JAYAWIJAYA, bisniswisata.co.id: Papua memiliki objek wisata sejarah yang menarik untuk dikunjungi, salah satunya mumi yang merupakan tradisi kematian masa prasejarah dari Suku Dani di Lembah Baliem. Meskipun menarik perhatian wisatawan bahkan selalu menjadi perhatian turis asing, sayangnya ada beberapa mumi yang belum dikonservasi dan perawatannya kurang mendapat perhatian.
“Suku Dani di Lembah Baliem, Papua, memiliki dua tradisi kematian pada masa prasejarah, pertama jenazah dibakar, kedua jenazah disimpan dalam bentuk mumi. Mumi itu pada umumnya ditempatkan di honai dan jadi tontotan wisatawan,” ujar peneliti Balai Arkeolohi Papua, Hari Suroto.
Dari sejumlah mumi yang sudah dikonservasi, ternyata masih ada satu mumi di Baliem yang belum dikonservasi, yaitu mumi Yamen Silok atau mumi angguruk. Mumi ini merupakan satu-satunya mumi perempuan di Baliem, saat ini disimpan oleh masyarakat di Kurima, Yahukimo.
Kondisi terkini mumi Yamen Silok butuh perawatan. Mumi Yamen Silok hanya disimpan sekedarnya di dalam honai. Mumi ini perlu dikonservasi dan dibuatkan kotak penyimpan agar lebih terawat dan terbebas dari gangguan serangga atau binatang pengerat.
“Untuk itu pemerintah daerah Yahukimo perlu belajar dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Jayawijaya yang sukses mengkonservasi empat mumi dengan melibatkan arkeolog Balai Arkeologi Papua dan Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan,” katanya seperti diunduh laman Tempo, Sabtu (28/12/2019).
Berdasarkan data di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Jayawijaya terdapat empat mumi yang sudah dikonservasi, yaitu mumi Araboda, Aikima, Pumo, Yiwika. Keempat mumi ini telah dikonservasi pada Oktober-November 2017, menghabiskan dana Rp 900 juta. Kondisi keempat mumi saat ini terawat baik dalam kotak penyimpan.
Permasalahan konservasi mumi di Lembah Baliem adalah kondisi suhu yang dingin dan lembab. Mumi yang selesai dikonservasi diserahkan kembali ke masyarakat adat pemilik. Masyarakat adat juga belum mengerti cara perawatan yang sesuai kaidah konservasi. “Selama ini mereka belum pernah diberi pelatihan merawat mumi yang sesuai dengan standar. Perawatan mumi harus mengikuti kaidah ilmiah, dengan menjaga suhu udara yang sesuai, misalnya,” tutur Hari.
Selain itu, mumi juga harus ditempatkan di tempat kering, atau kotak penyimpan mumi harus diletakkan tidak boleh langsung menyentuh tanah. Kotak penyimpan mumi perlu dijaga dari gangguan serangga dan tikus maupun binatang peliharaan seperti anjing.
“Secara tradisional, masyarakat adat merawat mumi tersebut dengan cara diasapi dan dilumuri lemak babi saja,” kata Arekeolog lulusan Udayana University itu. “Hingga saat ini mumi hanya dijaga oleh anggota keluarga yang dipilih, belum ada juru pelihara yang ditunjuk oleh instansi resmi pemerintah untuk menjaga dan merawat mumi.”
Keempat mumi yang dikonservasi telah menjadi atraksi wisata. Biasanya turis yang datang diperbolehkan foto di dekat mumi. “Jadi sangat rawan jika honai terbakar, untuk itu perlu dibuatkan honai khusus,” ujarnya.
Mumi di Lembah Baliem perlu dijaga keberadaannya karena mumi ini rata-rata sudah berusia ratusan tahun. Mumi telah menjadi ikon Lembah Baliem dan mampu menyejahterakan keluarga pewarisnya. “Untuk itu, harus terus dijaga kelestariannya, serta dalam hal pemanfaatannya harus mengikuti regulasi yang ada dan sesuai dengan kaidah konservasi,” sambungnya. (*)