BOGOR, bisniswisata.co.id : Kebun Raya Bogor biasanya ramai oleh pengunjung di saat merayakan Lebaran. Tapi adanya pandemi virus COVID-19 memaksa saya kali ini ‘puasa’, tidak piknik ke ‘s Lands Plantentuin te Buitenzorg atau Kebun Raya Bogor (KRB) yang juga baru berulang tahun.
Padahal tanggal 16 Mei lalu KRB baru saja merayakan HUT ke-203. Di tahun-tahun sebelumnya, nyaris selalu saya berkunjung, sendiri ataupun bareng istri dan teman komunitas. Bagi saya, KRB bukan sekadar tempat menggelar tikar di hari Minggu, bukan sekadar tempat buat ngocok arisan sambil makan bareng tetangga atau konco lawas.
KRB juga bukan sekadar taman luas dan indah yang asyik dijadikan lokasi rekreasi keluarga. Lebih dari itu, KRB adalah satu dari sekian warisan dunia di Indonesia, yang berjarak hanya sekitar 60 Km dari Titik NOL Jakarta, museum tumbuhan terlengkap dunia, dimana kita bisa belajar khususnya jenis-jenis tumbuhan tropika.
Museum tempat tumbuhnya pohon Kelapa Sawit tertua di dunia, tempat singkong yang asal Amerika pertama kali dikembangbiakkan, tempat dimana anak-anak bisa melihat pohon yang beragam dan banyak lagi.
Jalan-jalan dan belajar di areal KRB yang superluas sungguh mengasikkan, karena langkah kita seperti masuk balik ke lorong waktu dua abad silam ketika VOC, usaha dagang Belanda di Hindia Timur bangkrut dan bubar pada 1 Januari 1800, dan Eropa dilanda perang, yang antara lain menyebabkan Kerajaan Belanda (penguasa tanah Nusantara tempo itu) jatuh ke tangan Inggris, antara tahun 1811 – 1816.
Perang Eropa dan kemelut politik yang terjadi saat itu, membuat perekonomian Belanda lesu. Normalisasi dilakukan dan Kerajaan Belanda mulai mengembangkan ilmu pengetahuan di tanah jajahannya di timur.
Cornelis Theodorus Elout, dan G.A.G.P. Baron van der Capellen dikirim ke Indonesia. Dalam misi itu, disertakan pula Prof. Caspar George Carl (C.G.C) Reinwardt, ilmuwan berkebangsaan Jerman yang pindah berkarir di Belanda, selaku penasehat.
Tahun 1816 CGC Reimward diangkat menjadi Direktur Pertanian, Seni, dan Pendidikan untuk Pulau Jawa. Reinwardt langsung memulai riset dalam bidang ilmu tumbuh-tumbuhan, Ia tertarik menyelidiki berbagai tanaman yang digunakan untuk pengobatan dan menganggap eksplorasi tumbuhan dan masalah pertanian juga merupakan tugasnya di Hindia Belanda.
Dalam kapasitas tersebut, Reinwardt berinisiatif untuk mengumpulkan dan mendata semua tanaman yang terdapat di sebuah ‘kebun botani’ di sekitar halaman Istana Bogor yang sebelumnya didiami oleh Letnan-Gubernur Thomas Stamford Raffles bersama isterinya Olivia Mariamne Raffles selama masa peralihan dari Pemerintah Inggris ke Kerajaan Belanda di Pulau Jawa pada tahun 1811 sampai 1816.
Samida, hutan buatan warisan Pajajaran
Kebun Botani yang terletak di dekat Istana Bogor (dibangun pada Agustus 1744 oleh Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron Van Imhoff, dan kini menjadi kediaman resmi Presiden RI, Joko Widodo) tak lain adalah “Samida” – hutan buatan yang dibangun pada abad ke-15 oleh Surawisesa, raja terakhir Kerajaan Pajajaran yang beribukota di Pakuan, Bogor.
