjau.
Di WA group teman SMP dan SMAnya banyak yang menyarankan biar afdol kalau sudah berada di Jenewa harus ada foto depan kursi merah itu, kata Dewi.
Di Jeneva, keberadaan UN atau PBB menjadi daya tarik sendiri. Benar saja begitu tiba baru kelihatan ada gerombolan turis tentunya untuk mengabadikan kantor UN tersebut berikut halaman luas dengan air mancur bersusun rapi.
Saya langsung menerobos deretan air mancur yang menyembur turun naik. Dewi juga langsung berfoto di bawah kursi raksasa yang satu kakinya patah. Kami lalu menyebrang ke pagar halaman luas penuh bendera negara-negara anggota. Hujan gerimis tidak menghalangi kami berpose bak sosialita dan selebriti.
“Kalau Ina bisa masuk ke gedung UN karena punya UN beige yang bekerja di WIPO, wisman cukup di luar saja,” kata Ina menjelaskan.
Konon Jenewa dipilih menjadi kantor PBB karena sejak Perang Dunia ( PD II), Swiss termasuk negara yang netral dan merupakan kota kelahiran filsuf kesohor, Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), seorang yang membawa ‘pencerahan’.
Dialah yang menginsipirasi revolusi Prancis dan pengembangan teori politik demokrasi, dimana dia menolak kekuasaan raja dan bangsawan, melainkan diganti dengan kehendak umum rakyat.
Bagi saya sendiri yang melekat saat mendengar kata Jenewa adalah tempat orang kaya menyimpan uang dari hasil bisnis halal maupun korupsi termasuk dari Indonesia. Jaminan kerahasiaan bank-bank Swiss pada umumnya dan Jenewa khususnya sudah menjadi kisah klasik.
Tidak pernah ada yang berhasil mengungkapkan, berapa sesungguhnya jumlah timbunan harta serta besarnya simpanan uang para koruptor di Geneva.
Rahasia tersebut dijaga erat sehingga kepercayaan kepada otoritas keuangan Swiss tidak pernah goyah walau zaman dan rezim datang silih berganti.
Pada sisi lain, keramahan warga Jenewa sangat menakjubkan, mungkin karena sudah berabad-abad kota ini menjadi ajang pertemuan antarbangsa. Ada lagi sih yang mengingatkan saya dengan Jenewa yaitu Palang Merah Internasional yang simbolnya ada di setiap souvenir.
Ada sedikitnya lima jam terkenal di dunia dari negri ini yaitu Rolex. Awalnya, perusahaan jam ini berdiri di London, Inggris pada 1905. Namun, pada 1919, ia bergeser ke Jenewa, Swiss hingga kini. Merk lainnya untuk jam bergengsi adalah Bomberg, Patek Phillipe, Tag Heuer dan Tissot.
Di kawasan komplek PBB ini bangunannya meski bertingkat tinggi sama saja, datar dan tidak mewah. Tapi ada obyek lainnya yang banyak dikunjungi turis yaitu Jardine Botanique ( taman botanik ). Namun karena cuaca mendung dan gerimis maka pilihan berikutnya menuju ke tengah kota.
Dari Palais de Nation, Ina mengajak kami naik trem ke stasiun kereta utama, Cornavin. Di atas trem ada papan iklan digital serta seruan jika seseorang mendapatkan perlakuan rasis, tidak adil dan bentuk ketidak nyamanan lainnya bisa mengadukan dan menghubungi telpon tertentu.
“Kita turun di stasiun untuk belanja dan beli SIM Card karena kalau hari libur semua toko, mall dan fasilitas umum termasuk perbankan hanya ada di stasiun kereta. Waktu pertama datang stress deh karena kotanya sepi,” kata Ina.
Keindahan Danau Jenewa
Lake of Geneva atau Danau Jenewa dan Flower Clock yang dikunjungi artis Syahrini dan Reino Barack saat berbulan madu ke Swiss juga menjadi sasaran kami untuk foto bersama. Masih banyak lagi target city tour hari ini tapi hujan dan cuaca mendung cukup menghambat aktivitas.
Ada sederet destinasi wisata menarik lainnya seperti Art and History Museum, International Red Cross and Red Crescent Museum sampai dengan Jet d’Eau atau air mancur terkenal di Jenewa yang airnya dapat mencuat sampai setinggi 140 meter.
Turun dari bis, kami berjalan sedikit menuju danau dan langsung berfoto di Flower Clock. Lumayan banyak peminat dari turis untuk berfoto di icon kota Jenewa ini sehingga harus foto dengan setengah tergesa-gesa.
Berada di tepi Danau Jenewa maka segala kepenatan dan stres yang menyelimuti tubuh juga pikiran akan terlepas. Saya ingat saat pertama kali datang di tahun 1994 meliput konfrensi internasional, saya suka menyempatkan duduk berlama-lama menghilangkan stres.
