ART & CULTURE EVENT INTERNATIONAL

Bikkhu Vietnam Usulkan Perayaan Waisak Di Indonesia Agar Jadi Event Internasioal

Pelepasan lampion ke langit Borobudur, menandai pesan damai di hari Waisak ( foto-foto: Anton Bayu Samudra)

MAGELANG, bisniswisata.co.id: Vietnam,  negara yang warganya mayoritas beragama Buddha sudah dua kali menjadi tuan rumah pusat perayaan Waisak  yang diselenggarakan Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB), kata Ven M.A. Thick Minh Ly, bikkhu asal Vietnam.

“Tahun 2019, PBB juga akan kembali menjadikan Vietnam pusat perayaan Waisak dunia untuk ke tiga kalinya. Bersyukur masyarakat  dan pemerintah Vietnam puas atas pelaksanaannya dan bisa dipercaya kembali menjadi tuan rumah.

Vietnam memang negara berpenduduk mayoritas Buddha. Namun demikian Indonesia yang menjadi negara Muslim terbesar di dunia juga memiliki peluang itu karena ada Candi Borobudur yang menjadi situs bersejarah dan Warisan Dunia.

Borobudur memiliki koleksi relief Buddha terlengkap dan terbanyak di dunia. Stupa utama terbesar terletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang .

Dalam stupa berlubang itu di dalamnya terdapat arca Buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).

Bhikku Ven M.A. Thick Minh Ly yang aktif di organisasi keagamaan Buddha baik dalam maupun luar negri mengatakan setelah mengikuti prosesi perayaan Hari Waisak di Candi Borobudur.

“Kami menjalani prosesi keagamaan dan saya banyak mengamati interaksi antar umat beragama, sambutan masyarakat non Buddha terhadap perayaan Waisak hingga bagaimana hubungan antar lembaga agama Buddha di Indonesia,” ungkapnya.

Dia baru memahami disamping organisasi  Perwakilan Umat Buddha Indonesia ( Walubi), ada Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (MAGABUDHI), Lembaga Keagamaan Buddha (Dhamma Vihara), Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI) dan Yayasan Buddha Matreya.

Beragam aktivitas di Candi Borobudur saat perayaan Waisak, 29 Mei 2018. (foto-foto: Anton Bayu Samudra)

Bersama Thich Giac Duy, rekan bikkhu lainnya asal Vietnam lainnya, dia mengikuti prosesi dari H-1 yaitu Sunrise Prayer di Ruphadatu, prosesi jalan kaki dari Candi Mendut ke Candi Borobudur hingga mengikuti rangkaian upacara sehari penuh hingga tengah malam tepat di hari perayaan Waisak.

Dia menilai mengundang bikkhu mancanegara adalah kegiatan positif apalagi bikkhu dan organisasi agama Buddha serta perwakilan dari umat beragama lainnya seperti Muslim, Hindu, Kristen juga hadir.

“Kalau kami mengadakan Waisak ( Vesak) di Vietnam kami juga mengundang pemuka lintas agama seperti di Indonesia dan selain upacara-upacara jelang penyelenggaraan kami juga membuat semacam forum dialog lembaga Buddha sehingga kami dapat memberikan Buddha Ways untuk mengatasi masalah yang dihadapi umat?,” jelas Ven M.A. Thick Minh Ly.

Menurut dia, sudah selayaknya organisasi keagaamaan Buddha di Indonesia menyelenggarakan perayaan Waisak yang bersifat internasional seperti UN Vesak Day yang akan dilaksanakan untuk ketiga kalinya di negaranya tahun depan.

“Jadi  untuk rangkaian acaranya semua dilakukan dalam bahasa Inggris supaya bikkhu dari mancanegara termasuk kami yang datang dari  Vietnam dan India bisa mengikuti susunan acara dengan baik mengenai api suci yang disemayamkan di Candi Mendut,” tambahnya.

Solidaritas dan keakraban masyarakat dari berbagai yang menghadiri Waisak ( foto-foto Anton Bayu Sanudra).

Ven Thich Giac Duy juga mendukung penggunaan bahasa Inggris di event yang dihadiri oleh bikkhu dari negara-negara Asean termasuk dari Bhutan dan Australia. Dia juga mengusulkan agar untuk di media sosial masyarakat Indonesia yang membuat ulasan menggunakan nama Waisak ( Vesak) Day 2018.

“Dunia internasional pahamnya pakai bahasa Inggris. Kami baru paham bahwa tulisan Waisak artinya Vesak. Oleh karena itu jika perayaannya mau mendunia pakailah bahasa Inggris ketika mengunggahnya di internet sehingga warga Net mendapatkan informasi yang banyak mengenai Vesak,” tambahnya.