Sebagaimana terpahat dalam Prasasti Batu Tulis yang dilestarikan di Desa Batutulis – Bogor, tak jauh dari Istana milik Bung Karno, disebutkan bahwa Raja Surawisesa membangun Samida, yakni hutan buatan di tengah kota pakuan.
Fungsinya sebagai areal konservasi alam sekaligus sebagai areal berburu dan berlatih ‘kanuragan’ para prajurit yang dipimpin Panglima Jalak Harupat (diabadikan menjadi nama jalan yang menghubungi Jl Pajajaran dan Jl Juanda di lingkar KRB).
Samida dibangun untuk memutus kebiasaan masyarakat menebang hutan secara sembarangan. Dengan adanya samida misalnya, kebutuhan masyarakat akan kayu bisa ditumbuhkembangkan lewat apa yang ditanam di samida. Jadi ihwal konservasi lingkungan, Indonesia sudah memulainya sejak zaman Pajajaran.
Di areal Samida, .kebun botani’ warisan Surawisesa dari Pajajaran itu, Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron Van Imhoff membangun Istana Bogor dengan taman luas dan indah dimana hingga tahun 1942 berturut-turut menjadi tempat kediaman para gubernur jenderal Belanda di Indonesia.
Di masa Raffles, Gubernur Jenderal Inggris dan penulis buku terkenal bertajuk Stories of Java (terbitan London, 1817), Samida mulai dikembangkan. Melalui bantuan seorang ahli botani William Kent.
Lahan yang awalnya merupakan halaman Istana Bogor ini dikembangkan menjadi sebuah kebun yang cantik. Raffles menyulap halaman istana menjadi taman bergaya Inggris klasik. Inilah awal mula Kebun Raya Bogor dalam bentuknya yang sekarang.
Pada tanggal 15 April 1817 Reinwardt mencetuskan gagasan untuk mendirikan kebun botani kepada Gubernur Jenderal G.A.G.P. Baron van der Capellen, gagasan tersebut kemudian disetujuinya.
Akhirnya, tanggal 18 Mei 1817, Gubernur Jenderal G.A.G.P. van der Capellen secara resmi mendirikan sebuah Kebun Raya di Kota Bogor, yang saat itu disebut Buitenzorg (dari bahasa Belanda yang berarti “tidak perlu khawatir”) dengan nama ’s Lands Plantentuin te Buitenzorg.
Di mana KRB didirikan Reinwardt? tak lain adalah di lokasi Samida (seluas sekitar 120 hektar) yang sudah termasuk di dalamnya Istana Bogor. Pendiriannya diawali dengan menancapkan ayunan cangkul pertama di bumi Pajajaran sebagai pertanda dibangunnya pembangunan kebun itu.
Pelaksaannya dipimpin oleh Reinwardt sendiri, dibantu oleh James Hooper dan William Kent (yang sudah bekerja sejak masa Raffles) dan sekaligus merupakan kurator dari Kebun Botani Kew yang terkenal di Richmond, Inggris.
Sekitar 47 hektar tanah di sekitar Istana Bogor dijadikan lahan pertama untuk kebun botani. Reinwardt menjadi pengarah pertamanya dari 1817 sampai 1822. Kesempatan ini digunakannya untuk mengumpulkan tanaman dan benih dari bagian lain Nusantara.
Dengan segera Bogor menjadi pusat pengembangan pertanian dan hortikultura di Indonesia. Pada masa itu diperkirakan sekitar 900 tanaman hidup ditanam di kebun tersebut. Reinwardt juga menjadi perintis di bidang pembuatan herbarium. Ia kemudian dikenal sebagai seorang pendiri Herbarium Bogoriense.
Pada tahun 1822 Reinwardt kembali ke Belanda dan digantikan oleh Dr. Carl Ludwig Blume yang melakukan inventarisasi tanaman koleksi yang tumbuh di kebun. Ia juga menyusun katalog kebun yang pertama berhasil dicatat sebanyak 912 jenis (spesies) tanaman.
