NASIONAL

Ekonomi China Melemah, Bisnis Wisata Asia Tenggara Kena Imbas

JAKARTA, bisniswisata.co.id: Perekonomian China dan mata uang yuan terus melemah. Kondisi ini berimbas pada bisnis pariwisata di kawasan Asia Tenggara. Biasanya, wisatawan Tiongkok ramai mengunjungi pantai-pantai di Bali, hingga menginap di hotel Hanoi, Vietnam tapi sekarang tampak lengang.

Ledakan perjalanan luar negeri China dalam beberapa tahun terakhir yang memicu pariwisata di seluruh Asia Tenggara kini telah berada dalam posisi terbalik. Penurunan tiba-tiba wisatawan China menjadi pelajaran menyakitkan bagi negara-negara seperti Thailand bahkan Indonesia yang sangat bergantung pada negara berjulukan Great Wall.

“Menurunnya kedatangan wisatawan China dan pengeluaran pariwisata dirasakan di seluruh kawasan. Selalu ada risiko yang terkonsentrasi ketika mengandalkan satu pasar, dan banyak negara kemungkinan tidak dapat menemukan pengganti untuk pertumbuhan yang cukup cepat,” Kata Kepala Riset Pasar Ekonomi dan Keuangan Siam Commercial Bank Pcl Kampo Adireksombat, dilansir dari Bloomberg, Jumat (6/9/2019).

Merosotnya jumlah pelancong asal China akan berlanjut tahun depan, jika perang dagang terus membebani ekonomi dari negara berpenduduk terbesar di dunia ini. Padahal, peningkatan pendapatan penduduk China selama dekade terakhir telah memicu konsumsi kelas menengah dan menjadikan pasar perjalanan China sebagai pengeluaran terbesar di dunia menurut laporan McKinsey.

Sebelumnya, tur berbahasa mandarin, restoran China, dan layanan pembayaran seluler China menjamur dari Da Nang ke Yogyakarta, para pelancong memadai lokasi-lokasi wisata Asia Tenggara, yang terpikat oleh kedekatan mereka dan masakan di sana. Namun kondisi saat ini telah mengancam industri pariwisata ketika perusahaan karena pemerintah menginvestasikan jutaan dolar untuk memperluas resor, hotel dan fasilitas perjalanan.

Penurunan sudah muncul di beberapa pengelola hotel, seperti Central Plaza Hotel Public Company Limited, Thailand yang mencatatkan penurunan bisnis di kuartal kedua 2019 karena merosotnya jumlah pengunjung China.

Wakil Presiden Central Plaza Hotel Ronnachit Mahattanapruet mengatakan hal tersebut pada saat rapat dengan investor bulan lalu. Hunian properti Thailand juga turun 7% di kuartal ini, dan pengelola yang berbasis di Bangkong memiliki 2.040 kamar dalam skema untuk menambahkan portofolio yang ada dari 6.678 kamar.

Thailand juga mengharapkan kehadiran Ritz Carlton baru di 2023 sebagai bagian dari pengembangan wisata dengan nilai US$ 3,9 miliar. Pulau Phuket menjadi destinasi favorit untuk pernikahan, karena lokasinya di tepi pantai dan terdapat selam sekuba, di mana ada 18% lebih banyak kamar hotel pada tahun 2024 menurut konsultan C9 Hotelworks Ltd.

Tahun ini jumlah kedatangan wisata asing di Thailand hanya tumbuh 2% menurut data Kementerian Pariwisata Thailand. Direktur Pelaksana C9 Bill Barnet mengatakan jumlah capaian tersebut didasarkan pada harapan orang-orang yang tidak realistis.

Di Thailand dan Filipina, pariwisata tumbuh mencapai lebih dari seperlima dari produk domestik bruto (PDB) mereka atau dua kali lipat rata-rata global. Namun ledakan wisata tersebut menghilang di paruh pertama tahun ini karena ekonomi China melambat, yuan melemah ke level terendah sepanjang sejaran dan perang dagang Amerika Serikat (AS) – China telah membebani kepercayaan konsumen.

Di Bali, Wakil Ketua Dewan Pariwisata, Ngurah Wijaya, melihat destinasi menarik di Bali telah menjadi korban. Masalah seperti kemacetan lalu lintah menjadi salah satu penyebab utama penurunan wisatawan China sehingga mereka singgah di Bali lebih singkat. Yang pasti, tidak semua negara menghadapi penurunan berkelanjutan. Menurut data resmi, jumlah turis China di Malaysia tumbuh 6,2% pada semester I-2019 menjadi , menurut data resmi.

Di Filipina, infrastruktur dan fasilitas pariwisata relatif kurang berkembang, sehingga tidak melihat ada kemunduran dalam proyek perhotelan, kata Richard Laneda, analis game dan properti di COL Financial Group Inc. Namun, perlambatan dalam pariwisata melemahkan pilar pertumbuhan lain di Asia Tenggara pada saat ekspor mengalami penurunan akibat perang perdagangan.

Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi di lima kawasan ekonomi kawasan ASEAN dari 5,1% menjadi 5% dalam laporan April 2019, dan ini menandakan perlambatan ekonomi akan berlanjut. (end)

Endy Poerwanto