Menurut Thich Giac Duy, rangkaian upacara Waisak yang dilakukannya saat Sunrise Prayer, menyambut matahari pagi di area Ruphadatu, Candi Borobudur adalah yang paling dasyat dalam perjalanan spiritualnya selama mengikuti Famtrip Bikkhu dan jurnalis dari Thailand dan Vietnam yang diselenggarakan Kementrian Pariwisata 27 Mei-1 Juni 2018

“Sebagai seorang bhikku kami bisa merasakan adanya energi yang positif dan sangat besar di area itu. Apalagi susunan batu candi adalah batu andesit yang mengeluarkan aura menenangkan sehingga pengalaman meditasi di Borobudur menjadi spesial,” kata Ven Thich Giac Duy.

Bermeditasi dan berjalan di bagian tengah candi yang disebut Rupadhatu saat subuh menjelang matahari terbenam akan sulit dilupakan dalam ingatannya. Apalagi Ruphadatu menggambarkan tingkatan dunia yang lebih tinggi, dimana hal-hal yang berbau dengan dunia dan hawa nafsu mulai berkurang.

Di tingkat  ini kehidupan manusia lebih cenderung mengarah ke Sang Maha Pencipta. Hal ini digambarkan dengan banyaknya stupa yang didalamnya terdapat arca Buddha yang sedang bertapa.

Puja matahari terbit juga setiap pagi dipanjatkan oleh para bhikkhu dengan melakukan doa, membaca sutta, paritta yang tujuannya untuk memancarkan cinta kasih kepada semua makhluk tanpa terkecuali.

“Bayangkan betapa nikmatnya beribadah di candi yang berada di atas bukit  dikelililingi oleh gunung-gunung dengan pemandangan indah. Kami mendoakan agar semua makhluk berbahagia, bebas dari penderitaan, bebas dari segala macam kesulitan,” jelasnya.

Saat tiba hari H dan mengikuti perjalanan dari Candi Mendut ke Candi Borobudur baik Thich Giac Duy maupun Ven M.A. Thick Minh Ly sama-sama mengatakan bahwa solidaritas umat non Buddha mendukung perayaan Waisak ini sungguh luar biasa.

“Kami rasanya jadi bangga sekali sebagai seorang bikkhu karena masyarakat yang berada di pinggir jalan untuk mengikuti prosesi dan kirab menghormati kami layaknya sebagai seorang Siddharta Gautama,”

Mereka mengatupkan tangan, menundukkan kepala lalu melambaikan tangan mulai dari anak-anak hingga para wanita Muslim yang mengenajan hijab tambah Thick Minh Ly.

Pada hari Waisak, tambahnya, umat Buddha memperingati tiga peristiwa suci yaitu pertama adalah kelahiran seorang Maha Bodhisatwa, Sang Sidharta sebagai seorang putera mahkota kerajaan Sudhadharma di Kapilawastu Nepal Selatan.

Dia kemudian bertapa dan mengajar menjelajahi Nepal dan India menyebarkan Dharma Kebahagiaan. Hal kedua yang diperingati adalah  Sang Sidharta mencapai pencerahan sempurna menjadi Buddha di usia 36 tahun.

Sedangkan yang ketiga diperingati adalah ketika Sang Buddha Gotama wafat dan parinibana atau pergi ke Nirwana sehingga perayaan Waisak disebut Tri Suci Waisak.

Usai prosesi di siang hari yang berakhir di area tengah candi sekaligus sebagai  pusat acara Waisak serta melaksanakan puja bhakti dia dapat merasakan rasa persatuan dan kesatuan antara umat beragama Buddha dan agama lainnya yang kuat. Kehadiran Menteri Agama RI, Ketua Walubi, Hartati Murdaya dan berkumandangnya lagu Indonesia Raya memberi kesan yang mendalam.

“ Setiap aktivitas yang kami lakukan very meaningfull  di setiap aktivitas yang kami lakukan. Kehadiran di perayaan Waisak hampir seharian hingga tengah malam terutama saat  detik-detik Waisak dengan pelepasan lampion-lampion ke udara.”

Ribuan lampion mengudara di langit Borobudur membawa pesan perdamaian dan persatuan menjadi kenangan manis yang tak akan terlupakan bagi para bhikkhu yang baru pertama kalinya datang dan melihat langsung keagungan Boribudur.

“Kami yakin momen itu juga dirasakan pada semua lapisan masyarakat yang datang sambil kita mendoakan kesejahteraan bagi rakyat dan bangsa Indonesia khususnya dan warga dunia umumnya.” kata Ven M.A. Thick Minh Ly .

Hilda Ansariah Sabri

Pendiri, Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi dan pemegang sertifikasi Wartawan Utama Dewan Pers dan Ketua Departemen Pariwisata PWI Pusat (2018-2023)