Pelaksanaan pembangunan kebun ini pernah terhenti karena kekurangan dana tetapi kemudian dirintis lagi oleh Johannes Elias Teijsmann (1831), seorang ahli kebun istana Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch. Dibantu oleh Justus Karl Hasskarl, Teijsmann melakukan pengaturan penanaman tanaman koleksi dengan mengelompokkan menurut suku (familia).
Hal Ini merupakan sebuah kerja keras dimana sebagian koleksi KRB harus ditanam ulang dan memindahkan beberapa pohon yang terlalu besar, memberi label merah untuk menandai tanggal penanamannya yang masih dapat kita lihat sekarang.
Selama masa jabatannya, Teijsmann berhasil membawa ribuan spesies tumbuhan ke KRB dari perjalanan-perjalanannya ke berbagai negara. Dan atas jasanya, pihak KRB memberikan penghargaan berupa tugu peringatan di Taman Tijsmann dengan 4 spesies pohon jati dan verbena dari marga Teijsmaniodendron diambil dari namanya.
Teijsmann kemudian digantikan oleh Dr. Rudolph Herman Christiaan Carel Scheffer, pada tahun 1867 ia menjadi direktur dan digantikan oleh Prof. Dr. Melchior Treub.
Pisah dari istana
Setahun kemudian, pada tanggal 30 Mei 1868 kepengurusan KRB (seluas 67 hektar) secara resmi dipisah dengan kepengurusan Istana Bogor dan halamannya yang luas keseluruhannya mencapai 28,4 hektare, dan luas bangunan 14.892 m².
Awalnya KRB hanya digunakan sebagai kebun percobaan bagi tanaman perkebunan yang akan diperkenalkan di Hindia Belanda. Namun pada perkembangannya pendirian KRB nyatanya mengawali perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia, sekaligus sebagai wadah berhimpunnya ilmuwan terutama bidang botani di Indonesia secara terorganisasi pada zaman itu (1880 – 1905).
Sejarah mencatat, berawal dari KRB lah kemudian lahir lahir beberapa institusi ilmu pengetahuan, seperti Bibliotheca Bogoriensis (1842), Herbarium Bogoriense (1844), Kebun Raya Cibodas (1860), Laboratorium Treub (1884), dan Museum dan Laboratorium Zoologi (1894).
Setelah kemerdekaan, tahun 1949 ‘s Lands Plantentiun te Buitenzorg berganti nama menjadi Jawatan Penyelidikan Alam, kemudian menjadi Lembaga Pusat Penyelidikan Alam (LLPA) yang untuk pertama kalinya dikelola dan dipimpin oleh bangsa Indonesia, Prof. Ir. Kusnoto Setyodiwiryo.
Pada waktu itu LPPA punya 6 anak lembaga, yaitu Bibliotheca Bogoriensis, Hortus Botanicus Bogoriensis, Herbarium Bogoriensis, Treub Laboratorium, Musium Zoologicum Bogoriensis dan Laboratorium Penyelidikan Laut. Pada tahun 1956 untuk pertamakalinya pimpinan KRB dipegang oleh bangsa Indonesia yaitu Sudjana Kassan yang menggantikan J. Douglas.
Terkait pengembangan koleksi tanaman yang sesuai dengan iklim di Indonesia, KRB membangun beberapa cabang kebun raya lainnya, semisal: Kebun Raya Cibodas (Bergtuin te Cibodas, Hortus dan Laboratorium Cibodas) di kaki Gunung Gede-Pangrango, Jawa Barat.
Luasnya 120 hektar berada pada ketinggian 1400 mdpl, didirikan oleh Johannes Elias Teijsmann tahun 1866, mempunyai koleksi tanaman khas dataran tinggi beriklim basah daerah tropis dan sub-tropis. Tahun 1891 Kebun ini dilengkapi dengan Laboratorium untuk Penelitian flora dan fauna.
