H. Endang, generasi kedua soto legendaris Garut, H. Achri yang sudah buka sejak 77 tahun lalu. ( Foto: Arum Suci Sekarwangi).
Reporter bisniswisata.co.id, Arum Suci Sekarwangi mendapat undangan Famtrip ke Kabupaten Garut, Jawa Barat dari Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/ Badan Ekraf dari 28 – 30 Oktober 2020 bertepatan dengan libur bersama yang ditetapkan pemerintah berkaitan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW. Berikut laporannya ke empat.
GARUT, bisniswisata.co.id: Salah satu keunggulan dari Kabuparen Garut adalah wisata kulinernya. Untuk itu nama Soto Haji Achri sudah dikenal masyarakat Garut dan juga wisatawan karena dimasak di atas tungku berbahan bakar kayu.
Oleh karena itu hari kedua di Garut, pagi-pagi rombongan Famtrip Forwaparekraf sudah duduk berjajar rapi di bangku panjang untuk mencicipi Soto Haji Achri yang legendaris.
Mengapa dibilang legendaris karena sudah eksis sebelum bangsa Indonesia merdeka dari para penjajah. Didirikan sejak tahun 1943 dan saat ini dipegang oleh generasi ke dua yaitu anak nomor dua dari H. Achri yaitu H. Endang.
Uniknya untuk mencicipi kuliner andalan ini perlu blusukan dulu karena tempatnya bukan di tepi jalan yang straregis, tapi justru menyelinap di antara keramaian Pasar Baru Garut, tepatnya di Jalan Mandalagiri, Gang Hardjo.
Di mulut gang sempit selebar 2,5 meter itu, warung soto Haji Achri memakan hampir dua pertiga lebar gang sehingga hanya menyisakan 1 meter untuk akses warga keluar masuk.
Kami duduk di meja persis disamping H. Endang meracik soto disetiap mangkuk, didampingi istrinya yang membantu. Terdapat dua menu yaitu , soto daging ayam dan daging sapi. Sebuah talenan kayu berbentuk bulat tebal menjadi alat bantunya memotong-motong daging.
Haji Endang bekerja cekatan dalam diam, lalu potongan daging ditatanya dalam piring bukan mangkok. Nampaknya beliau memang tidak pelit dalam penyajian sehingga piring dipenuhi dengan daging baru ditambahkan kuah.
Untuk daging sapi sendiri yang banyak digunakannya kebanyakan daging sapi bagian kepala. Dalam satu hari bisa menghabiskan sekitar 25-30kg daging sapi dan juga 4-5 kg kelapa untuk santannya.
Seru juga menyantap soto di gang senggol, maksudnya menyantap soto di antara hilir mudik warga yang keluar masuk gang. “Kami sudah jualan sejak tahun 1943. Ya di gang ini aslinya. Haji Achri itu ayah saya. Sekarang warung soto ini saya teruskan setelah bapak wafat,” kata Haji Endang.
Pagi itu rombongan kami semua berseragam kaos kuning. Warung itu penuh oleh anggota Forwapar saja. Dua buah meja panjang seukuran tiga meter diapit oleh masing-masing dua bangku panjang bisa menampung 20 orang dewasa. Warung ini setiap hari selalu ramai pengunjung.
” Saya tetap menggunakan bahan dan cara memasak seperti awal soto ini dijual 77 tahun lalu, sehingga rasa tetap terjaga,” kata H Endang.
Dalam satu hari dia bisa menghabiskan kira kira 300 porsi soto. Saat ini sudah terdapat 6 cabang, dua cabang ada di garut dan empat lainnya di Bandung. Jam buka dari pukul 06.00 sampai jam 12.00 untuk di pusat tempat rombongan kani makan.
Jadi bila datang untuk makan siang belum tentu ada karena sajian ini paling favorit buat sarapan. Kalau beruntung juga bisa untuk brunch. Istilah brunch merupakan singkatan dari breakfast (sarapan) dan lunch (makan siang) soalnya antara jam 10.00-11.00 pagi sudah habis stock soto legendaris ini. Hebat kan……
Rombongan kami makan di pusat yang ada di tengah pasar Mandala Giri, tidak jauh dari stasiun Garut dan harga satu porsi seharga Rp 22.000 untuk ayam dan Rp 28.000 untuk soto sapi.
Saat sebelum makan maupun setelah makan, ada saja anggota rombongan yang mengintip dapur belakang tempat dandang hitam tinggi besar memasak kuah soto yang lezat. Haji Endang masih memasak menggunakan tungku kayu untuk menjaga rasa.
Setiap hari, Endang dan istrinya Hj Wanti dibantu dua karyawannya selalu setia melayani para pelanggan. Kesetiaan adalah kunci dari bisnis keluarga ini. Melayani sendiri pelanggan dengan sepenuh hati. Endang tetap menjaga kualitas rasa dan tidak mengubah proses memasaknya.
“Memasaknya memakai tungku dengan kayu bakar. Tak pakai kompor gas karena rasanya bisa beda,” jelasnya. Endang bercerita banyak pelanggan sotonya berasal dari luar kota, seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta, termasuk sejumlah pejabat.
“Pelanggannya mulai dari zaman ayah saya dulu berjualan. Ada yang dulu masih kecil pernah diajak orangtuanya ke sini, sekarang gantian mengajak keluarga. Mantan Menteri Suryadarma Ali waktu jadi Menteri Koperasi juga pernah ke sini,” kata Endang.
Semangkuk soto Haji Achri adalah paduan kuah soto bersantan dengan bumbu dan rempah pilihan. Sementara isiannya adalah daging sapi wtau ayam debgan taburan daun seledri, bawang goreng dan kacang kedelai goreng.
“Akan lebih nikmat jika dimakan nasi putih hangat dan kerupuk kulit kerbau. Rasanya dari dulu sampai sekarang tidak berubah.Disajikan dengan perasan jeruk nipis, sambal, dan kacang kedelai goreng. ” kata salah seorang pria yang sedang mengantri untuk makan.
Risih juga menyadari banyak pelanggan yang menunggu rombongan wartawan ini keluar dari warung soto itu. Namun mungkin mereka juga sudah biasa menunggu untuk menikmati soto Haji Achri.
Berdesakan di gang sempit bagi mereka adalah harga yang setimpal demi menikmati semangkuk soto legenda Garut itu. Ada teman yang sarapan dobel baik di hotel maupun di soto Achri berjalan dengan perut kekenyangan. Pokoknya tidak ada sesal menyantap soto itu…..