UNGARAN, bisniswisata.co.id: Festival Lereng Telomoyo 2019, sukses digelar. Festival digelar di Dusun Tanon, Desa Ngrawan, Kecamatan Getasan Ungaran Jawa Tengah, berlangsung dua hari, Sabtu (12/10) dan Ahad (13/10) , yang diikuti 17 penampil dengan berbagai background kesenian, mulai seni tari, teater, hingga musik.
“Festival Lereng Telomoyo merupakan sarana untuk para pegiat kesenian. Pada even pertama hanya untuk lokal Desa Menari di dusun tawon, namun festival tahun ini diikuti sanggar dari Kabupaten Semarang, Salatiga, dan Magelang,” ungkap Trisno penggagas Festival Lereng Telemoyo.
Lahirnya Festival ini, bermula dari keprihatinan anak muda desa yang meninggalkan kearifan lokal dalam pengelolaan mata pencarian utama yakni pertanian dan peternakan di lereng gunung Telomoyo, tepatnya di Dusun Tanon membuat Trisno tergerak mengamalkan ilmu yang sudah ia dapatkan di perguruan tinggi untuk bisa berbuat lebih mengembangkan potensi desanya.
Menurutnya selama ini untuk pertanian dan peternakan di desanya sudah kehilangan regenerasi sehingga kearifan lokal dalam setiap aspek mulai memudar. “Saya miris prihatin banyak daerah yang ditinggalkan anak-anak mudanya dan ketika sebuah daerah ditinggalkan oleh energi mudanya maka pembangunan dari berbagai aspek akan mundur,” kata penerima apresiasi Semangat Astra Terpadu Untuk Indonesia (SATU Indonesia) Awards 2015 untuk kategori Lingkungan.
Karena itu, Trisno ingin mengubah cara pandang pemuda dan warga dengan pendekatan wisata, karena menurutnya dengan wisata pintu masuk yang efektif dalam melakukan konservasi dengan fokus membuat laboratorium sosial berkonsep pemberdayaan.
“Dengan pendekatan wisata, jalan mulai terbuka dan tahun 2012 warga komitmen lebih terbuka dengan wisata. Konservasi yang sudah jalan adalah kesenian lokal dan dolanan tradisional sedang profesi petani peternak pelan-pelan dijalankan,” ucapnya seperti dilansir laman SuaraMerdeka, Ahad (13/10/2019).
Dengan kegiatan wisata ini, ingin anak-anak muda desanya aktif menjaga kearifan lokal sehingga bisa mengembangkan konservasi desa. Ke depan akan diinisiasi membuat taruna tani untuk fokus agar anak muda bertani dan berternak. “Kami mendorong anak muda kalau bertani tidak mesti mencangkul, berternak tidak harus masuk kandang tetapi membantu orangtua mereka memperoleh akses pasar dan membuat komunitas yang membuka ruang di pertanian dan peternakan,”.
Sejauh ini indikator dari suksesnya konservasi yang sudah dilakukan Trisno adalah meningkatnya wawasan dan kapasitas warga serta membaiknya tata kelola. Sehingga banyak anak-anak muda yang mau kembali ke kampung halamannya untuk mencintai profesi orangtuanya dan merawat kearifan lokal.
Tak hanya itu, dari aspek pembangunan SDM adanya peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan serta menjaga kebersihan lingkungan. Bahkan warga desa setiap bulannya bisa melaksanakan kegiatan sosial pengobatan gratis sebagai upaya menyengkuyung saling tolong menolong. “Pertumbuhanya bukan statistik nominal finansialnya tapi perubahan kapasitas SDM yang kita harapkan,” tuturnya.
Berkat inisiasinya mengembangkan potensi desa melalui lingkungan dan kearifan lokal, secara ekonomi warga mendapatkan pertumbuhan antara 5 sampai 10 persen dari profesi asli mereka sebagai petani dan peternak. Dan setiap tahunnya ada kunjungan 1.500 sampai 3.000 orang. “mereka ada tambahan sebagai pemandu wisata, rumahnya dijadikan sebagai homestay dan ada yang jualan di pasar rakyat ini kenaikannya setelah 2015,” katanya.
Disisi lain Trisno menilai Telomoyo memiliki akar kesenian dan kebudayaan yang kuat, terutama untuk tarian. Dia mencontohkan, tari asal Tanon seperti Tari Lembu Tanon dan Geculan Bocah. Sementara yang dari daerah lain adalah Rodatin, Ngoser, Gemah Ripah, Kidung Singgah Sikoro, dan Sekar Mayang.
Dalam Festival Lereng Telomoyo 2019, terdapat empat panggung. Yakni panggung utama, dua panggung supporting, dan panggung yang berada di Pasar Srawung. “Pasar Srawung adalah pasar tradisional di Dusun Tanon yang menjadi area srawung atau interaksi. Ini sangat menarik karena di pasar tersebut kita belajar memanusiakan manusia dalam komunikasi yang setara dan mutualisme,” paparnya.
Dia menargetkan dalam dua hari penyelenggaraan ada 3000 pengunjung. Menurut Kang Tris jumlah tersebut berasal dari wisatawan dan fans setiap sanggar yang datang secara mandiri. Saat ini kemajuan teknologi sangat pesat dan tidak bisa ditolak. Sehingga, yang bisa dilakukan adalah melakukan penyelarasan teknologi dengan kearifan lokal. Tujuannya agar manusia era modern tidak tercerabut dadi akarnya. “Dan salah satu caranya adalah dengan tarian ini,” paparnya. (ndy)