Kebun Raya Purwodadi (Hortus Purwodadi) di Jawa Timur. Luasnya 85 hektar berada pada ketinggian 250 mdpl, didirikan oleh Van Sloten tahun 1941, mempunyai koleksi tanaman khas dataran rendah beriklim kering daerah tropis.
Kebun Raya “Eka Karya” Bedugul-Bali didirikan tahun 1959 oleh Prof. Ir. Kusnoto Setyodiwiryo. Luasnya 159,4 hektar berada pada ketinggian 1400 mdpl, mempunyai koleksi tanaman khas dataran tinggi beriklim kering. Inilah kebun raya pertama yang sepenuhnya dibangun oleh anak Indonesia.
Berinduk dari KRB, kini Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia melalui PKT Kebun Raya LIPI telah membangun 27 Kebun Raya di 20 Provinsi di seluruh Indonesia. Dan ini masih dirasa kurang. Para pakar menyebut, dengan luas mencakup 34 provinsi, minimal Indonesia harus memiliki 50 buah kebun raya.
Ibu beragam instansi
Jangan lupa, gegara KRB, di Indonesia juga lahir berbagai instansi dan kementerian, semisal Kementerian Pertanian dan Perkebunan, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Kementerian Kelautan dan lainnya.
Bukan mengada-ada bila saya menyebut KRB sebagai lokasi wisata paling banyak saya kunjungi. Bukan karena lokasinya yang cuma 60Km dari Monas yang merupakan Kilometer NOL Jakarta tapi juga ragam mengetahuan (ihwal flora) yang bisa saya dapat dari situ.
Bayangkan, sebagai pusat penelitian dan pusat konservasi luar kawasan (eks-situ) tumbuhan terbesar di Indonesia, KRB memiliki luas sekitar 87 hektare, dengan jumlah koleksi tumbuhan sejumla 12.531 spesimen yang dikelompokkan ke dalam 3.228 jenis, 1.210 marga, dan 214 suku.
KRB merupakan kebanggaan bagi bangsa Indonesia karena menjadi kebun raya tertua di Asia Tenggara. Sedangkan untuk skala dunia, KRB merupakan tertua ketiga setelah Kebun Raya Pandova di Italia yang kini berusia 304 tahun dan Royal Botani Garden Sydney di Australia yang kini berusia 204 tahun. KRB yang kini berusia 203 tahun, berarti Cuma berjarak satu tahun dari Kebun Raya Sydney.
Di forum internasional, pengelola KRB kini dipercaya sebagai Sekretaris Jenderal Intenational Association of Botanic Garden (IABG) untuk wilayah Asia. Jabatan Sekjen IABG chapter Asia dipegang oleh Kepala Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya-LIPI, Didik Widiyatmoko.
Selain itu, PKT Kebun Raya-LIPI atau Kebun Raya Bogor juga menjadi anggota Botanic Garden Conservation International bersama 3.000 kebun raya di dunia. Bagi Indonesia sendiri, dari waktu ke waktu keberadaan KRB berperan penting sebagai benteng terakhir penyelamatan flora di Indonesia.
Banyak orang di dunia mendambakan bisa singgah di KRB. Bahkan berbagai pasukan elit dunia, nyaris tiap tahun datang ke KRB untuk belajar bagaimana teknik hidup di alam bebas dengan memahami fungsi dan guna tumbuh-tumbuhan yang dikoleksi oleh KRB.
Jadi tunggu apa lagi? Bila pandemi COVID-19 sudah reda, ayo para travelers, sempatkan datang ke KRB. Saksikan ragam keajaiban alam yang dikoleksinya. Jangan sampai para kenalanmu dari luar negeri bilang “Lha…kamu lahir dan besar di Indonesia, kok nggak faham dahsyatnya Kebun Raya Bogor?”