Keindahan alam yang terpampang luas di Danau Jenewa ini memukau karena ada kapal buat mengitari danau, deretan yacht parkir, burung-burung bersliweran maupun angsa putih yang berenang anggun hilir mudik dengan lehernya yang panjang menggemaskan.
Bangku-bangku yang mengitari tepi danau kosong melompong akibat cuaca gerimis. Padahal biasanya banyak orang yang bersantai di tempat ini hanya untuk sekedar ngobrol atau berdiam diri sambil menikmati keindahan.
Tidak hanya menikmati keindahan alamnya dari pinggiran saja, saya dan rombongan sempat berfoto ria di kawasan kota tuanya berdekatan dengan danau. Pokoknya tidak kalah dengan gaya maju mundurnya Syahrini deh, beragam pose juga kami lakukan layaknya foto model.
La Vieille Ville ( Kota Tua) merupakan salah satu tempat menarik untuk dikunjungi ketika berwisata ke Jenewa. Dikatakan sebagai The Old Town atau Kota Tua karena memang kota ini didirikan sejak beratus-ratus tahun lalu dan mayoritas bangunannya masih terjaga sampai sekarang.
Sejarah pertumbuhan Genewa adalah catatan pengalaman kerja sama antarbangsa. Sejak abad XVI, kota ini telah menjadi pusat penampungan umat Kristen Protestan yang lari menyelamatkan diri.
Pada tahun 1555, John Calvin mendirikan Academie, cikal-bakal University of Geneva, sebuah lembaga pendidikan tinggi dengan reputasi khusus dalam kajian tenaga nuklir untuk perdamaian.
Ingat pelajaran di Sekolah Dasar ( SD) ? di kota ini pula Henri Dunant tahun 1863 merintis lembaga penolong korban perang berikut bencana alam, diberi nama Palang Merah. Lambangnya kemudian merupakan kebalikan bendera nasional Swiss.
Stasiun Central Genève-Cornavin
Lumayan juga city tour dalam waktu 2,5 jam. Kami kembali ke stasiun kereta central dan masuk ke dalam Migros, super market yang menyediakan beragam kebutuhan. Mbak Dewi ingin menjamu tuan rumah dengan masakan kare ayam dan ikan balado.
Sambil menunggu Ina dan Dewi berbelanja, saya keluar dari Migros dan asyik melihat warga multietnis lalu lalang. Maklum di Swiss konon ada lebih dari 200 lembaga internasional berkantor sehingga mereka yang melintas di pintu utama stasiun juga datang dari beragam bangsa.
Di sebuah sudut, sekelompok senior citizen berbahasa Perancis dan usia 80 an tahun saling mengucapkan kata perpisahan dan mengatur jadwal pergi bersama lagi . Di sudut lain ada segerombolan pria Italia berpakaian necis dan berjas membagi-bagi uang diantara mereka.
Kontan saya jadi ingat film The Godfather dengan tokoh Vito Corleone seorang pemimpin mafia yang paling disegani di Amerika. Swiss memang mempunyai empat bahasa resmi: Jerman, Perancis, Italia, dan Romansh yang kurang populer.
Kota Jenewa dekat dengan perbatasan Prancis, bahasa sehari hari penduduk disini adalah bahasa Prancis. Berbeda dengan penduduk kota Zurich dan Bern yang berdekatan dengan Jerman yang menggunakan bahasa Jerman.
Sedangkan di Lugano, kota tepi Danau di Swiss selatan yang berdekatan dengan kota Milan, bahasa harian menggunakan bahasa Itali. Itulah sebabnya Swiss adalah negara dengan tiga bahasa Nasional.
“Assalamualaikum, bonjour madame,” sapa seorang pria sambil mengangguk ramah yang langsung saya jawab dengan Mualaikum salam. Pria Afrika yang nampaknya juga seorang Muslim itu ternyata hanya melintas. Namun keramahannya membuat saya nyaman ditengah keramaian sebuah stasiun besar.
Baru beberapa jam di Jenewa saya melihat banyak wanitanya yang memakai hijab juga. Menjadi Muslim traveler di Jenewa bukan masalah karena penerimaan warganya yang ramah.
Selain stasiun, paling mudah berjumpa dengan masyarakat Asia adalah dengan mengunjungi toko Thu Hang dekat stasiun juga. Beberapa bumbu yang tidak dijumpai di Migros kami cari di toko milik orang Vietnam.
Bener saja, jenis sayurannya komplit sampai toge, pete, ikan asin bahkan untuk kudapannya banyak kesamaan dengan di tanah air seperti kue lepet, biji salak dan makanan ketan lainnya.
Pengunjungnya selain dari Indonesia juga Thailand, Pilipina dan Vietnam sendiri yang membeli beragam kebutuhan. Alhasil hari pertama ini banyak pertemuan dengan warga dunia.
Sekitar jam 15.00 perjalanan berakhir dan kami kembali ke stasiun untuk naik bis yang langsung berhenti di depan apartement dan beristirahat panjang, mengumpulkan energi lagi untuk petualangan di hari kedua.