HALAL NEWS

Industri Halal Indonesia Bisa Picu Pemulihan Ekonomi Pasca COVID-19

JAKARTA, bisniswisata.co.id: Optimisme Industri halal Indonesia  akan menjadi triger atau pemicu dalam pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19 mengemuka dalam diskusi yang digelar Forwada – Mikro Forum Syariah.

Dalam diskusi yang bertajuk  “Industri Halal Jadi Trigger Pemulihan Ekonomi Nasional” ini, hadir sebagai nara sumber adalah Diana Yumanita, Deputi Direktur Departemen Ekonomi & Keuangan Syariah Bank Indonesia (BI), Sapta Nirwandar, Chairman Indonesia Hslal Lifestyle Center ( IHLC).

Nara sumber lainnya Eddy Satriya, Deputi Bidang Usaha & Nikro Kenentrian Koperasi & UMKM, Amy Atmanto, CEO Royal Group, Anang Achmad Latief, Direktur Utama Bakti Komeninfo, Bambang Suherman, Direktur Komunikasi & Aliansi Strategis Dompet Dhuafa.

Diskusi ini dilatarbelakangi meningkatnya populasi muslim dunia & Jumlah penduduk muslim Indonesia yang mencapai 229 juta jiwa (87,2%) dari total penduduk 273,5 juta jiwa (World Population Review, 2020). 

Kontribusi PDB ekonomi halal nasional yang mencapai US$ 3,8 miliar/tahun (engine of global halal economy), pengembangan pasar global untuk produk halal dan terakhir dibtanah air jumlah pelaku UMKM meningkat dan ruang lingkup aktivitasnya sangat terkait dengan industri halal. 

Diana Yumanita, Deputi Direktur Departemen Ekonomi & Keuangan Syariah Bank Indonesia (BI) mengemukakan, saat ini posisi Indonesia sudah masuk top player global.

Berdasarkan State of the Global Islamic Economy Report 2020/2021, Indonesia berada pada 10 peringkat teratas sektor Halal Food, Islamic Finance, Muslim Friendly Travel, Modest Fashion Indonesia, Pharma Cosmetics, Media & Recreation.

“Pangsa pasar Industri Halal nasional terhadap global menunjukkan Indonesia merupakan leader terutama pada industri makanan halal yang pangsanya mencapai 13% total konsumsi makanan halal dunia,” ujar Diana Yumanita.

Bukan cuma makanan halal, sektor Fashion juga bisa jadi motor penggerak ekonomi. Desainer, Founder Fashion Brands & Pembina Industri Kreatif, Amy Atmanto mengatakan Modest Fashion Indonesia berada di peringkat setelah UEA dan Turki dan sektor ini diyakini dapat mendongkrak industri halal tanah air. 

” Trend global dalam pengeluaran untuk modest fashion dunia tertinggi adalah di Turki dengan total belanja US$29 billion, disusul UAE dengan spending US$23 billion dan Indonesia dengan total spending US$21 billion,” ujarnya.

Sementara total world spending untuk pakaian muslim di tahun 2018 bertumbuh 4,8% dari  US$270 billion menjadi US$ 283 billion. Di tahun 2024 diperkirakan pengeluaran untuk Moslem dan clothing apparel akan tumbuh sebesar 6% mencapai US$402 billion.

“Saya menggunakan istilah modest fashion untuk mendorong mindset kita untuk dapat mengexplore wilayah- wilayah kreatif beyond traditional moslem outfit. Dengan istilah ini kita tidak dibatasi oleh konsepsi umum tentang busana muslim seperti gamis,abaya,kaftan,” ungkapnya.

Mengutip State of the Global Islamic Economic Report – Driving the Islamic economy revolution 4.0, Amy menuturkan, Indonesia merupakan pasar domestic no 3 terbesar dengan US$21 triliun. 

Selain itu, gaya desain Indonesia diterima di dunia.  Karena itu dia yakin Industri halal termasuk didalamnya modest fashion, bisa menjadi pemantik ekonomi nasional. 

“Kita mendominasi pencarian googling dengan kata kunci  “moslem fashion”, hasilnya Indonesia 77%, 15% Malaysia, dan sisanya Inggris, India dan negara lain. Ini membuktikan Indonesia mendominasi fashion muslim,” jelasnya

Meski demikian, Amy tidak memungkiri tantangan yang dihadapi industri modest fashion Indonesia antara lain masih terperangkap pada desain tradisional, kurangnya inovasi, keterbatasan skill pemasaran dan persaingan usaha, bahan baku yang masih harus import, dan kebanyakan usaha fashion masih mengandalkan dari hobby serta kurangnya modal usaha.

Amy mendesak agar pengusaha & Desainer pelaku industry modest fashion harus berinovasi beyond traditional line seperti  Hijab, Abaya, Gamis. Selain itu, pemerintah agar lebih berperan untuk membuat kebijakan iklim kompetisi yang sehat. 

“Kita masih ingat pernyataan Menteri Perdagangan “Bagaimana mau bersaing kalau harga hijab impor Rp 1900 ??. Dalam hal ini Pemerintah menyatakan berupaya menertibkan predatory pricing agar produk-produk dalam negeri tidak tergerus oleh produk asing,”ungkapnya.

Dia juga berharap outlet brand International di Indonesia bisa mengalokasikan space outletnya untuk produk modest fashion Indonesia.

“Harapannya bayangkan saja jika sebagai contoh : Product modest fashion Indonesia mendapat alokasi space di Zara Australia , Jerman, dan lainnya,” jelasnya.

Dia berharap prospek industry modest fashion di Indonesia dapat direalisasikan sampai munculnya unicorn fashion moslem Indonesia. Namun untuk itu dibutuhkan peran pengusaha fashion, investor, perbankan dan pemerintah.

“Pelaku Modest Fashion Indonesia harus mampu menarik minat para Angel Investor /investor melirik & berinvestasi di bidang Modest fashion agar tidak hanya berinvestasi pada start up di bidang aplikasi teknologi saja,” ungkapnya.

Sapta Nirwandar, Ketua Indonesia Halal Life Center (IHLC) mengugkapkan, modest fashion di Indonesia masuk 5 besar, tetapi sebagai negara konsumer, sementara negara eksportir tidak masuk 5 besar dalam Organization of Islamic Cooperation (OIC) dan Indonesia masih kalah dengan Banglades.

Modest Fashion tidak hanya untuk pasar IOC saja tetapi produk-produk seperti hijab sudah diakui sebagai global fasion dan diakui band besar seperti Burberry, Gucci, Dolce,Nike, dan versace. 

“Bicara modest fashion tidak hanya baju atau hijab, HLC melakukan riset dan hasilnya ada 52 item dalam beauty bussines untuk wanita dan 31 item untuk pria,” katanya.. 

Sementara untuk produk halal food, negara non muslim masih menjadi penyuplai utama bahkan untuk negara-negara OIC. Peringkat pertama ekportir produk halal adalah Brazil, dimana US 16,2 milyar dolar, diikuti India dengan nilai eksport sebesar US$14,4 milyar. 

“Indonesia menjadi konsumer halal food peringkat pertama sebesar US$114 milyar,”jelasnya.

Hanya saja, Indonesia harus menghadapi tantangan yang tidak mudah antara lain; belum masuknya Indonesia dalam 10 besar untuk produk makanan halal, media & rekreasi, serta farmasi & kosmetika. 

Penguatan rantai nilai industri halal perlu terus dilakukan secara berkesinambungan, seperti industri makanan dan minuman halal, pariwisata halal, fashion muslim, dan farmasi/ kosmetik halal. 

 

Hilda Ansariah Sabri

Pendiri, Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi dan pemegang sertifikasi Wartawan Utama Dewan Pers dan Ketua Departemen Pariwisata PWI Pusat (2018-2023)